"HEIJI KOMA!"
Aku mengerutkan kening. Tindakanku mencoba-coba polesan wajah yang baru kubeli teralihkan oleh Selfi yang masuk kamar memberitahukan kabar mengejutkan itu. Tapi aku tidak lantas terkejut seketika sebelum ia menunjukkan langsung kabar tersebut dari ponselnya.
Sebuah akun media sosial berbagi foto, memuat kabar dunia hiburan Jepang berbahasa Indonesia itu kubaca. Nakanishi Heiji, telah menjadi korban penikaman saat menunggu bus setelah konser di salah satu negara Asia Tenggara. Kendati sang pelaku berhasil ditangkap, namun kondisi Nakanishi sedang dalam keadaan koma di salah satu rumah sakit.
Seluruh riangku karena tiada lagi meminjam polesan wajah milik Selfi pun luluh lantak secara perlahan. Mengikis dengan pedih tenaga ini. Aku lalu duduk di atas ranjang, menenangkan diri. Sementara adikku menatapku seperti berusaha menebak apa yang sedang terjadi di dalam diriku.
Tidak bunuh diri, tapi dibunuh...
Dan koma...
Kurasakan tubuh ini kian lunglai hingga terasa seakan terhempas begitu saja di atas ranjang dengan kaki menjuntai.
"Bu! Menantu ibu koma!" seru Selfi saat ibu melewati kamarku.
"Ha? Siapa yang koma?" Ibu turut terkejut dan masuk kamarku. Putri bungsunya lantas mengangsurkan berita Nakanishi. Dan ibu, ia benar-benar membacanya. Ia lalu memandang Selfi sebelum kemudian memandangku si sulungnya. "Ca?"
Airmataku membulir. Aku tidak bisa menampik duka ini bila mengingat aku telah berhasil membuatnya gagal bunuh diri dan dia pun telah menolongku pada insiden pelecehan. Selfi dan ibu mulai mendekati setelah tanganku menghapus air mata. Ketika sekali lagi ibu lebih mendekatiku, tanpa kuurung lagi untuk bangkit demi menghambur memeluknya. Untuk pertama kalinya aku menangis karena seorang lawan jenis.
Ibu membiarkanku menenggelamkan diri dalam pelukannya. Sudah pasti aku menangis sebagai penggemar di mata ibu dan Selfi. Dan sudah pasti aku sudah dianggap sebagai penggemar yang cinta setengah mati pada sang idola. Selfi, ia tidak mampu mengucap beberapa kata, terlebih aku jadi makin terisak.
"Sudah, doakan saja. Semoga Heiji baik-baik saja."
Tutur kata ibu terdengar menenangkan. Ia sungguh berbeda dibanding siapa pun yang mengetahui bilamana aku tengah menggemari siapa pun. Tiada mencibirku. Tiada mengejekku.
Bilamana aku tidak pernah bertemu langsung dengan Heiji, mungkin aku tidak akan sesedih ini. Aku yakin apa yang kurasakan saat ini jauh berbeda dengan apa yang dirasakan salah satu siswi yang sekelas denganku di masa SMA, dia menangis karena tokoh idolanya menikah. Sementara aku, aku yakin aku tidak mengidolakannya lagi. Alasan terkuatku memutuskan berhenti mengidolakan yaitu adanya video tausyiah yang kutonton tentang definisi idola yang merujuk pada pujaan. Penceramah dalam video itu menerangkan bahwa, Dzat yang lebih pantas untuk dipuja-puja adalah Sang Pencipta yang juga merupakan Sang Pemilik semesta.
Kupikir mungkin tidak apa-apa menyukai sesama manusia, karena terkadang kita hidup butuh dukungan atau dorongan dari luar diri sendiri selagi tidak ada dampak buruk yang dilakukan, tetapi tetaplah agar memiliki kesadaran bahwa manusia sebagai tempat salah dan lupa yang tentu akan menjadi tempat kecewa bagi sesama—belum lagi pernah kudengar nasihat agama yang berbunyi “Seseorang bersama yang ia cintai dan engkau bersama orang yang kau cintai” (HR at-Tirmidzi No.2307). Dan ya, aku tidak tahu apakah aku harus bersyukur atau tidak ketika akhirnya merasa sangat kecewa pada Nakanishi karena sosoknya yang sempat kugemari sejak SMP sudah sering bermain peran romantis begitu ia memasuki usia dewasa.
Atau memang hati ini benar-benar perih karena tiada aku memiliki seorang kakak yang bisa membimbingku? Dan kukira Nakanishi adalah sang kakak idaman? Alih-alih menjadi penggemar yang selalu mengikuti karya apa yang dibuat, aku lebih suka membaca wawancara seputar dirinya dan grupnya yang membuatku seakan bisa meraba-raba bagaimana karakternya yang sebenarnya.
Karakter? Aku sebenarnya menyukainya karena karakter? Memangnya apa yang kuketahui tentangnya?
Tidak, aku yakin aku tidak lagi menggemarinya. Tapi kuyakini siapa pun yang berada di posisiku pasti akan menangis. Entah kenapa aku berpikir aku seperti manusia yang menangisi binatang tanpa tuan yang kuselamatkan dari kemalangan. Setelah sudah susah payah kuberi makan namun kini koma oleh kelaparan karena bermain terlalu jauh dari tuan barunya ini.