Jingga Ambang

Gia Oro
Chapter #15

Pernyataan Cinta

Salah satu yang membuatku jatuh hati pada hal-hal seputar Jejepangan adalah budayanya di sekolah untuk tidak saling mencontek. Sensei, guru bahasa Jepangku di masa SMA, mengatakan bahwa pelajar Jepang akan giat belajar daripada mencontek. Karena mencontek merupakan hal yang memalukan. Demikian sudah ku-'anut' sejak kecil, namun aku sungkan menolak ketika ada yang mencari kesempatan dengan berbisik meminta padaku perihal jawaban yang tidak dimengerti saat ujian berlangsung. Karena kupikir pertemanan itu sangat sulit didapat, dengan terpaksa aku berbagi contekan meski aku tidak pernah meminta contekan—meski pada yang meminta. Mungkin tanpa sadar aku seperti budaya Jepang yang menjunjung harga diri daripada meminta contekan, tapi bagaimanalah dengan diriku yang terpaksa memberi contekan?

Aku amati sejak kecil, saling menyontek adalah salah satu cara untuk mendapatkan teman. Pelit contekan maka akan dijauhi. Tidakkah aneh? Individu pribadi yang berjuang tapi justru dimusuhi karena tidak beri contekan? Aku melihat ada anak sekelasku di masa sekolah yang tidak memiliki teman bahkan tidak diajak mengerjakan tugas kelompok bareng meski dia pintar, hanya karena saat ujian memilih abai bila ada yang meminta contekan. Tapi lebih teliti kuingat-ingat, itu hanya berlaku bagi perempuan. Laki-laki? Tetap bisa menjalin pertemanan walau ada yang enggan berbagi contekan.

Tidakkah demikian terkesan tidak adil bagi perempuan? Ada apa dengan perempuan? Mengapa perempuan seakan-akan banyak sekali aturan? Salah satu sebab itulah aku punya kecenderungan suka pada dunia Jejepangan, karena lebih banyak digandrungi laki-laki. Sementara perempuan, seakan harus memenuhi permintaan sekitar tanpa mau mengerti kondisi yang bersangkutan.

Ujian semester empat di tingkat dua saat ini kurang lebih sama saja dengan kondisi di sekolah. Dengan berat hati aku memberi tahu pada yang meminta contekan saat dosen pengawas lengah, apalagi kalau dosennya adalah alumni yang usianya tidak terlalu jauh dengan peserta ujian.

Ah, aku tidak tahu apakah aku sedang salah? Karena tidakkah aku terkesan lebih benar dari lainnya? Akan tetapi, sepotong hatiku yang lain memberi tahu bahwa aku tidak salah, tapi memang berusaha untuk tidak salah bila memang mampu. Kalau mampu dengan belajar, kenapa harus meminta contekan? Belum lagi perihal adanya materi kuliah yang kubenci tetap kurelakan untuk dipelajari daripada mencontek.

Kadang berpikir, mungkinkah aku dipandang segan oleh lainnya karena aku pendiam dan tidak pernah meminta contekan? Hey, apakah aku sedang narsis lagi? Ah, entah kenapa dalam monolog seperti ini, aku seperti bertengkar dengan diriku sendiri. Begitu yang terjadi usai aku keluar dari kelas setelah menyerahkan soalan dan jawaban yang sudah diselesaikan. Kupikir aku juga tidak perlu begitu dibutuhkan selain hanya materi ujian bahasa Inggris.

Salah satu momen dalam lima hari ujian berlangsung, kejadian saat di masa sekolah terulang kembali. Dikatakan bahwa bagi siapa pun yang selesai menjawab seluruh soalan ujian dilarang keluar kelas, maka aku hanya serahkan jawaban dan soalan saja, sisanya aku tiduran dengan meja 'sebagai' bantal. Suhu sejuk dari pendingin ruangan membuatku terbuai menuju lelap. Tidak ada yang bisa bertanya padaku, karena jawaban dan soalan sudah kuserahkan. Bisik-bisik di sekitar masih terdengar saling melempar dan mencari jawaban, terutama saat dosen mengintip sebentar ke luar kelas untuk meminta tolong pegawai kebersihan kampus yang lewat untuk titip beli sesuatu dari kantin.

"Pak, Veronica tidur!" suara Ervina kudengar, namun aku tidak ingin menunjukkan bahwa aku belum tidur—meski mataku memang kututup.

