Jingga Ambang

Gia Oro
Chapter #4

Bukan Halusinasi

Keningku berkerinyit ketika sebuah notifikasi masuk dari salah satu akun media sosialku. Bahuku mendadak gatal ketika aku heran kenapa nama pengirim pesan tersebut adalah 'Caca-san Janai', seperti bahasa Jepang yang artinya 'Bukan Caca'. Dikarenakan pernah diberi peringatan oleh seorang sesama penggemar perihal adanya akun berbahaya yang mengirim situs yang menjerumuskan si pengunjungnya menjadi otomatis diretas, aku berharap ketika aku membuka pesan dari 'Caca-san Janai' aku tidak sedang dikerjai. Terlebih, mengapa pula namanya 'Caca'? Apakah sesuatu dariku tengah dijadikan seseorang untuk berniat buruk?

Mataku membola. Bukan karena mengunjungi situs yang kukira berbahaya, bahkan tidak, adanya situs saja nihil. Aku justru menganga kecil ketika aku mengetuk gambar samar yang kemudian menampilkan dengan jelas bahwa itu adalah Nakanishi dan aku—yang sedang menutup sebagian wajah.

"Hey, Caca-san. It's me Nakanishi Heiji. Can you accompany me to buy a cellphone?"

Aku menahan napas secara perlahan. Berusaha mengkondisikan diri. Diam-diam mengangkat pandangan dan mengedarkan pandangan ke sekitar seperti hendak mencuri, kurasakan di dalam diri ada yang ingin berteriak histeris karena tidak pernah kusangka bahwa dia ternyata benar-benar menghubungiku.

Orang akan melihat aku sedang tenang-tenang saja, tapi dari dalam justru seakan ada kembang api yang menyeruak di dalam diri. Kugaruk-garuk tepian salah satu lubang hidung sebentar, sebelum kemudian menutup mata menenangkan diri berusaha tetap wajar untuk membalas pesan Nakanishi.

Tunggu sebentar, sebelum aku membuka mata, aku harus pastikan ketika mataku membuka, aku tidak sedang bermimpi. Dan ternyata benar, pesan dari 'Caca-san Janai' yang merupakan Nakanishi memang masih terhampar di layar ponselku. Aku merasa tidak tahan, aku harus cari kesempatan untuk mencubit kakiku. Mulutku pun mendesis sakit dengan berbisik, merutuk diri yang tega sekali melukai diri demi meyakinkan diri bahwa aku tidak sedang tidur dan tidak sedang mengkhayal.

Menarik napas secara perlahan, kali ini ingin memastikan dengan memeriksa pesan masuk dari Quincy beberapa hari yang lalu, ternyata memang Quincy ada mengirimiku pesan meminta ditemani menuju wawancara kerja, berarti pertemuan dengan Nakanishi bukan halusinasi atau delusi. Kemarin pun anak-anak sekelas minta maaf padaku, dan sebelum dipinta memaafkan aku sudah lebih dulu merasa lebih baik setelah bertemu si pengguna jaket jingga muda yang nyaris berada di ambang kematian baru-baru ini. Baiklah, tidak perlu lagi benakku mencari bukti bahwa aku tidak sedang bermimpi, balasan lekas kukirim.

"I can, but how we meet?"

Di dalam hati aku berharap bahasa Inggrisku tidak buruk. Tak lama, tulisan 'aktif' di bawah nama 'Caca-san Janai' berubah menjadi 'sedang mengetik...'.

"I will share link where we can meet."

Aku menggaruk kepala di atas telinga, kali ini aku yang berpikir apakah bahasa Inggris Nakanishi tidak salah? Aku sungguh memikirkan rumus pola kalimat bahasa Inggris. Tapi mungkin selagi saling mengerti, tidak perlu merasa buruk dan mengkritik juga, bukan? Ah entahlah. Sekarang yang dipikirkan adalah tentang Nakanishi—yang meski terakhir ia bisa tersenyum sebelum berpisah tempo hari yang lalu, tapi tetap saja pertemuan pertama adalah pertemuan yang bisa disebut mengerikan karena sang jingga muda berada di ambang kematian.

"Ok. Mattemasu," balasku kemudian.

Menanti link yang akan kuterima, aku menarik sebelah bibir kiriku dan mengangkat sebelah alis kananku karena merasa lucu dengan nama akun Nakanishi. Kenapa pula 'Caca-san Janai'? Apa ia sedang berlelucon? Ah, tentunya karena sedang dalam tahap upaya supaya tetap bisa 'bertahan hidup' dari belum lama ini yang menjadi nyaris di garis ambang.

Sepersekian detik kemudian, link kuterima. Aku cukup terkejut ketika ia memintaku janji temu pada jam kuliah terakhirku berakhir. Kunyatakan keberatan karena berisiko terlambat, ia ternyata menerima kapan aku bisa berjumpa dengannya. Keputusan diambil dariku setelah dari kegiatan kuliah selesai.

Entah apakah Nakanishi telah meninggalkan ponselnya karena ada urusan mendesak, sebab tidak ada lagi percakapan setelah ia menyetujui waktu kesediaanku. Melihat foto profil 'Caca-san Janai' berupa foto abu-abu tanpa wajah khas media sosial—bila tidak lakukan pengunggahan foto—aku merasa tergerak ingin mengunjungi akun baru—dan mungkin memang telah menjadi rahasia denganku—itu. Akan tetapi aku merasa seseorang memanggilku, aku pun menoleh.

"Eh! Eh! Eh! Adik lu lagi ditembak!"

Seorang mahasiswa di antara banyak mahasiswa dan mahasiswi di kantin, aku tidak mengenalnya tapi tahu namanya. Kuikuti arahnya yang turut pula diikuti penghuni kantin lainnya. Rupanya di luar dekat kantin sudah ramai. Dengan tiada yang menghalangiku, kusaksikan sendiri seorang mahasiswa angkatanku tengah memberikan bunga seraya berkata-kata yang tidak bisa kudengar karena jarak yang tidak memungkinkan untuk menjangkau suara di sana, namun semua sudah tahu bahwa aksi menyatakan cinta sedang berlangsung.

Tanpa diketahui siapa pun di sekitar, ya kuharap tiada yang bisa menebak kondisi hatiku saat ini, aku merasa muram melihat pemandangan itu. Mulailah aku membanding-bandingkan diriku dengan Selfi yang jelita, memang begitu kami terima sejak kecil bahwa orang-orang lebih cenderung pada Selfi yang cantik, bersamaan menganggap aku tidak ada. Betapa tidak aku malas becermin? Ya, sebenarnya itu salah satu penyebab kuat mengapa aku enggan becermin.

Belum lagi, seorang dosen dengan tega mengejek kelayakan namaku yang dianggap terlalu bagus untukku yang tidak menarik dari segi penampilan.


>>>


"Kenapa namanya Veronica Chintya?"

Benteng lamunanku buyar ketika Nakanishi bertanya, yang tentu saja dengan bahasa yang sudah kami sepakati.

Lihat selengkapnya