Sidang tugas akhir berlangsung di kampus pusat. Waktu yang belakangan ini kian bergulir disesaki oleh revisi demi revisi sudah mencapai puncak masanya. Dan tentu saja, aku akan meraih kebebasan untuk menjauhkan diri dari materi pembukuan setelah terpaksa kupelajari demi mengejar nilai yang layak di lembar-lembar penilaian mata kuliah.
Kukira aku bisa hidup layaknya seolah-olah tidak pernah bertemu Nakanishi, ya memang begitu yang kurasakan. Seperti biaya menyusun tugas akhir yang kerap revisi menuju revisi, tiada aku membebani ayah ibu untuk dipintai uang mengetik dan mencetak, karena uang dari Nakanishi di rekening bank sangat membantuku tanpa ayah ibu tahu kesulitanku. Namun hanya sebatas itu, sisanya tetap dalam garis yang kupikir berada di jalur realistis. Terlebih adanya desas-desus yang sampai ke jangkauan pendengaranku sejak berhenti PKL di kelurahan demi menekuri diri pada tugas akhir bersama dosen pembimbing.
Tidak hanya warga yang sekelas denganku, tapi mereka yaitu Tria, Maya dan Sindi meminta konfirmasi apakah benar saudariku satu-satunya tengah menjalin hubungan khusus dengan lawan jenis yang tidak lain adalah mahasiswa seangkatanku beda jurusan. Memang aku tidak berbohong ketika aku bilang tidak tahu menahu terkait hal itu, pun tidak bisa juga kupastikan pada Selfi demi fokusku terhadap revisi tugas akhir.
Saat tebersit mengapa Selfi berani pacaran—apakah tidak mengapa ketahuan ayah ibu—aku justru memikirkan diriku sendiri yang pernah pula diajukan pernyataan cinta. Sungguh aku tidak punya ide apa pun bila pacaran kulakukan. Pikirku, untuk apa? Nonton bareng? Makan bareng? Kenapa aku merasa sangat nikmat sekali melakukan semuanya secara sendirian? Aku bahkan tidak iri dengan orang yang sudah punya pasangan meskipun sudah halal sekalipun.
Mengingat aplikasi biro jodoh yang kuunduh, aku mulai mempertanyakan diri sendiri tentang realistis jenis apa yang ingin kudapatkan. Meski tetap saja aku tidak bisa berterus terang pada siapa pun mengenai janji temu yang sering kulakukan dengan Damar untuk kuajarinya bahasa Jepang. Tiada debar yang kurasakan selain debar takut aku akan salah mengajar sementara aku dibayarnya. Aku hanya malas saja ditanya banyak hal tentang bagaimana aku bisa menemukan seseorang yang kuajari, besar kemungkinan aku akan digoda Selfi kalau aku kenal Damar dari aplikasi biro jodoh. Kadang aku diam-diam mengamati sekitar untuk memastikan tidak ada orang yang mengenalku, melihat sedang duduk berhadapan dengan Damar di depan kedai minimarket yang menyediakan fasilitas makan di tempat.
Mungkin pula karena takut patah hati seperti di masa sekolah, tidak kujatuhkan harapan melalui aplikasi biro jodoh, dan kuharap Damar terhadapku juga hanya membutuhkan pengetahuan bahasa Jepangku saja.
Akan tetapi tidak kusangka, di hari yang menegangkan itu namaku akan dipanggil untuk sidang tugas akhir, sosok yang tidak kukenali berasal dari cabang kampus berbeda melakukan hal yang dilakukan Ikhwan padaku saat di kedai es pisang ijo.
>>>
Lagi. Mengapa tidak saling mengenal dulu, dan baru kali itu saling bertemu muka sebagai mahasiswa-mahasiswi yang beda kampus cabang yang sedang menanti giliran sidang, dia serta merta mengajakku pacaran?
Dia terlihat malu-malu meminta nomorku. Tanpa tendeng aling-aling menawarkan pacaran? Apakah sungguh aku terlihat cantik di matanya? Sungguh, meski aku sedih diejek di masa sekolah, namun ketika kurawat wajah ini bukan perhatian lawan jenis yang kuinginkan. Aku hanya ingin dihargai dan dianggap bahwa aku ini ada, bukan siswi atau mahasiswi yang cuma mejeng nama di buku absen.
Sekali lagi, ke sekian kali dengan rasa tidak enak, kupikir sangat wajar aku menolaknya. Sungguh aku tidak bisa membayangkan bagaimana menjadi Selfi sejak kecil yang selalu menjadi pusat perhatian. Oleh karena tidak nyaman membahas hal romansa, aku tidak pernah bercerita pada Selfi meski ia sering curhat tentang banyaknya anak cowok yang menyatakan cinta padanya—selain saat ini ia tidak pernah berterus terang tentang statusnya yang menjadi desas-desus.
Aku terkejut ketika pulang dari sidang tugas akhir dan telah dinyatakan lulus, kulihat sosok mahasiswa yang diduga pacar Selfi baru saja pamit dari rumah. Ayah ibu baru membicarakan Selfi dan sang pacar begitu putri bungsu mereka sudah memasuki kamar.
"Caca lihat cowok yang antar Selfi pulang?" ibu bertanya.
"Iya," jawabku singkat.
"Caca tau dia?" tanya ayah.
"Seangkatan sama Caca. Sepertinya sidangnya sudah dari pagi dia, jadi mungkin bisa anter Selfi...???"
"Jadi Caca tau mereka pacaran?" tanya ibu.
"Caca belum tanya langsung ke Selfi. Memangnya dia sempat masuk ke sini?"