Pria berjaket dengan warna kesukaannya itu membuatku mungkin tengah terlihat berwajah muram meski kuupayakan tidak terlihat kentara. Sesampainya di lantai yang dituju, perhatian dari para wanita yang diduga penggemar telah beralih padaku, pun dari Nakanishi demikian. Pandangan tertuju pada rokku yang telah dirobek, meski tidak sampai memanjang menyingkap celana panjang dalaman di baliknya. Beberapa orang yang melihat kegaduhan kami di tangga berjalan tadi mendekat bertanya ada apa, yang tentu saja Nakanishi bingung bagaimana menjawab dan aku terkadung nyaris tidak menemukan satu kata pun karena apa yang menjadi pandangan kami telah menjadi jawaban yang jelas.
"Anu, kesedot eskalator tadi," tanggapku pada mereka yang mendekat.
Sekuriti turut pula menghampiri, menanyakan hal yang sama. Aku hanya menjawab sebagaimana fakta. Para wanita yang diduga penggemar Nakanishi saling melempar pandang entah apakah merasa bersalah juga atau tidak.
"Caca-san, aku minta maaf," Nakanishi berkata dengan bahasa yang hanya diriku yang mengerti—mungkin para penggemar juga mengerti.
Aku menggigit bibir, merasa bentuk yang tersirat di wajahku saat ini telah menyingkap ruang batinku. Tidak hanya sedih dan kecewa, juga tidak nyaman dikerumuni sedang kurasakan.
"Aku ganti ya! Ayo kita belanja!" Ia menarik tanganku, namun juga kuamati ada rasa ingin menjauh dari para penggemar yang diam terbengong-bengong.
Beberapa toko pakaian kami kunjungi, aku menggeleng sungkan untuk memilih mana yang kuminati. Namun sesalnya yang terlihat kepalang membuatku juga tidak enak menolak, aku pun bersedia memilih mana yang berkenan bagiku. Tidak hanya rok, beberapa pakaian pun dipintanya agar aku memilih pula kecuali ia akan mendesakku menerima.
Tidak hanya itu pula, ia ingin mengirimiku uang sebagai bentuk minta maafnya, namun aku bilang tidak punya rekening untuk menerima darinya. Dan ia memintaku menuju salah satu bank untuk membantuku membuat rekening. Sama sekali dia tidak melihat tanggapanku apakah bersedia atau tidak dibuatkan rekening, geraknya begitu cepat. Komunikasi bahasa Inggrisnya nyaris tidak utuh saat bicara dengan pegawai bank. Angka nominal yang cukup besar untukku pun kuterima setelah rekening telah kumiliki usai dengan cepat ia mengirim lewat ponselnya.
Semudah itu kah 'kaya'-ku?
Terbayang orang-orang rumah bagaimanalah tanggapan mereka bila mengetahui aku memiliki rekening bank dan nominal cukup besar terkandung di dalamnya.
Darimana kau dapatkan uang itu?
Pertanyaan pertama yang kutebak.
Apa? Nakanishi?
Nakanishi Heiji?
Ibu akan bertanya begitu, karena ibu pernah kucekoki wajah Nakanishi yang sempat kusimpan di galeri ponselku sambil kemudian bilang bahwa itu 'menantu ibu'. Ibu tiada mencibirku, membiarkanku menjadi 'normal', karena dibanding Selfi hanya aku yang nyaris tiada didekati lawan jenis. Ibu sempat khawatir aku tidak normal atau belum pernah suka lawan jenis untuk usia yang mungkin sudah layak menikah.
Namun reaksi ibu dalam bayanganku belum apa-apa dibanding Selfi yang lebih dulu tahu Nakanishi daripada ibu, karena pertama kali aku pengaruhinya adalah dengan memperlihatkan grup penyanyi asal Jepang dengan salah satu anggota adalah Nakanishi—untungnya dia tidak mengunggulkan Nakanishi sebagai anggota kesukaannya. Pasti kaget bukan main, belum lagi kerap mencibirku dianggapnya aku 'halu', padahal aku hanya bercanda bilang Nakanishi adalah menantu ibu sebagai upayaku berdekatan dengan ibu yang berkarakter kalem.
Ayah? Tentu akan menginterogasi, ah lainnya pasti juga akan menanyakan banyak hal tentang mengapa bisa aku bertemu Nakanishi. Takdir jenis apa yang sedang menggoreskan namaku berjumpa dengan seorang tokoh publik Jepang? Keluarga besar dan lainnya yang tidak sedarah seperti anak-anak di kampus akan geger bila tahu interaksi antara aku yang terlihat bodoh ini dengan si tampan Nakanishi—ya baru kusadari tatkala berjumpa secara langsung dia memang tampan tidak seperti sebelumnya kulihat di internet yang pernah kusebut dirinya mirip perempuan.
Aku berpikir ingin menolak. Akan tetapi, melihat wajah Nakanishi yang belum hilang jejak kepalang sesalnya, nampaknya nominal yang kuterima sepertinya belum cukup baginya untuk tenang bahwa aku sudah memaafkannya.
"Mohon katakan sesuatu, Caca-san. Bukankah Caca-san pernah bilang bahwa dalam agama yang dianut Caca-san perempuan dan laki-laki tidak boleh terlalu dekat? Namun aku...," Perkataannya terputus, tergantikan sebuah decisan untuk diri sendiri yang kemudian menunduk penuh rasa bersalah.
Ada ketakjuban dariku oleh dirinya yang mengingat apa yang pernah kukatakan perihal hubungan perempuan dan laki-laki dalam ajaran Islam. Menjadikanku penasaran apa yang selama ini bergelung dalam pikiran dan batinnya selama perjalanan denganku.
"Hukuman apa buatku dalam agama yang dianut Caca-san?"