Sebuah tempat yang pertama kali kuketahui saat di bangku SMA. Guru bahasa Jepang menunjukku dan beberapa siswa-siswi lain untuk mengikuti lomba pada pergelaran Festival Jepang di salah satu universitas ibukota. Setelah sejak kecil aku merasa sendiri sebagai penyuka Jejepangan, ternyata ada tempat bagi para penikmat Jejepangan yaitu Festival Jepang. Saat itu aku lupa diri sebagai peserta lomba, justru terbuai oleh dunia Jejepangan yang bergelimpangan di sana. Dari pertama kali itu pula, baru kuketahui Festival Jepang tidak hanya di satu titik saja. Festival-festival Jepang lain juga digelar di universitas-universitas lain. Tapi yang menghadirkan penyanyi Jepang atau yang berhubungan dengan Jepang langsung hanya berada di sekitaran Monas dan sebuah lokasi yang didiami banyak orang Jepang. Bila sudah mengetahui kapan dan dimana Festival Jepang akan berlangsung, aku biasanya akan menabung untuk menikmati makanan-makanan yang dijajakan di sana. Adapun hal lain yang kubeli adalah asesoris yang berkaitan dengan komik-komik, dan aku membeli kipas dengan gambar berupa tokoh komik kesukaanku.
Sempat kutemukan buku catatan dengan grup Kintsugi sebagai sampulnya. Ya, hanya kubeli untuk kusimpan. Dan saat ini tidak kusangka ada sebuah grup yang berlagak seakan-akan mereka adalah para anggota grup Kintsugi, tengah menguasai salah satu panggung. Rambut tiap anggota benar-benar dibuat mirip dengan rambut para anggota yang asli. Tapi yang sangat sesuai menurut tinggi badan hanya seseorang dengan rambut mirip Nakanishi.
Terlepas aku masih penggemar atau bukan, aku merasa aku berbeda dengan penikmat Kintsugi lainnya. Mendengar lagu demi lagu di masa sekolah yang dinyanyikan membuatku serta merta mengetuk diri yang sudah lama menggeluti grup itu, umurku sudah bertambah, pun para anggota grup yang sebagiannya seusia denganku termasuk Nakanishi. Anak-anak menjadi remaja, kemudian dewasa. Tapi pada bagian lagu-lagu Kintsugi saat mereka sudah dewasa sangat tidak memantik seleraku. Padahal Kintsugi sendiri adalah sebuah seni budaya Jepang yang penuh dengan pesan mendalam.
Kintsugi, merupakan budaya Jepang bilamana ada wadah yang pecah, wadah tersebut tidak dibuang, melainkan direkatkan kembali dengan perekat berlapis emas. Terlihat estetik. Tersirat nasihat yang begitu mendalam mengajak siapa pun yang mengetahui budaya Kintsugi untuk bangkit dari keterpurukan dengan memoles 'keterpurukan' dengan emas berkilauan. Kupikir bila sudah mengenal budaya Kintsugi, kutangkap ketiadaan alasan untuk menyerah meski kondisi diri pecah berkeping-keping.
Sayangnya, seiring memasuki usia dewasa, grup Kintsugi sudah jarang menjadi sebagaimana nama mereka yang mengajak untuk bangkit menjadi diri sendiri. Maka, tatkala lagu-lagu tentang romansa dinyanyikan, aku memutar mundur keluar dari kerumunan penonton. Seperti yang pernah kulakukan pada tiap-tiap Festival Jepang yang pernah kukunjungi sebelumnya, aku mendatangi satu stan makanan dan mencari tempat untuk duduk supaya tetap beradab dalam menikmati makanan. Setelah itu, kudatangi stan makanan lain lagi, dan lagi, dan lagi. Membuatku teringat salah seorang sesama penggemar Kintsugi dulu, kami janji temu setelah saling kenal melalui media sosial, ia heran padaku yang kurus tapi meraup segala jenis makanan yang tersedia di Festival Jepang.
Taiyaki, Takoyaki, Okonomiyaki, Gyoza, Kakigori dan Unagi. Nyaris tanpa jeda aku melahap semua bahkan kini untuk pertama kali tanpa beban kukeluarkan rupiah karena uang dari Nakanishi yang lebih dari cukup untuk membeli apa pun yang kumau di Festival Jepang ini. Akan tetapi harus kusadari diri untuk memiliki kendali. Aku berhenti ketika merasa kenyang. Kulihat jam di ponsel, sudah menunjukan waktu salat Zuhur. Masjid tidak jauh dari lokasi, aku melenggang untuk menunaikan panggilan Tuhan semesta alam.
Saat melepas alas kaki untuk berwudhu, ternyata masih ada pula yang menjajakan makanan namun khas Indonesia seperti mie pecel, aneka gorengan dan lain sebagainya. Kutahan sejenak nafsuku yang tidak kuketahui apakah sudah memasuki kategori tidak beradabkah, aku memasuki ruang wudhu, sebelum kemudian memasuki ruang ibadah. Selesai solat, aku bersandar di dinding masjid. Setelah dirasa cukup untuk beristirahat, aku keluar masjid dan mengenakan alas kaki.
