Jingga Ambang

Gia Oro
Chapter #14

Belajar Bareng

Mereka terlihat saling mengenal satu sama lain. Saat itu tidak kuketahui kalau mereka bukan dari jurusan yang sama. Menyadari aku memperhatikan mereka yang akan bermain permainan khas anak kecil ABC lima dasar, aku diajak pula untuk ikut serta.

Sedikit menaikkan lengan, sebelum kemudian merentangkan jemari yang diinginkan, sedangkan jari-jari lain ditekuk. Salah seorang menghitung dengan abjad. Masing-masing menyebut sebuah objek yang sudah ditentukan seperti binatang atau buah. Mungkin kami seperti orang yang sudah bukan anak-anak lagi tapi masih belum mau lepas dari masa tersebut. Permainan terus berlanjut sampai berganti dengan permainan selanjutnya.

Aku cukup takjub dengan mereka yang kupikir mirip warga sekelasku yang ingin menjalin pertemanan tanpa pandang bulu—setelah sebelumnya warga sekelasku berbisik-bisik di belakangku karena penampilanku. Jauh berbeda dengan masa sekolahku yang lebih memilih teman karena rupa. Padahal bicara rupa, di dunia kuliah ini kita bebas mau berpolesan wajah atau tidak namun tiada meng-anak-tiri-kan yang tidak peduli penampilan sepertiku waktu itu. Belum lagi, di saat aku masih kuliah setengah hati.

Permainan selanjutnya adalah memutar spidol. Kemana kepala spidol berarah, orang yang 'kena tunjuk' kepala spidol akan ditanya dengan pertanyaan bebas. Ya, permainan jujur-jujuran. Di sinilah Tohir yang tengah masuk perpustakaan, mengamati kami. Dia sedikit kemayu tapi dia lelaki tulen. Setelah mengembalikan buku pinjaman dari perpustakaan, ia tanpa ragu ingin ikut pula dalam permainan. Mungkin Tohir lebih dulu kenal dengan mereka yang ajak aku bermain, makanya tiada malu bagi pemuda jangkung ini untuk ikut serta.

"Kamu tau yang namanya Tohir gak?" Ini pertanyaanku saat kepala spidol berarah pada Tohir. Aku benar-benar tidak tahu namanya saat itu. Tentu saja aku menjadi pusat pandangan karena dianggap sedang berlelucon.

"Tohir? Gua Tohir. Apa ada Tohir lain di kampus ini?" Begitu Tohir menjawab. Semakin konyol bagiku karena bermain dengan tidak semuanya kukenali dan aku manut saja diajak main.

"Kayaknya lu doang deh yang namanya Tohir," ujar Maya si gadis semampai dari jurusan Bisnis.

"Ada apa, Ver?" Tria dari jurusan sekretaris menahan tawa tanpa kumengerti.

"Nilai pembukuanku jelek. Bu Vanya suruh aku cari Tohir buat ajari aku," jawabku polos.

"Iya gua Tohir," si Tohir lalu melepaskan tawa kecilnya.

"Kamu nanya ke orangnya langsung, Ver," Sindi yang sekelas dengan Maya menatap datar aku, terlihat menahan gemas atas diriku.

Sejak itu permainan sudah bergeser akan membahas mata kuliah yang kubenci. Namun sayang, petugas perpustakaan mengingatkan bahwa perpustakaan akan ditutup. Untung saja tidak hanya aku saja yang butuh Tohir. Maya, Tria dan Sindi juga membutuhkannya. Di kos Sindi yang hanya berjalan kaki dari kampus, kami belajar di sana.

Waktu yang tidak memungkinkan bagi kami untuk mengupas tuntas materi pembukuan yang telah diajarkan Bu Vanya, tapi aku juga merasa tidak mungkin seorang diri ke rumah Tohir. Sindi, akhirnya aku jadi sering ke kos-annya sampai ujian semester tiba. Meski tidak semenakjubkan nilai-nilai mahasiswa dan mahasiswi lain, tapi aku bersyukur sudah melebihi batas minimal nilai ketentuan.

Waktu bergulir dalam bilangan bulan-bulan lampau, kukira aku punya teman. Tapi ada Maya di antara aku dan mahasiswa-mahasisiwi yang kala waktu itu akan lakukan wawancara kerja di kampus pusat sebelum insiden pelecehan itu terjadi. Dari situ sangat tampak bahwa memang berteman sebatas sekadarnya saja. Bahkan sebutuhnya saja. Mungkin tidak mengapa aku dianggap tidak berarti selagi masih ada yang bersedia mengajarku meski sebatas karena ingin berbagi ilmu tanpa ada niat tulus menjalin pertemanan lebih lanjut.

Dan saat ini di tingkat dua perkuliahan, kembali berada di kos Sindi menanti Tohir dan lainnya seperti saat di tingkat satu. Saat melihat dan membaca jadwal ujian di mading kemarin, aku dengan kikuk menghampiri Sindi menanyakan apakah akan ada belajar bersama lagi dengan Tohir dan lainnya seperti di tingkat satu perkuliahan. Rupanya Sindi memang berencana butuh bantuan Tohir. Ia telah diajak belajar bersama juga dengan Tria dan Maya. Sedikit aku lega, karena bukan aku saja yang payah dengan mata kuliah pembukuan.

Namun pada hari yang ditentukan, baru hanya ada aku yang ke rumah Sindi. Menonton televisi di kamar kosnya, sebelum kemudian Sindi membuka topik.

"Kemarin Selfi adik kamu lagi jadi penerjemah ya?"

"Penerjemah?"

"Iya, Laoshi (dosen yang mengajar bahasa Mandarin) bilang dari Sensei (dosen yang mengajar bahasa Jepang). Jadi Sensei bawa teman Jepangnya ke sini buat latih anak sekretaris berbahasa Jepang. Eh Laoshi malah tawarkan Selfi ke orang Jepangnya buat kenalin sekitaran kampus. Apa dia sejago itu?"

Aku diam sejenak demi mengingat-ingat bahwa Selfi memang sempat bilang kalau kemarin ada orang Jepang yang ditemaninya untuk keliling kampus. Teman-teman sekelas Selfi berebut menawarkan diri untuk dipacari, tapi orang Jepang itu bilang, bahwa dia bukan muslim. Aku sedikit terkejut, apa hubungannya?

Mungkin maksudnya, ia tidak akan pacaran dengan muslimah, yang membuatnya bisa masuk ke agama yang asing baginya.

Namun terlepas dari itu, mendengar demikian dari Selfi sempat membuat dadaku bergemuruh, karena teringat Nakanishi. Sosok itu, benar-benar sama sekali tidak menghubungiku setelah kusarankan sewa teman. Mungkin aku memang hanya sesaat dikenalnya. Selagi dia baik-baik saja, aku tidak mengapa tidak lagi diingatnya.

"Aku gak perhatiin Selfi ya waktu temenin orang Jepang itu, hehehe," aku menjawab pertanyaan Sindi yang nyaris menggantung.

"Oh iya, katanya kamu juga jadi penerjemah ya? Kamu katanya alami insiden abis wawancara kerja di kampus pusat, dan penolong kamu adalah orang Jepang. Kamu penerjemah dia. Itu benar?"

Ah, topiknya sudah bergeser, dan cukup tidak nyaman bagiku membahas insiden itu. "Ya," kujawab singkat.

"Kok bisa sih? Kamu jadi anggota komunitas penerjemah kah?"

"Komunitas penerjemah?"

Lihat selengkapnya