Jingga Ambang

Gia Oro
Chapter #6

Wawancara Kerja

Berangsur-angsur kondisi wajahku memulih setelah mengikuti saran pegawai klinik perawatan wajah—yang dibiayai Nakanishi. Saat kembali melanjutkan perjalanan menuju Japan Foundation pun Nakanishi memberitahuku beberapa yang diketahuinya terkait asupan untuk kulit—sembari bagiku menambah kosakata bahasa Jepang yang baru kuketahui dari tiap paparannya. Tidak perlu terkejut untukku terhadapnya sebagai laki-laki yang tahu dunia perawatan kulit, karena pekerjaannya di ranah yang mengharuskannya peduli pada penampilan. Sangat ditekankannya perihal asupan antioksidan dan kolagen sebagai kebutuhan kulit baik dari luar maupun dari dalam tubuh—yang berpengaruh juga pada kebaikan tubuh lain selain kulit. Akan tetapi ia menyatakan keberatan bila harus kurangi apalagi berhenti minum minuman beralkohol—yang mempengaruhi kesehatan kulit menjadi terganggu. Setelah kukatakan bahwa aku penganut agama yang keras untuk tidak konsumsi minuman keras, ia bersyukur tidak perlu aku seperti dirinya harus rajin ke klinik perawatan wajah.

Mereka yang sekelas denganku mulai mengomentari wajahku yang kian bersih dari masalah. Banyak sekali pujian, namun aku merasa aneh karena tidak pernah dipuji terlebih perkara fisik oleh seringnya dibanding-bandingkan dengan Selfi. Adikku yang satu-satunya itu pun jua kian antusias karena setelah aku yang berhasil mempengaruhinya menjadi penyuka Jejepangan, kini ia merasa kami impas sebab giliran ia yang berhasil mempengaruhiku untuk memperhatikan penampilan terutama wajah. Sungguh aku tidak tahu mana yang lebih mempengaruhi kondisi kulit wajahku saat ini; apakah dari perawatan wajah yang dibiayai Nakanishi, atau dari rangkaian perawatan wajah yang sudah kuganti menurut saran pegawai klinik perawatan wajah yang menanganiku.

Interaksi dengan Nakanishi tiada berlanjut lagi dari sejak pertemuan di Japan Foundation sampai kemudian pihak kampus memanggilku dan beberapa lainnya untuk berangkat wawancara kerja beberapa hari kemudian di kampus pusat. Swasta pemilik kampus memang memiliki banyak cabang kampus di beberapa titik ibukota dengan kampus pusat disebut sebagai kampus terbaik. Dengan seragam kampus yang sama, aku bersama beberapa mahasiswa dan mahasiswi lain yang ternyata tidak hanya dari kampus cabang tempatku kuliah saja, dengan sabar menunggu giliran memasuki ruang wawancara kerja. Dalam hati aku berharap penampilanku tidak mengecewakan karena banyak mahasiswa-mahasiswi lain sudah ditawari pekerjaan oleh pihak kampus yang sudah lama bekerja sama dengan berbagai perusahaan karena kepercayaan diri dan penampilan yang menarik dari mahasiswa terutama mahasiswi.

Merasa nyaris tiada mengingatnya lagi karena dikuasai gugup akan menunggu panggilan wawancara, pesan darinya justru masuk menyatakan akan pamit kembali ke Jepang. Aku merasa dia sedang bercanda ketika ia bilang bahwa anjingnya di rumah pasti kesepian ditinggal sang tuan. Tidak kutanya tentang adik dan orangtuanya yang tidak mungkin tidak memperhatikan sang peliharaan, hanya doa saja semoga dia benar-benar baik-baik saja tanpa menjadi jingga di ambang bunuh diri seperti beberapa waktu lalu.

