Deretan bangku dan meja itu masih lengang melompong. Namun dibumbung oleh semerbak rasa yang ingin meluap, aku justru tengah disambut oleh mereka. Ya, anggap saja ada orang-orang yang menyambut kehadiranku pada pagi ke sekian aku selalu datang lebih awal—dari pegawai kelurahan berseragam cokelat lainnya. Kabar baik seputar Nakanishi membuatku bak jatuh cinta. Ia telah siuman, membuatku nyaris tidak memiliki keberatan tiap melangkah ke luar rumah. Bahkan saat di rumah pun selalu kusematkan senyuman tiap ayah ibu meminta bantuan apa pun.
Seakan sudah jelas dalam bilangan bulan belakangan ini aku menanti kabar terbarunya. Sudah kupanjatkan doa semoga hal yang terbaik ditetapkan padanya, termasuk sudah kurelakan bila hal terbaik itu adalah berupa harapan yang jauh dari yang kuinginkan. Namun takdir sungguh menuliskan padanya untuk meraih kesempatan lagi. Ya, semoga entah apa pun masalah yang dideranya termasuk dirinya yang rupanya ditikam penggemar garis keras komik yang diperankan akan menuai pesan tersirat dari Sang Pemilik Semesta.
Kupikir tidak ada pengaruh buruk yang berarti selama kujalani PKL. Tetapi mungkin ada pengaruh baik yang berdampak padaku yang menjadi mudah memulas senyum yang tentu saja dengan diupayakan terlihat wajar tatkala ada apa-apa saja dari para pegawai lurah berseragam manakala minta bantuanku. Baik turun tangga untuk menemui pegawai berseragam cokelat lainnya untuk meminta stempel pun seakan main-main buatku, aku membayangkan diri seperti anak kecil yang riang berlarian di taman bermain. Tentu saja tidak secara tindakan aku benar-benar seperti anak kecil, hanya dalam bayangan saja sebagai wujud bungah yang berusaha kututupi agar tidak dianggap aneh ceria seperti tanpa sebab.
Seiring para pegawai lurah berseragam cokelat hadir untuk bekerja, tangis dari langit menitik sampai menderas. Suhu ruang kerja utama yang sudah berpendingin ruangan menjadi semakin sejuk oleh belaian angin hujan yang berhembus dari atas ventilasi jendela. Dan kukira hanya aku saja yang merasa sejuk, sementara lainnya merasa dingin. Tidak kusangka hanya aku yang tidak menunjukkan tengah kedinginan menjadi buah percakapan mereka dengan nuansa jenaka. Aku hanya menyengir, lalu cukup heran setelah kuakui aku memang tidak kedinginan, dan mereka menunjukkan takjub padaku.
Merangkak dalam bilangan jam kemudian, hujan makin menderas. Salah satu pegawai melaporkan ada beberapa titik yang alami kebanjiran. Kami di ruang utama lantai dua melangkah menuju satu lantai di atas lagi setelah hujan berhenti, mulai menyiapkan makanan untuk dibagikan pada warga sekitar yang membutuhkan.
Lagi, aku menjadi buah pembicaraan pada bagian membungkus nasi karena aku diyakini yang paling bagus membungkus sebab orangtuaku pedagang nasi. Meski sepele, tetapi aku terdorong untuk berusaha membuat bungkusan yang layak dipandang seakan aku anak kecil yang masih butuh dukungan orang dewasa. Ah, padahal aku sudah bukan anak-anak. Topik lalu bergeser pada menu di warung ayah ibu tentang harga salah satu makanan, tetapi tidak bisa kujawab karena makanan yang ditanyakan tidak pernah ada sebagai menu yang dijual ayah ibu.
Menjelang selesai, aku mulai memikirkan kenapa aku merasa dihargai seperti ini padahal aku sudah bukan anak-anak yang haus penghargaan dan pujian. Kukulik diri, sepertinya mungkin karena selama masa sekolah hanya ejekan yang kuterima, di rumah pun tiada pula penghargaan dari orang tua kepada anak. Seakan berbuat sesuai yang diinginkan mereka sudah semestinya dilakukan, namun bilamana ada kesalahan maka akan ada nada tinggi sampai gertakan. Sudah lama kuanggap hal demikian adalah hal yang wajar, karena pernah kubaca manusia memang lebih 'peduli' pada kesalahan dan mengabaikan kebaikan.
Apa aku sedang mengeluh?
Aku tidak paham pasti.
Seorang pegawai dengan seragam berbeda masuk setelah dihubungi melalui panggilan telepon oleh salah satu pegawai lain yang memasak sampai mengemas makanan bersamaku. Ia dan beberapa pegawai lainnya mulai menjinjing makanan yang siap dibagikan.
Senggang sejenak aku dan para pegawai kelurahan di lantai tiga, entah kenapa pula sedikit aku melamun teringat Ikhwan yang pernyataan cintanya kutolak. Kurasakan panas dingin kala itu, sensasi aneh menjalar di dalam dada karena itu pertama kalinya ada seorang lawan jenis menyatakan cinta padaku. Sempat tebersit mengapa dia menyatakan cinta, padahal sudah dua tahun sekelas—yang kini menginjak tahun ketiga. Namun di samping itu keanehan juga sepertinya berasal dari diriku yang menolak dengan alasan tidak diizinkan pacaran oleh orang tua.
Tidakkah itu terkesan aku masih anak-anak?
Hey, padahal aku sedang berjalan usia kepala dua.
Cukup terganggu benakku memikirkan diri sendiri, berusaha menilik adakah latar belakang lain tentang penolakan yang kulakukan? Kalau dipikir-pikir, aku merasa seperti 'untuk apa pacaran?'. Terlepas banyak pegiat agama berpendapat bahwa pacaran itu haram, tapi secara individu kurasakan memang sangat menghindari pacaran. Ini tentang 'memangnya ngapain pacaran itu?' Makan bareng? Nonton bareng? Seperti pada umumnya?' Aku justru membayangkan akan menjahili pacarku bila benar aku pacaran akibat bosan dengan aktivitas pacaran hanya nonton dan makan bareng saja.
"Ver, suka yogurt gak?"
Seorang pegawai yang kukira hampir seusia ibuku memudarkan monolog dalam diriku—yang sudah sampai saat diriku duduk di ruang kerja utama di lantai dua. Aku menoleh, menatap sosoknya yang selalu berkerudung ala kadarnya. Kuhampiri setelah ia mengisyaratkan melalui tangannya. Sementara itu, satu per satu pegawai lain dari atas juga tengah masuk ke ruang kerja utama.
Aku berdiri di dekat pegawai yang memanggilku itu, satu tangannya meraba-raba isi tasnya. Sebuah kemasan dikeluarkannya untukku.