Ruang kelas yang akan dijadikan untuk kegiatan kuliah terasa lebih sejuk ketika tiada satu pun selain diriku di sini. Pegawai staf kampus bagian penanggung jawab kelas sempat tidak mengizinkanku masuk lebih dulu karena dosen belum datang, tapi mungkin karena iba oleh tiada kumohon-mohon supaya bisa masuk, ia memanggil saat aku berbalik. Tak dinyana kunci kelas yang tersatukan dengan kunci proyektor kelas diberikannya seraya dengan bahasa isyarat supaya tidak perlu siapa pun tahu dan aku jangan berisik.
Meskipun sedikit heran, aku menerima kunci-kunci itu. Rupanya kelas sebelah dari kelas yang akan menjadi kegiatan kuliahku sedang berlangsung kegiatan kuliah lain. Setelah kuhidupkan lampu kelas, lalu secara sembarang aku duduk di salah satu bangku.
Bukan apa-apa. Selain aku sedang tidak nyaman di perpustakaan karena malas akan bertemu petugas yang tidak menolongku saat dijahili satu kelas, juga adanya sesuatu dariku yang terasa dada ini bergemuruh butuh kesendirian untuk menenangkan diri.
Sosok dengan paras mirip Quincy yang sempat kugemari kuduga kuat alami ketertekanan, begitu kutelusuri kabarnya dari internet. Para warganet Jepang sedang menghujatnya karena karakter di sebuah film yang diperankannya baru-baru ini.
Sebuah film berdasarkan komik terkenal yang sudah dibuatkan menjadi komik bergerak dan penuh warna di layar televisi, diangkat menjadi sebuah aksi langsung dengan tokoh utama diperankan Nakanishi. Banyak yang berpendapat, terutama penggemar garis keras komik tersebut bahwa peran Nakanishi sangat buruk. Namun bila diamati dari berbagai komentar bukan tentang peran yang dimainkan begitu buruk, melainkan karakter yang diperankan sangat jauh berbeda dengan komik.
Karakter yang digambarkan pada komik sebagai sosok yang tangguh dan pemberani, sementara saat dibuat aksi langsung justru bertolak belakang sebagai sosok yang penakut dan tidak memiliki semangat. Hujatan bahkan bertebaran di luar Jepang termasuk Indonesia, aku termenung merasa seakan sedang memikirkan nasib sang sahabat yang sedang kepalang malang.
Ada dari diriku yang mewajarkan bila ada rasa ingin mengakhiri hidup dari dirinya, terlebih pernah kubaca tentangnya bahwa ia sangat ingin menjadi aktor daripada menjadi penyanyi grup. Namun meski begitu, tentu tindakan bunuh diri tidak akan pernah menjadi pilihan terbaik meski kondisi benar-benar di ujung tanduk—dan aku bersyukur melalui kuasaNya mampu menghentikannya yang bahkan hari itu tidak hanya kejutan bagiku yang sedang jengkel oleh sekelas namun juga mungkin kejutan baginya yang dicegah lakukan bunuh diri.
Ah, sepertinya aku sedang gede rasa? Entahlah, tapi kini aku khawatirkan bagaimanalah kondisinya kini.
Jemariku tiada henti menggulung-gulung layar ponsel mencari kabar-kabar darinya yang tidak pernah kuikuti sejak kuputuskan berhenti menggemarinya. Atas apa yang dialami Nakanishi dari apa yang diperankannya, aku yakin karakter itu bukan pilihan Nakanishi. Sebab biasanya pemain peran hanya mengikuti teks dialog saja. Info terbaru kutemukan bahwa sang komikus rupanya juga mendapat hujatan, karena menerima saja tokoh utama buatannya menjadi bertolak belakang untuk tayangan aksi langsung.
Mungkin wajahku saat ini tengah sangat serius seperti kesal. Sebuah pikiran lain melintas bilamana anak lain apalagi anak-anak sekelas melihat wajahku saat ini. Sempat berpikir salah satu penyebab aku sulit untuk didekati mungkin karena wajahku lebih terlihat jutek? Tapi bila memang benar, mengapa seseorang dari bagian penanggungjawab kelas seakan tidak tega memberikanku kunci? Jadi sebenarnya aku lebih terlihat jutek atau kasihan?
Baik, kesampingkan si pegawai kampus tadi, kucoba menerka apa yang sebenarnya di benak anak-anak sekelasku tentangku?
Mungkinkah aku akan dikira masih kesal pada mereka?
Tidak kusadari, seseorang tengah mengintip mengamatiku.
"Ver...???"
Aku sontak terkejut dan refleks menoleh, bukan main terkejutku karena suaranya lebih terdengar seperti berbisik. Aku takut yang sedang seorang diri di kelas tengah diganggu jin jahil, nyatanya untung saja adalah Gita salah satu yang sekelas denganku.
Gadis berkacamata dan berambut panjang tergerai itu menyengir menahan tawa melihat keterkejutanku, dengan sesekali menunduk ia melirik ke luar kelas yang rupanya tengah memanggil anak-anak perempuan sekelas lain untuk masuk.
Seketika aku merasa tegang tatkala mereka kian mendekat, aku takut dikerjai seperti kemarin lagi—padahal aku sudah berupaya untuk--meski ragu--ikuti saran tersirat mereka agar aku berpenampilan modis. Tidak dengan menyematkan peniti di bawah dagu seperti sebelumnya, kali ini kupasang jilbab segi empat dengan peniti dekat telinga. Wajah pun dipoles makeup secara natural.
"Kamu masih marah gak sama kita?" tanya Gita mewakili lainnya yang juga agak menunduk terlihat takut-takut.
"Ma... rah...???"