Jemariku mendahului pikiranku dengan mengirimnya pesan bahwa aku sedang menunggu panggilan wawancara kerja. Aku terkejut ketika pesanku sudah terkirim, bahkan kemudian ada tanda bahwa Nakanishi telah membaca. Aku merutuk diri, baru sadar mengapa pula kubicarakan suatu hal yang tidak ada hubungan dengannya. Mungkin lain cerita kalau dia bertanya aku sedang apa. Tidak disangka, ia memintaku mengirim link keberadaanku, karena katanya akan menemuiku demi memberikan dukungan.

Sebentar aku menimbang-nimbang tentang belakangan ini berjumpa dengannya tidak ada kesan yang buruk darinya, aku patuh saja karena masih menganggap dia masih sedang dalam 'upaya bertahan' sebagai si jingga ambang.

Ah jingga, hampir tidak kukenali bahwa di masa kecil pernah warna itu menjadi kesukaanku juga. Sebuah warna yang seiring waktu kemudian kuketahui dari sebuah penelitian yang kubaca bahwa penyuka jingga adalah pribadi yang ceria. Kian waktu bergulir aku menjadi lupa suka warna yang mana, terlebih ketika dengan terpaksa kuliah setengah hati, nyaris tidak kuingat bagaimana menjadi ceria sebagaimana khas anak sulung ayah ibu, ya meski hanya 'ceria' di rumah tapi pendiam di luar rumah. Aku hanya ingin bebas sejenak setelah kelelahan sekolah tidak pernah meraih nilai seratus.

Tidak kuketahui bila demikian adalah bentuk hal yang buruk tengah kuderita sampai tidak mengerti rasanya bersyukur—akibat pada mulanya saat SD bahasa Indonesia-ku bernilai jelek karena aku anak rantauan yang saat itu hanya mengerti bahasa daerah, dan demikian berimbas kulakukan juga mengejar nilai tertinggi pada pelajaran-pelajaran lainnya. Namun kini, sosok yang nyaris tidak kuanggap karena ingin berhenti sebagai penggemar justru dengan tiba-tiba menampakkan diri di saat dirinya di ambang bunuh diri, memberikan energi tersirat untukku sekarang yang akan wawancara kerja.

Kupikir aku tidak mau menebak bagaimana garis hidupku ke depan, karena aku juga tidak mau menebak bagaimana hubungan selanjutnya dengan Nakanishi. Segala buah benak tentangnya secara perlahan kukaburkan demi menyadari posisiku sekarang yang harus siap jalani wawancara kerja. Aku harus tampil profesional meski aku tidak tahu perusahaan sedang mencari pekerjaan seperti apa, sebab pihak kampus cabang tempatku kuliah tidak memberi tahu.

Muram di dada kurasakan setelah wawancara kerja selesai, rupanya pihak perusahaan sedang mencari pegawai yang ahli di bidang pembukuan. Suatu materi yang sangat kubenci sejak masa putih biru. Tidak perlu kutebak bagaimana hasilnya yang menurutku sudah jelas usai pewawancara mengetahui nilai pembukuanku tidak memadai, namun aku disarankan untuk ikut les bahasa asing yang kuminati—setelah memang ada keterangan di lembar Curriculum Vitae tertuang salah satu kelebihanku di bidang bahasa.

Tidak lekas aku beranjak pulang begitu keluar dari ruangan, perasaan kecewa oleh pencarian tenaga kerja hari ini membuatku merasa butuh hiburan meski hanya ikut-ikut beberapa mahasiswa-mahasiswi lain—yang satu cabang kampus yang sama denganku—ke belakang kampus pusat. Ada beberapa warung makan dan minimarket di sana di antara ruko-ruko yang saling berhadapan. Lambung yang seakan melolong setelah dua jam berada dalam penantian panggilan wawancara kerja tadi bak menuntun kami menuju pengisian asupan. Tidak secara bersamaan kami berada di tempat yang sama untuk mengisi perut, kami berpencar ke tempat yang berkenan bagi masing-masing.

Pesan dari Nakanishi membuatku terurung akan membeli jus untuk menangkal mualku—sepertinya asam lambungku mulai naik akibat lapar telah beralih menjadi mual. Dan jus biasanya padaku ampuh untuk menetralisir kondisi lambung agar bisa makan.

Lihat selengkapnya