Agaknya aku merasa heran dengan diriku sendiri, saat di Festival Jepang, semua seakan ingin kutelan saja. Tidak hanya makanan Jepang, tapi juga khas Indonesia kulahap. Setelah aku menimbang-nimbang saat mengamati penjaja mie pecel, aku merasa tidak tahan menghampiri.
Begitu menggiurkan seolah-olah aku berada di situasi nuansa Ramadan yang bergelimpangan makanan yang menggugah. Dan dari dulu, aku selalu suka mie pecel, mie dengan bumbu buatan tangan bukan dari kemasan. Aku pun menunjuk salah satu kemasan wadah mika berisi mie pecel yang sudah disediakan sambal dan garpu plastik di dalam wadahnya. Namun sayang, saat akan mencari rupiah yang akan diberikan, aku tergeser-geser oleh jamaah-jamaah lain yang hendak masuk dan keluar masjid.
"Hey! Bayar dulu!"
Aku terkejut, seolah-olah aku pencuri. Tapi memang, mie pecelnya sudah di tanganku.
Tubuhku lantas segera ingin menuntaskan urusan dengan si penjual. Namun aku semakin tergeser. Aku pasrah namun berusaha posisiku lekas berhenti. Persis ketika ada sedikit renggang di antara para jamaah, penjual itu lekas menghampiri dan merampas mie pecel dari tanganku. Ia terlihat ketus, benar-benar memandangku seperti pencuri.
Aku tertunduk. Tidak bisa membayangkan adanya orang-orang yang melihatku mungkin wajahku tengah muram. Nyaris menangis karena malu, aku berbalik akan keluar dari wilayah masjid.
Momen memalukan ini membuatku teringat masa SMA, saat di kantin sedang sepi pengunjung. Aku hendak membeli minuman kemasan, tidak kusangka harganya sudah naik dari hari sebelumnya aku membeli. Uangku tidak cukup selain untuk bayar ongkos pulang. Sudah kubilang kelak akan kubayar, tapi ibu-ibu penjual minuman kemasan itu memanggilku dengan tatapan seolah-olah aku sama dengan beberapa siswa lain yang banyak berhutang bahkan mencuri dengan ambil lima bayar tiga. Kukembalikan lagi minuman kemasan yang sudah dalam gelas plastik di tanganku, dadaku sudah disesaki malu dan jengkel menjadi sorot perhatian para pedagang kantin lainnya. Benar-benar seakan-akan momen yang sudah lampau itu kembali terulang saat ini.
Dengan pandangan menunduk, kulangkahkan kaki keluar dan bertekad tidak mau solat di tempat yang sama lagi bila harus bertemu ibu-ibu yang menuduhku secara tersirat sebagai pencuri. Tidak sengaja kuangkat pandangan, terlihat Selfi dengan sang pacar beserta teman-teman baru tiba—yang sudah jelas mereka semua akan memenuhi panggilan azan. Segera kusembunyikan diri di balik lalu lalang orang-orang keluar masuk masjid. Selain aku tidak mau terlihat muram oleh mereka, juga malu karena aku pergi seorang diri tidak seperti mereka yang beramai-ramai.
Kembali aku berada di Festival Jepang, berusaha memudarkan suasana hati yang keruh dengan mengedarkan pandangan. Sedikit senyumku tersungging ketika menemukan beberapa cosplayer dari tokoh fiksi Jepang, kuputuskan untuk menelusuri tiap sudut Festival Jepang untuk menemukan cosplayer tokoh kesukaanku. Akan tetapi baru kutemukan cosplayer tokoh kesukaanku, kuurungkan langkah untuk menghampiri karena baru sadar aku pergi seorang diri yang artinya tiada yang bisa memfotoku dengan sang cosplayer.
Kubiarkan cosplayer tokoh kesukaanku berlalu menjadi rebutan penggemarnya. Sementara aku, kembali muram. Menekuri diri yang sangat jauh berbeda dengan Selfi yang banyak disukai. Tidak lupa olehku pernah naik angkot yang sedang penuh, seorang perempuan dengan pakaian seragam pegawai pemerintah daerah yang duduk di sampingku membuka tas seraya melirik-lirik ke arahku dengan tatapan yang mewanti-wanti aku akan mencuri isi tasnya. Benar-benar aku dibuatnya merasa keruh, apakah sekiriminal itukah wajahku?
Dan bicara wajah, memang saat kecil aku dan Selfi menjadi murid di sebuah TPA dekat rumah, aku dimusuhi karena dianggap jutek, sementara Selfi dicintai karena paras imutnya. Tidakkah aneh dimusuhi hanya karena jutek, padahal aku tidak melakukan apa-apa dan bahkan tidak menyadari bila aku kelihatan jutek?
"Caca-san!" Sebentuk suara membuatku tersentak.
Kukira pikiranku sudah melantur karena bisa-bisanya aku mendengar suara yang sangat kukenali itu. Ya, kukira aku sedang berhalusinasi? Atau aku tidak sadar menantikan sosoknya kala kubutuhkan ruang kesah?
"Caca-san!"
Tidak, rasanya tidak mungkin aku salah mendengar. Aku membatu sejenak, demi memastikan suara itu memanggilku kembali.
Sosoknya yang menjulang membuatku mengangkat pandangan.