Bak penawar kondisi hatiku yang sedang jengkel, pesan itu kuterima beberapa waktu setelah dijahili para warga sekelas. Betapa tidak aku dibuat jengkel oleh anak-anak sekelas sampai menangis? Mereka dengan tega merombak bagaimana aku berjilbab. Aku tidak tahu apa termasuk salahku juga yang menjadi pendiam dan terlihat berwajah bodoh di kelas, mereka berani-beraninya mengerumuniku dan melepas jilbabku untuk dibuat oleh mereka menjadi lebih modis.
Kesalku berujung tangis yang meluap. Kukira aku sedang dipermainkan, meski ada batin kecilku yang berbisik bahwa mungkin saja mereka sedang berupaya memberikan perhatian padaku yang kerap seakan-akan tidak mengikuti zaman dari segi pakaian.
Merasa jengkel, namun sejak kecil aku memang tidak pernah bisa berbuat apa-apa ketika merasa tidak nyaman.
Menanti dosen yang entah apakah akan berikan kuliah atau tidak pada kami sekelas, kabar terbaru kemudian menyebutkan bahwa beliau berhalangan hadir. Kami yang berada di perpustakaan membubarkan diri setelah beberapa saat yang lalu memodifikasi jilbabku dengan tanpa pedulikan airmataku. Meski mereka semua perempuan—karena laki-laki sedikit dan tidak berada di ruangan yang sama dengan kami selama menanti kabar dari dosen—tapi aku tetap merasa ingin menuntut mereka yang dengan kukuh kurasakan diri ini dijadikan mainan.
Aku tidak berani becermin seperti apalah jilbab yang tengah kupakai saat ini setelah dimodifikasi. Menghapus air mata dengan berusaha memasang emosi netral di wajah sewajarnya, aku mengemas bawaanku untuk keluar dari perpustakaan usai semuanya keluar kecuali tinggal aku dan petugas perpustakaan. Enggan pula kutodong petugas perpustakaan seputar mengapa hanya diam saja saat aku menangis 'dimainkan' sekelas, namun kulihat wajahnya memang seperti takut untuk ikut campur seolah takut berurusan dengan anak-anak sekelasku.
Melangkah keluar, benar-benar kunantikan semua wajah yang sekelas denganku enyah dari pandanganku. Dari bangunan kampus ini dengan masa bodo apakah wajahku seperti orang menangis bilamana tertangkap mata orang yang berlalu lalang, kakiku kian melangkah menuju gerbang area kampus. Dan, pesan penawar batin itu kuterima.
"Kak Ica, temenin aku buat wawancara kerja, dong..."
Bibirku mengukir senyum kecil yang kukira mungkin kelihatan sinis ketika aku baca pesan dari salah satu adik kelas di masa SMA-ku itu. Ia satu-satunya yang memanggilku 'kak Ica', sementara ayah ibuku memanggilku 'Caca' dan saudari semata wayangku tentu saja memanggilku 'kak Caca'. Sisanya bagi yang tidak serumah memanggilku Veronica, karena memang nama lengkapku adalah Veronica Chintya Ramnizar. Sapaan Quincy sang adik kelas yang mengirimiku pesan meminta bantuan padaku untuk menemaninya wawancara kerja sudah sangat menghiburku, terlebih ajakannya yang menurutku berupa 'jalan-jalan'.
Dengan tanpa bertanya dimana lokasi ia akan menemui kantor atau perusahaan yang memanggilnya untuk wawancara kerja, aku membalas pesannya dengan menyatakan kebersediaanku. Tidak kupedulikan dimana lokasi yang dituju, karena permintaannya memang sungguh menjadi penawar batin di waktu yang sangat tepat. Bagiku akan kuanggap sebagai melancong sebagaimana diriku yang bila merasakan ada yang tidak nyaman dari diri sendiri, maka salah satu upaya menetralisir suasana hati dengan cara jalan-jalan. Namun di dalam hati kuharap semoga saja, Quincy tidak berkomentar apa-apa tentang bagaimanalah tampaknya aku kini yang entah sudah bisa disebut modis atau tidak.
Quincy yang merupakan teman sebangku adik perempuanku di masa SMA itu, menampakkan diri setelah aku menanti di halte dekat kampus. Aku tidak yakin dengannya bisa disebut dekat, sebab aku merasa antusias dengannya karena wajahnya meskipun perempuan tapi mirip dengan salah satu tokoh aktor sekaligus penyanyi dari luar negeri yang pernah kugemari. Sama sekali tidak kusesali kunyatakan bahwa dia mirip dengan sosok yang pernah kugemari. Dikatakan 'pernah', karena aku ingin berhenti menjadi penggemar. Namun sungguh senang bila dia senang kusebut mirip sang tokoh tersebut. Dan kukira wajar saja meski berbeda gender mereka disebut mirip, karena sang tokoh memang berasal dari negeri yang umum laki-lakinya mirip perempuan.
"Kak Ica!" sapa Quincy dengan suaranya sedikit besar nyaris mirip suara laki-laki—pernah kutanyakan hal ini dan dijawabnya sering minum jahe maka suaranya terdengar berat sebagai perempuan.
"Hei!" Balasku dengan satu tangan melambai sambil berdiri dari duduk.
"Gak ganggu, kan?" tanya gadis bermata sipit ini.
"Nggak. Aku senang kok diajak jalan sama kamu. Hehe..."
"Beneran?" Raut wajahnya menunjukkan antusias.
"Iya."
"Duh tapi tetap aja, aku mintanya dadakan, abis e-mail-nya hari ini sih!"
"Emang kalau kamu sendiri kenapa?"
"Hm," Quincy menyeringai makin membuat mata sipitnya semakin sipit terlihat sedang malu-malu. "Pengen aja gitu ada temannya. Aku gak ganggu kan, kak? Kak Ica gak sibuk, kan?"