Berulang kali kuyakinkan diri bahwa tidak mungkin dia berada di negeri ini. Aku pikir aku sedang bermimpi, tapi sengaja benar kucubit tanganku dan rasanya memang sakit. Merasa didesak oleh dorongan ingin memastikan, kuputar pikiran untuk menyusulnya.
"Kak Ica mau kemana?"
"Sebentar, kamu tunggu di sini aja ya!"
Tidak kuperhatikan lagi bagaimanalah herannya Quincy padaku yang mendadak seakan-akan ada barang yang tertinggal. Aku berlari dengan berharap sosok itu masih terjangkau pandanganku.
Ya, syukurnya sosok itu kembali tertangkap sepasang netra ini. Terlihat kebingungan, ia memasuki sebuah minimarket. Aku akan berpura-pura tidak sedang membuntutinya. Hatiku menjerit, merasa tidak salah lagi bahwa sosok itu sesuai dengan tebakanku. Dengan jarak yang cukup dekat, aku mencuri dengar ia bertanya pada pegawai minimarket dengan bahasa Inggris. Aku sedikit terkejut karena bahasa Inggrisnya terdengar sangat fasih—karena sepengetahuanku orang-orang bangsanya banyak yang tidak pandai berbahasa Inggris. Agak ragu-ragu, kembali kuikuti ia memasuki sebuah pintu yang menghubungkan tangga. Lantai atas adalah tempat untuk makan di tempat, tapi ia naik satu lantai di atas lagi. Kupastikan bentangku dengannya sangat aman untuk membuatnya tidak sadar sedang diikuti.
Lantai tiga. Atap ruko. Musola terlihat berada di dekat lorong tangga yang baru kami naiki. Sosok itu sudah berdiri di tepi atap ruko dengan menghadap ke arah jalanan di bawah sana.
Pikiranku mulai gelap. Setelah mengira mungkin saja aku salah orang dan mungkin saja hanya mirip, kali ini aku merasa suatu hal yang fatal akan terjadi bila tidak segera aku dengan nekad memanggilnya.
"Excuse me!" Pekikku karena jarak kami cukup jauh untuk bicara.
Berhasil! Dia menoleh!
Oh tidak, tatapan kami bertemu. Sosok itu benar-benar sosok yang kuduga sejak tadi! Terlihat terperangah oleh kehadiranku. Dengan gugup aku memangkas bentang dan mulai mencari bahan untuk bicara.
"Ano... Wasuremono desu ka?" tanyaku yang entah mengapa pula menjadi gunakan bahasa negerinya—sambil kuangsurkan botol minuman dari tasku.
"Eh?" Sudah jelas dan sangat wajar baginya heran mengapa pula ada orang asing datang menghampirinya dengan mengatakan barang miliknya kelupaan—begitulah arti dari kata-kataku tadi padanya.
"Nihonjin desu ka?" tanyanya tanpa kuduga, ia bertanya apakah aku orang Jepang.
Kali ini aku yang heran, kenapa dia bertanya begitu.
"He? Chigaimasu kedo, Indonesia jin desu." Kukatakan padanya bahwa aku bukan orang Jepang, tapi orang Indonesia.
"Eh? Nande?" Ia bertanya 'kenapa', sedikit berpikir bagiku apa maksudnya 'kenapa', namun kukira aku bisa menjawabnya.
"Koukou kara benkyoushimashita. Nihonggo no koto." Aku jawab bahwa aku belajar bahasa Jepang di SMA.
"Ah sou ka? Sugoi. Jouzu da." Dia memujiku bahwa bahasa Jepangku sangat bagus.
"Iie," aku merendah tapi memang bahasa Jepang yang kupahami kupikir tidak semahir yang ia duga. "Eeto, how about Mix English? Jouzu dewanakute...," Aku menyengir, melanjutkan bahwa oleh karena aku belum bisa disebut mahir, maka aku meminta untuk berkomunikasi campur dengan bahasa Inggris.
"Jouzu dewanakute, ii jan!" Ia masih memujiku karena aku mengaku tidak ahli berbahasa Jepang tapi baginya aku seperti sudah sangat ahli.
"Maybe because I've loved Japan since childhood," akhirnya aku tidak tahan berbahasa Inggris, ia pun tertawa kecil, membuatku terpana, karena aku merasa sedang menghibur sosok yang pernah menghiburku. Tidak, lebih dari itu, aku bahkan menghiburnya dengan membuatnya lupa dengan apa yang nyaris ia lakukan. "Do you almost fall to die?" tanyaku hati-hati.
Wajah tertawa itu memudar. Terdiam. Sepertinya tebakanku benar. "Do you come to prevent me?" tanyanya mencurigaiku.
Tatapannya membuatku tercekat. Aku merasa ketakutan, seakan diinterogasi, tapi aku segera sadarkan diri bahwa aku tidak sedang berbuat salah. "I'm sorry If I'm annoying, but..."
"Do you know me? Shitteru?"
Aku mengejap-ngejapkan mata, berusaha memantapkan diri untuk bicara, karena bicara apalagi dengan orang asing bukan kemampuanku kecuali untuk menanyakan jalan seperti dengan Quincy tadi. "I'm...," Aku berusaha mengulik jawaban di dalam benak. Kurasa aku tidak ingin berterus terang bahwa aku pernah menggemarinya. "I am... I am Wataru-san's Follower..."
"Wataru?"
Aku mengangguk, Wataru adalah adik semata wayangnya. Selama menjadi penggemar, aku lebih cenderung untuk mengetahui keluarganya dan karakternya dibandingkan lagu-lagu grupnya serta drama atau film apa saja yang ia perankan.
"So you know me?"
"Yes. You are Nakanishi Heiji, aren't you?"
"Yes, I am." Senyum dari bibir tipis itu terbit begitu indah.
"What happen with you?"