Tersentak. Bunga tidur itu begitu mencekam. Seakan-akan nyata. Napasnya terengah-engah. Ia melihat dirinya bersama Caca. Gadis itu kembali diganggu. Heiji, ia tidak terima. Tindakan brutal itu dilakukannya.
Sebuah jam tangan digapainya di meja samping ranjang. Waktu menunjukkan dini hari. Heiji menarik tubuhnya untuk bangkit dari rebah, bersandar di sandaran dipan ranjang. Sempat panik tengah berada dimana dirinya saat ini, kemudian tersadar setelah melihat Suzui dan Ichinose di sampingnya. Setengah hari yang lalu ia dan grup melakukan konser sesuai undangan.
Apakah sebegitu lelahnya ia?
Tapi kenapa justru Caca yang dimimpikannya?
Apa ia tengah rindu karena keberadaannya sangat dekat untuk menjangkau negara gadis itu?
Atau jangan-jangan Caca-san dalam bahaya sungguhan?
Tidak.
Heiji harus bisa mengendalikan pikirannya yang belum pulih dari alam mimpi. Ia berupaya mengatur napas agar terkendali. Menarik napas secara perlahan, kemudian mengembuskan dengan perlahan pula. Ia terlihat letih seperti habis berlari.
"Sepertinya kau mimpi buruk," suara dengan nada melantur terdengar dari Suzui yang turut terbangun.
Heiji melirik pada si pemilik suara barang sebentar, hanya tersenyum masam. Menggeleng entah untuk apa.
"Apa kau sedang bertempur dengan John Wijck?" Suzui tertawa malas, mengungkit kesukaan Heiji yang pernah bilang menyukai salah satu film barat yang barusan dikatakannya.
"Atau mungkin sebenarnya kau ingin dapat main di drama atau film laga?!" Tiba-tiba Ichinose yang rupanya ikut bangun pun duduk. Suzui lalu mengikuti Ichinose, berdua menunggu jawaban sosok yang paling tinggi di antara seluruh anggota grup itu.
"Ah sudah! Jangan dipikirkan! Ayo tidur lagi!" Heiji mengelak untuk bercerita.
"Kenapa tidak cerita dulu pada kami?" tagih Ichinose.
"Iya, nanti biar kita ceritakan lagi ke kamar sebelah," lanjut Suzui membicarakan kamar lain yang dihuni empat rekan lainnya.
"Dah ah! Mimpi buruk tidak untuk diceritakan!" Heiji buru-buru merebah dan menutup tubuhnya dengan selimut.
"Ah curang! Kau harus tanggung jawab!" seru Suzui.
"Tanggung jawab apa?" Heiji membuka selimut yang menutupi kepalanya demi menoleh pada Suzui.
"Tadi aku mimpi sedang bertanding dengan gamer terhebat di dunia! Sedikit lagi penentuan pemenang, tapi kau membangunkanku!"
"Aku tidak bermaksud membangunkanmu. Tapi baiklah, aku minta maaf."
"Serius sekali kau," Ichinose menatap curiga. "Kenapa tidak minta maaf juga padaku? Tadi aku hampir mendarat di Arab!"
"Ya sudah, aku minta maaf. Ayo kalian tidur dan lanjutkan mimpi kalian," tukas Heiji.
Suzui dan Ichinose saling melempar pandang, kemudian kembali merebahkan diri dan menutupi sebagian tubuh dengan selimut. Butuh waktu untuk kembali terlelap, apalagi entah bisa atau tidak melanjutkan mimpi yang terputus, namun berbeda dengan Heiji yang masih terjaga di balik selimutnya. Ia lalu menutup mata dengan tangan saling menjalin, mendoakan Caca semoga baik-baik saja.
Waktu bergulir. Mentari merangkak menuju peraduannya. Dua kamar hotel yang dihuni Heiji dan para rekan grup mulai disesaki persiapan untuk kembali ke negara asal. Para pengawal sudah siap sedia menemani agar perjalanan menuju bandara tidak terhalang oleh para penggemar yang manakala menguntit.
Dalam perjalanan kembali ke Jepang, ada sesal dari Heiji karena tidak sempat ke Indonesia lagi untuk memastikan keadaan Caca. Ia tidak menggubris dua rekan sekamarnya yang bercerita tentang dirinya terjaga dari mimpi buruk. Kousei yang berada di bangku yang berbeda lantas menatapnya, merasa perlu untuk bicara lebih lanjut pada sosok yang dianggapnya sebagai adik itu.
Beberapa jam kemudian setelah sempat tidur di pesawat, mereka sampai di bandara Narita. Kendaraan dari agensi sudah menunggu menuju kantor. Sebentar mengadakan rapat dengan para staf dan petinggi agensi sebelum dipersilakan pulang ke rumah masing-masing. Saat mulai pulang itu, Kousei menghampiri Heiji.
"Heiji, aku tidak tahan lagi. Apa kau menyembunyikan sesuatu?"
"Apa?"
"Kau sungguh mencurigakan sejak film terakhirmu dihujat. Kau tidak lagi minum bir bersama kami. Tidak pula terima tawaran bermain peran. Apa benar kau tidak apa-apa? Kau bermimpi, kan? Apa yang kau mimpikan?"
Heiji menarik sebelah ujung bibirnya terlihat nyaris seperti sinis, merasa belum bisa berterus terang tentang pesan ancaman kematian. "Kau berlebihan, Kou-chan."
"Tidak, kau bahkan tidak pernah curhat dengan kita. Kau selalu ceria, padahal kita manusia tidak mungkin ceria selamanya. Setidaknya ada yang kau percaya di antara kami dalam grup untuk kau menumpang bercerita."
"Aku tidak apa, Kou-chan. Kau jangan berpikir yang buruk. Kita harus berpikir yang baik, bukan? Kita tidak tahu apakah semesta mendengar pikiran atau bisikan kita dalam hati atau tidak. Entah mana tau ada yang dikabulkan...???"