Tidak terlintas pihak kepolisian yang seharusnya didatanginya ketika pesan penuh ancaman itu ia terima. Ia justru tepekur, merenungi bagaimanalah kehidupan setelah kematian. Apakah ada? Atau memang hidup hanya sekali saja di dunia ini? Tidak ditanggapinya secara antusias ketika beberapa rekan satu grupnya yang sedang tidak ada tawaran pekerjaan mengajak liburan, namun ada rasa penasaran bilamana ikut berlibur dan bayangan pesawat jatuh memenuhi benak selama perjalanan ke Indonesia.
Ruang sanubarinya agak hambar ketika perjalanan bersama dua rekan grupnya selamat sampai tujuan, diam-diam ada takjub tiada kecelakaan yang dialami meski bukan sekali dua kali ia pernah ke luar negeri untuk konser. Tiada yang mengganggunya selain pengusikkan dari dalam diri berupa kondisi diri manakala sudah menemui akhir waktu. Kepiawaiannya membawa diri untuk terlihat ceria sungguh telah menipu dua rekannya. Setelah menikmati laut di Bali, mereka menjejaki ibukota negara tujuan.
Dengan dalih ingin mengetes komunikasinya dengan warga setempat, pemuda dengan tubuh tertinggi di antara seluruh anggota grup itu keluar dari hotel pada esoknya. Dan lagi, pikiran yang penasaran pada alam kematian kembali mengusik. Secara sembarang menaiki angkot setelah menanyakan transportasi umum di Indonesia pada pegawai hotel—yang untung saja beberapa uang tunainya selama di Indonesia sudah dirupiahkan dan pegawai hotel telah memberitahu tentang berapa kisaran biaya angkot. Melihat tiada lagi penumpang selain dirinya sendiri, turut pula dirinya turun. Kakinya melangkah entah kemana, hingga terlihat olehnya sebuah ruko dengan minimarket di lantai dasar dikunjunginya. Beruntung pegawai yang melayaninya bisa berbahasa Inggris. Setelah membayar makanan yang dipilih, ia ditawarkan akan makan di tempat atau dibawa pulang. Rupanya ada tangga lain di lantai dua, dijejakinya pula dengan penuh rasa penasaran.
Apakah di sana roof top?
Pikirnya yang kemudian menemukan jawaban. Hamparan gedung-gedung di seberang ruko yang dipijakinya terbentang. Pesan berisi ancaman kematian kembali tersingkap di tepian benak. Ia memandang tenang ke bawah sana, sudah terbayang pastilah akan menjadi gempar ketika tubuhnya benar-benar terhempas tiada kendali. Dan mungkin saat itulah nyawa tercerai-berai dengan raga.
Sebuah suara membuatnya tersentak hingga tanpa ragu ia menoleh. Seorang perempuan, dengan sesuatu berbahan kain membungkus kepala sampai menutupi bawah dada. Pakaiannya yang panjang pun terlihat sangat rapi dan formal seperti menunjukkan bahwa perempuan ini adalah seorang pegawai kantoran. Mengangsurkan sesuatu dengan mengatakan bahwa sesuatu itu barang yang tertinggal.
"...Wasuremono desu ka?" Wanita itu berbahasa Jepang!
"Nihonjin desu ka?" Tak pelak pemuda itu bertanya apakah perempuan itu orang Jepang? Wajahnya meski mengenakan kain penutup kepala sebagaimana beberapa warga lokal sini, namun wajah itu sangat tidak asing untuk dianggap sebagai bangsa Asia Timur.
Dengan lancarnya, perempuan itu menjawab bahwa dia orang Indonesia. "Koukou kara benkyoushimashita. Nihonggo no koto." Sekali lagi, bahasa Jepang perempuan itu sangat fasih, dan membuat si pemuda tidak tahan memuji takjub.
Semakin menarik bagi sang pemuda ketika perempuan itu di matanya terlihat merendah dengan bilang tidak banyak mengerti bahasa Jepang dan meminta campuran dengan bahasa Inggris. Sekali lagi dikatakannya dengan tulus bahwa bahasa Jepang perempuan itu memang sangat fasih. Namun mungkin memang perempuan itu berkata jujur, karena kemudian bahasa yang digunakan selanjutnya adalah bahasa Inggris.
"Do you almost fall to die?" tanya perempuan itu memutus hening setelah mengaku menyukai Jepang sejak kecil.
Muram menyambar ketika pertanyaan seputar dirinya berada di ambang kematian diajukan. Perlahan-lahan ia meraih kesadaran bahwa ia memang tidak berada di negerinya, dan mungkin akan menjadi kesusahan negara bila kematiannya berlangsung di negeri bangsa lain. Menyadari dirinya memang sedang tertangkap basah sebagimana apa yang ditanyakan si perempuan, si pemuda bertanya apakah si perempuan datang untuk mencegahnya.
Tidak dimengertinya, tapi ia melihat ketertekanan dari perempuan itu yang kemudian meminta maaf karena merasa menganggap sang diri telah menganggu. Mengabaikan perkataan yang menggantung dari perempuan itu, sang pemuda tidak tahan juga bertanya apakah perempuan itu mengenali sosok diri pemuda.
Terlihat penuh keragu-raguan dan juga seperti ada takut-takut, sepersekian detik kemudian perempuan itu mengaku sebagai Follower Wataru sang adik pemuda. Nakanishi yang tidak lain adalah si pemuda tersebut, merasa tidak menampik ada kecurigaan dari diri terhadap wanita di depannya dengan menanyakan apakah perempuan itu mengenalinya juga, sebab saat itu sangat dihindarinya urusan dengan para penggemar sejak menerima pesan ancaman kematian.
Akan tetapi mengamati si perempuan yang bahkan mendekat saja tidak berani, Nakanishi merasa tidak punya pilihan selain membenarkan dirinya memang Nakanishi Heiji. Si perempuan bertanya ada apa dengannya, sudah pasti bertanya mengapa terlihat mendekati ambang terjun bebas.
Nakanishi memilih untuk mengelak dari apa yang sebenarnya sudah jelas di depan mata. Merasa upaya si perempuan yang menggagalkannya untuk bunuh diri telah berhasil, ambang terjun bebas dijauhinya dengan memangkas bentang seraya sesuatu yang dianggap barang miliknya menjadi pandangannya sesekali. "Uso wa ne? You said that it's mine," tanyanya menuding si perempuan telah berbohong. Bodoh bagi si perempuan yang padahal berbohong demi kebaikan, justru meminta maaf.
"You don't wrong. Kansha shimasu yo watakushi!" Nakanishi menekankan dirinya sangat berterima kasih pada si gadis. Diam-diam ia merutuk dirinya sendiri mengapa pula akan bertindak tindakan bodoh untuk melakukan upaya mengakhiri hidup, hanya karena penasaran dengan kematian.