Jingga Ambang

Gia Oro
Chapter #13

Interaksi

Mata kuliah bahasa adalah salah satu alasanku bertahan di kampus ini. Terlebih, sang dosen pengajar bahasa Inggris pernah menjadi lulusan sebuah universitas di Jepang. Aku bahkan diam-diam dengan sengaja menelusurinya di media sosial dengan harapan ada kiranya celah atau jaringan untukku bisa berlabuh ke negeri impian. Rupanya, Pak Mujib, sang dosen bahasa Inggris ini merupakan salah satu pemilik yayasan yang menaungi para siswa untuk bisa kuliah ke Jepang.

Batinku seakan dibuat membubung. Kupikir aku akan bicarakan apa yang kutelusuri tentangnya pada yang bersangkutan. Akan tetapi hal itu tidak pernah kulakukan, karena aku selalu gugup untuk memulai percakapan yang tidak ada hubungannya dengan materi kuliah, belum lagi dilihat orang lain bila bicara berbahasa asing dengan Pak Mujib, mengenai ada rasa dari diriku seakan sedang diamati salah benarnya bahasaku. Namun meski begitu, aku tetap saja menonjol terutama dibanding warga sekelasku.

Ya, karena Pak Mujib menetapkan penggunaan bahasa Inggris bagi mahasiswa-mahasisiwi yang ingin bicara dengannya, dan hanya aku yang lebih fasih dari lainnya. Dari awal perkenalan Pak Mujib pertama kali sebagai lulusan dari salah satu universitas ternama Jepang lah aku menjadi antusias dan mengaku pernah belajar bahasa Jepang, mengakibatkan kami tidak hanya gunakan bahasa Inggris, tapi juga gunakan bahasa Jepang yang menyebabkan warga sekelas tahu.

Sempat aku berpikir, mungkinkah aku yang dirombak saat sebelum diajak temani Quincy wawancara kerja sampai bertemu Nakanishi, karena para gadis sekelas ingin menyelaraskan diriku yang kuasai dua bahasa asing—meski belum ahli—supaya sesuai dengan penampilanku yang tidak lagi dianggap ketinggalan zaman?

Tidak aku saja yang antusias dengan mata kuliah ini, hampir seluruh warga di kelas antusias. Bukan, bukan karena materi kuliah. Mayoritas perempuan, kebanyakan justru tertarik pada paras Pak Mujib yang rupawan. Beberapa kali sebagian dari kami menggoda dengan tutur kata, dan yang laki-laki akan mencibir serta mengingatkan bahwa sang dosen sudah menikah dan punya seorang putri kecil. Setiap memulai mata kuliah, Pak Mujib kerap bercerita tentang putri kecilnya.

Sama sekali aku tidak ingin bermaksud aku ini merasa paling lebih dari yang lain, akan tetapi kurasakan hanya padaku para laki-laki sekelasku segan dan memperingatkanku secara halus dan tersirat supaya tidak seperti sebagian mahasiswi sekelas yang lebih cenderung pada paras Pak Mujib, selain hanya punya minat yang besar pada mata kuliah yang diajarkan Pak Mujib.

"Eh jangan salah! Veronica udah jadi klop sama kita!" bela Gita, diikuti koor balasan cibiran oleh teman-teman se-geng-nya pada para laki-laki sekelas.

Aku hanya menganga kecil dan menahan diri dari sebelah ujung bibir supaya tidak tertarik. Aku hanya takut dianggap sedang sinis. Namun mungkin Gita dan lainnya memang sudah tidak seperti sebelumnya yang sempat menjadikanku bisik-bisik di belakang karena pakaian. Pihak kampus pusat ternyata melapor pada kampus cabang tempatku kuliah ini perkara insiden yang kualami hingga Nakanishi menjadi brutal seperti sakit hati benar diriku dilukai. Demikian kabar itu sudah menyebar ke kampus cabang tempatku kuliah sekarang. Warga sekelas terutama para perempuan tak pelak mengerumuni saat dosen belum masuk demi mengonfirmasikan kebenaran kabar tersebut.

"Jangan ragu bilang ke kita kalau lu diganggu lagi, Ver!" Lantang Gita berseru, membuatku membayangkan Gita bak pahlawan bangsa yang siap melawan penjajah.

"Kita ada di pihak Lo, Ver! Ganyang para lelaki!" Ervina menambahkan dengan mengacungkan kepalan tangan ke atas.

Para laki-laki sekelas yang turut prihatin mendengar konfirmasiku, seketika memandang tajam Ervina. Tak lama setelahnya, perdebatan antara perempuan dan laki-laki pun terjadi dimulai dari salah satu laki-laki sekelas kami yang membela bahwa tidak semua laki-laki seburuk itu. Namun tidak kulihat perdebatan serius di antara mereka, apalagi pihak perempuan yang hanya tampak memang senang memancing jengkel pihak laki-laki.

Perdebatan yang nyaris berujung adu mulut terhenti saat seorang dari pihak perempuan bertanya padaku apakah sosok orang Jepang yang menolongku tampan. Para laki-laki jadikan kesempatan itu untuk menyoraki para perempuan, terlebih perempuan dan perempuan lain turut serta menanti jawabanku.

Para laki-laki yang menunjukkan mereka jijik dengan para perempuan yang genit nyaris beranjak dari kelas kalau dosen kala itu tidak masuk. Namun keterangan perihal Nakanishi tetap kujawab saat dosen keluar di jam kuliah yang usai. Para laki-laki yang jijik tidak menunda waktu untuk pulang, sementara aku dengan terpaksa menjelaskan seperlunya saja tanpa bilang bahwa orang Jepang yang menjadikanku penerjemah adalah seorang tokoh publik.

Sejak itu, Gita dan beberapa gadis genit lainnya kerap makin beramah-tamah padaku. Ada tugas kelompok, mereka memperebutkanku. Terkadang mereka meminta dipertemukan dengan orang Jepang yang tampan.

Lihat selengkapnya