Jingga Ambang

Gia Oro
Chapter #17

Meneror

Sosoknya terlihat begitu meneduhkan, jauh berbeda dengan saat pertama kali bertemu meski sungkan sebagai jumpa pertama sangat wajar berlangsung kala sebelumnya waktu itu. Dan jauh berbeda dari saat pertama kali bertemu adanya gerutu tersembunyi sebagai muslim keturunan bila dibandingkan saat ini. Air muka itu ketika bersama-sama bersilaturahim ke kediaman Takenaga pun nyaris ada keserupaan dalam mengeruk pengetahuan agama.

Heiji, diam-diam menyimak betul tiap apa yang bisa diejakannya dari raut wajah Asia Tenggara itu. Ia telah menyapa pria Indonesia itu setelah menurunkan kaca mobil dan sempat bingung dengan bangunan yang baru saja Pahlevi si pemuda itu baru keluar. Heiji mengangguk kecil, lalu mulai bingung akan melakukan apa lagi selain memandang bangunan dengan adanya tulisan Arab di atas bagian depan bangunan. Merasa ingin menjelajahi sosok Pahlevi yang terlihat meneduhkan, ia celingak-celinguk sebelum kemudian mengajak makan di kedai terdekat.

"Mereka habis kajian," terang Pahlevi ketika disadarinya Heiji mencuri kesempatan dengan wajah heran oleh banyaknya orang keluar dari bangunan yang disebut sebagai masjid itu.

"Kajian?"

"Iya, mengkaji pengetahuan agama."

"Ha? Apa Takenaga-san di sana?"

Pahlevi sedikit bingung, terlebih Heiji terlihat antusias terhadap Takenaga. "Saya ke sana sendiri. Tidak dengan siapa-siapa untuk janjian ke sana. Tidak ada pula saya kenal seseorang di sana."

"Kenapa kau bisa ke sana tapi tidak ada yang dikenali?"

"Ya, karena ada kajian agama di sana. Saya tidak pernah ke kajian sebelumnya. Menghadiri kajian tidak harus ada yang dikenali di tempat kajian, karena saya memang ingin memperdalam ilmu agama."

"Kenapa sebelumnya tidak pernah ke kajian?"

"Karena sudah lama sekali saya membenci agama saya sendiri. Dan dengan bodohnya sampai merasa jijik. Tapi setelah bertemu Takenaga-san, saya merasa selama ini telah keliru."

Heiji terdiam dengan samar-samar menarik napas dalam-dalam, merasa mulai mengerti darimana muasal wajah teduh itu. "Berarti selama ini kau salah?"

"Ya. Tapi memang saya belum beruntung saja menemukan ahli agama yang tepat. Selama ini saya taunya ahli agama yang lebih pantas disebut sebagai oknum, karena mereka hanya bisa memvonis. Tapi sejak dari video yang Nakanishi-san tunjukkan, lalu bicara banyak hal seputar agama dengan Takenaga-san, tambah lagi datangi kajian di sana, saya merasa ingin bertaubat. Saya ingin belajar agama dengan lebih giat dan lebih baik lagi."

Heiji menggigit bibir dengan mengangguk-angguk lagi, terlihat berpikir. Apakah benar wajah teduh itu dari dirinya yang bertobat?

"Nakanishi-san sendiri? Kenapa bisa lewat sini?"

"Saya abis nonton bersama para rekan grup. Salah seorang dari kami sedang kami tonton tadi. Nah saat pulang, hanya sembarang saja saya lewat sini. Tapi saya tadi sempat berpikir tentang waktu untuk bertemu Takenaga-san lagi. Ada yang mau ingin saya tanyakan."

"Tentang agama lagi? Atau bahasa?"

"Jadi begini, pemimpin grupku menilai wajahku lebih tampan dari sebelumnya. Hahaha! Maaf kalau aku terkesan narsis. Tapi kalau memang benar, sungguh saya takjub sendiri karena saya benar-benar tidak lagi minum bir dan menggantikannya dengan memakan buah. Saya memutuskan menghindari bir sejak saya kenal Caca-san."

"Oh. Perempuan yang membuatmu tidak melakukan bunuh diri itu ya..."

"Ya. Singkat cerita, pada pertemuan ke sekian, wajahnya sedang bermasalah, saya pun beri keterangan tentang pantangan dan asupan untuk kesehatan kulit. Tapi saya merasa hipokrit karena memberi tahu beberapa pantangan dan asupan untuk kulit, namun saya seorang peminum. Saya pikir saya ingin menghindari minuman yang beralkohol, dan saya telah melakukan itu dengan berulang kali berlatih mengurangi sampai pada benar-benar berhasil tidak menenggaknya lagi. Mungkin telah berimbas dengan kulit wajah saya. Hal yang menjadi pertanyaan bagi saya, Caca-san bilang kalau agamanya dengan keras melarang minuman memabukkan atau beralkohol untuk dikonsumsi. Itu kenapa ya?"

Pahlevi mengulas senyum, serupa Takenaga yang sedang menerima banyak pertanyaan. Begitu Heiji memandang pemuda Indonesia itu.

"Logika sih itu ya. Saat mabuk, lebih banyak tidak sadar, bukan? Saat mabuk, cenderung tidak sadar apakah kita lakukan suatu hal yang salah atau tidak. Meski saya sempat jijik dengan agama sendiri, tapi saya setuju bila minuman memabukkan adalah yang diharamkan untuk dikonsumsi. Karena berisiko saat mabuk, kita banyak tidak sadar, dan mana tau kita sedang mencelakai seseorang?"

Heiji merasa tersentil. Benaknya menempatkan momen buruk pada ingatan mengenai dirinya yang nyaris berurusan dengan pihak kepolisian, karena pernah mabuk dan hampir lakukan pelecehan. Secepat kilat ingatannya menghadirkan momen Caca yang alami pelecehan, yang justru dirinya yang merasa bersalah. Meski perempuan yang nyaris dilecehkannya sudah menarik pengaduan setelah tahu bahwa sang tokoh publik yang disukai yang melakukan tindakan tercela, namun saat ini rasa bersalah pada Caca seakan-akan mendera walau telah secara brutal membalas si pelaku asusila.

"Ngomong-ngomong, kuat juga ya pengaruh teman perempuan Nakanishi-san di Indonesia sana sampai Nakanishi-san tidak mabuk lagi," ucap Pahlevi tanpa menyadari wajah tercenung Heiji. "Apa kalian masih berinteraksi?"

Heiji memutar bola matanya ke samping disertai senyum kikuk mendapat pertanyaan—yang tersirat mengingatkannya. "Aku belum memulai percakapan lagi sejak menggunakan jasa sewa teman sebagaimana yang disarankannya..."

"Apa dia juga tidak menghubungi Nakanishi-san?"

"Tidak. Apa karena dia sangat memegang kuat ajaran agama untuk jaga jarak dengan lawan jenis ya?"

Lihat selengkapnya