"Biarin aja, mungkin dia begadang," balas dosen pengawas yang pernah mengajari kami mata kuliah bahasa inggris di tingkat satu. Cara mengajarnya yang lemah lembut membuatnya disukai warga sekelas, tapi aku kurang suka karena tiada ketegasan seperti Pak Mujib. Meski begitu, aku pun memang tiada berbuat ulah—selain bolos sekali dari mata kuliah pembukuan di hari aku memilih menemani Nakanishi—yang mungkin demikian menjadikan dosen pengawas tidak menegurku tiduran sehabis menyetor jawaban dan soalan.

Ah, lagi, nama sang tokoh publik tersebut bak mengalun di dalam batinku. Namun lekas kutepis segala macam perasaan seperti khawatir perihal takut akan dia yang sedang cari kesempatan untuk bunuh diri lagi, dan perasaan diri ini dianggap bila mengingat ia yang brutal menggantikanku mengamuki si pelaku asusila. Perkara si pelaku, kuharap aku tidak akan pernah bertemu dengannya sampai kapan pun nanti!

Menit kian merangkak menuju bilangan jam. Di akhir durasi ujian, tidak kusadari aku benar-benar sudah terlelap. Dosen pengawas membangunkanku, dan kulihat sekitar memang hanya aku seorang mahasiswi. Teringat hanya berdua di tempat sepi dengan si pelaku asusila, aku merasa punya trauma yang kambuh seakan-akan dosen pengawas akan berbuat celaka, padahal ia begitu kebapakan. Kupasang cengiran dan bergegas pamit keluar kelas.

Termenung di dekat jendela luar kelas, merutuk diri kenapa aku mulai takut dengan lawan jenis? Bukan, ya, melainkan aku takut hanya berdua dengan lawan jenis di tempat yang sepi. Dan lagi, terkenang olehku Nakanishi yang bukan muslim tapi dengan cepat mengerti untuk menjaga jarak. Nyaris jemariku meraih ponsel untuk menelusurinya di jagat maya untuk memastikan keadaannya, tapi segera kuingat Selfi yang masih menggemari Jejepangan bahkan melebihiku, ia sering berkirim seputar dunia hiburan Jepang padaku di ruang percakapan media sosial berbagi foto, kalau memang ada kabar buruk pastilah Selfi akan dapat berita itu dan meneruskannya padaku.

Dengan berat hati, aku menahan diri untuk tidak mencari kabarnya lagi kecuali dari Selfi. Adikku satu-satunya itu meski pernah mengejekku saat aku bercanda pada ibu dengan menunjukkan foto Nakanishi sambil bilang itu menantu ibu, justru bisa disebut lebih parah dariku karena 'mengoleksi suami' dari beberapa artis yang disukainya. Ya, begitulah ia pada beberapa aktor Jepang yang disukai, semuanya disebut 'suami'. Berbeda denganku yang pada mulanya tidak sebut 'suami', sampai kemudian aku iseng bilang ke ibu tentang 'menantu ibu'. Itu pun kemudian sudah kunyatakan bahwa aku sudah berhenti menggemari Nakanishi. Baiklah, hentikan lelucon yang menggelikan ini. Aku harus bergegas untuk mempelajari materi kuliah yang akan diujikan besok.

Lima hari dalam seminggu, Senin sampai Jumat. Ujian berlangsung mirip ujian di masa sekolah. Dan untuk ujian bahasa Inggris, rupanya kendalaku masih pada uji pendengaran padahal aku sudah pernah menjadi penerjemah Nakanishi. Kendati demikian, aku akhirnya telah melewati ujian sampai hari terakhir. Warga sekelas terutama para gadis mulai berunding cari tempat untuk melepas stres dari masa ujian.

"Dah lah ke diskotik aja lah ayuk daripada rebutan mau makan dimana! Ver, lu ikut lah biar gaul!"

Perebutan tempat makan mana yang dituju pun terhenti, salah seorang yang mengajakku ke diskotik itu telah menjadi pusat perhatian dengan banyak wajah yang terkejut memandangnya.

"Lu gila! Masa' Veronica diajak ke diskotik?" Gita menunjuk gemas.

"Lah? Emangnya kenapa?" Orang ini tampak tak merasa bersalah, lalu memandangku. "Lu belum pernah kan?"

Lihat selengkapnya