"Astagah! Panitia kira kita reinkarnasi Albert Einstein kali ya!" seru Bintang, ketika tau bahwa kertas teka-teki terakhir ternyata berbahasa mandarin.
"Emang Albert Einstein orang mana? " Suara Al. Masih sempat bertanya hal-hal aneh.
Mendapat pertanyaan dari Al, Bintang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Hm ... asal mana ya, Nda?" Bintang nyengir. Akhirnya bertanya pada Jingga tentang hal yang asal dia ucapkan tanpa referensi.
Mendengar pertanyaan Bintang, Jingga menghela napas. "Albert Einstein berasal dari Jerman. Penemu teori relatifitas dan dijuluki sebagai bapak Fisika." Jingga menjelaskan.
Selain Langit, yang lain ber'oh' ria.
"Lalu apa hubungannya Albert Einstein dengan bahasa Mandarin? Apa dia bisa bahasa Mandarin?" Al bertanya lagi.
Sebenarnya Jingga tidak bisa menyalahkan Al karena bertanya ini itu, karena apa yang diucapkan Bintang tadi memang absurd.
Alhasil, Jingga harus memberi penjelasan seolah-olah dia sedang memberi materi kuliah, karena harus menjelaskan tentang Albert Einstein kepada teman-temannya.
Sungguh merepotkan.
"Sepertinya tidak. Mungkin yang dimaksud Bintang tadi adalah soal kejeniusan Albert Einstein yang tidak bisa dibandingkan dengan orang yang ber-IQ rendah seperti kalian," jelas Jingga.
Al mengernyitkan dahi mendengar penjelasan Jingga, sepertinya ada yang aneh. "Jadi maksud lo, hanya kami yang ber-IQ rendah sedang lo nggak? Kenapa lo menggunakan kata kalian, bukan kata kita waktu nyebutin orang yang ber-IQ rendah?" Al tidak terima dikata ber-IQ rendah, sedang Jingga tidak mengakui juga.
Jingga berdecih, tersenyum miring dengan sinis. "Emang kenyataannya. Jika lo merasa lo jenius, ya silakan terjemahkan bahasa Mandarin itu!"
Teman-teman yang lain melongo melihat sikap Jingga. Bahkan Bintang yang merasa jadi sahabat karib Jingga, seperti tidak mengenali sosok Jingga kali ini. Jingga seperti dirasuki penunggu pohon Akasia yang mereka datangi tadi. Menakutkan.
Al tercekat, dia tidak bisa. "Emang lo bisa?" Al menantang balik.
Jingga tetap mempertahankan senyum yang meremehkan itu. "Tentu bisa. Gue bahkan nggak pernah belajar bahasa Mandarin secara formal, cuman belajar lewat serial drama China. Gue nggak seperti lo, yang hidup dengan mengandalkan tampang doang." Jingga makin berucap kasar.
Al hampir saja meradang karena perempuan cantik yang jenius ini.
Sebenarnya sejak hari pertama Ospek, Al tertarik untuk mengenal Jingga lebih dekat. Gayanya yang dingin, sikapnya yang terlihat tidak antusias dengan sekitar dan satu-satunya perempuan yang tidak melirik P4, membuat Al selalu memperhatikan gadis dengan mata coklat ini.