Bergelimang harta dari sejak kecil bahkan sebelum memasuki dunia hiburan, sudah dirasakan Heiji dengan ayah yang merupakan pejabat pemerintah dan ibu sang anak tunggal memegang kuasa sebuah perusahaan milik keluarga. Kendati tiada pernah kekurangan dalam hal materi, tiada malu baginya tatkala ikuti antrean jajanan makanan di kedai pinggir jalan—hal ini pernah tersorot kamera paparazi. Belum lagi, ayah ibu sangat menekankan kuat ajaran budaya Jepang kepada anak-anak dari sejak dini hingga dirasakan Heiji bila berada di rumah seolah-olah berada di sekolah yang penuh dengan aturan. Terlebih takdirnya sebagai putra sulung yang harus menjadi contoh bagi saudara satu-satunya. Hanya saat bersama grup Kintsugi ia bisa berjenaka ria.
Begitulah dirinya tatkala dipersilakan Pahlevi menginap di rumah orang tua kenalan Indonesia-nya itu. Mungkin terbawa segan pada orang tua sendiri termasuk orang tua Pahlevi, Heiji memanfaatkan kesempatan untuk melatih bahasa Indonesia-nya dengan mencoba berbaur dengan para asisten rumah tangga di rumah orang tua Pahlevi—selain melatih bahasa Indonesia dengan Pahlevi sendiri.
Benar yang dikatakan Pahlevi, bahwa ibu Pahlevi merupakan seorang aktris Indonesia. Kadang ada saja pihak kru televisi yang datang untuk program acara televisi. Heiji yang sudah memutuskan menghindar dari dunia hiburan, berbicara pada Pahlevi untuk membiarkannya tinggal seorang diri. Salah seorang kru televisi ada yang terlihat terpukau pada sosoknya, dan nyaris meliput sosok Heiji. Mengingat pernah dikejar oleh beberapa wanita yang diduga penggemarnya atau diduga penggemar Kintsugi, Heiji pun memutuskan tidak berlama-lama menumpang tinggal.
Berada tidak jauh dari perumahan tempat Pahlevi tinggal, sebuah indekos menjadi hunian baru Heiji. Di hari pertama pindah, Takenaga menghubunginya. Berbasa-basi, sampai kemudian menginfokan lowongan pekerjaan dari seorang kenalan sesama orang Jepang yang membuka usaha kedai makanan Jepang halal di Indonesia.
Heiji yang memang sedang mencari pekerjaan bahkan telah direncanakannya sebelum pindah ke indekos, tidak menimbang-nimbang untuk menerima, Takenaga pun meneruskan tanggapan Heiji pada kenalannya yang bernama Kusaka Takeru sang pemilik kedai sekaligus juru masak utama. Di hari yang sudah ditentukan, Heiji yang tidak tahu jalan pun diantar Pahlevi sampai pada wawancara kerja hingga diterima bekerja.
Bukan pekerjaan yang sulit bagi Heiji sebagai asisten juru masak, karena ia dan Suzui kerap memasak untuk para anggota grup ketika ada agenda dari pihak televisi yang mengharuskan para anggota grup tinggal bersama. Seringkali pada pekerjaan baru kali ini, Heiji mendapat arahan tentang resep baru yang akan dimasaknya. Sangat disyukurinya tiada yang mengenalinya dari sesama karyawan terhadap dirinya yang pernah menjadi tokoh publik.
Sedikit masalah darinya adalah pekerjaan yang nyaris tanpa hari libur bila memang tiada kebutuhan mendesak, atau hanya memberikan satu hari bebas dalam sepekan untuk libur, membuatnya tidak bisa menyanggupi ajakan Pahlevi untuk mengikuti kajian masjid. Namun meski begitu, Pahlevi bersedia merekam dan menerjemahkan sekaligus mengajarkan bahasa Indonesia pada Heiji.
Seorang diri di indekos kadang Heiji teringat ayah ibu dan adiknya. Terutama sekali ayah ibu, yang terlihat tidak terima dengan pengakuan identitas putra sulung mereka—meski mengatakan bahwa tanggung jawab sudah dipikul Heiji. Selintas teringat esensi manusia yang hidupnya akan dipertanggungjawabkan setelah kematian nanti. Namun ayah ibu memang sungguh sepasang orang tua yang sulit ditebak karena memang demikian sebegitu kakunya. Sudah diyakini pasti, ayah ibunya masih memendam bara kecewa—meski kemudian memberikan dukungan sebelum berangkat ke Indonesia.
Hari demi hari kian bergulir, Heiji yang terbiasa dengan hidup lebih dari kecukupan tengah menikmati hidup sebagai orang yang biasa-biasa saja. Bukan lagi sebagai seorang tokoh publik. Jauh dari sorotan kamera. Satu hari bebas yang diberikan Kusaka Takeru, diluangkannya untuk menonton tayangan ceramah dari Pahlevi—yang sudah diberi arahan tentang kosakata yang akan diketahui Heiji.
Beberapa kali tertegun dengan perjalanan hidup sampai jauh dari tanah air, Heiji mensyukuri Kusaka Takeru sang atasan dengan keyakinan berbeda, tiada keberatan mengizinkannya dan karyawan-karyawan muslim lain untuk memenuhi panggilan solat. Kadangkala merindukan ayah yang pernah keras mengajarkan berkuda dan memanah, ibu yang kaku mengajarkan upacara minum teh, Wataru yang sering gengsi untuk dipeluk, bahkan Mowgli yang kerap manja. Bagai merunut semua sampai pada yang terakhir, berupa dirinya yang sempat menyebut diri bak anjing malang. Sebuah tangkapan layar mengenai pembaruan Caca—terkait Festival Jepang—yang disimpannya saat di bandara, berkelebat di tepian benak. Dikunjunginya galeri ponsel, diteruskannya melalui aplikasi perpesanan pada Pahlevi untuk meminta arahan menuju ke sana.
Bukan lagi sebagai anjing malang, Heiji ingin menemui gadis itu sebagai dirinya yang sudah menjadi orang yang biasa-biasa saja.
>>>
Heiji tidak bermaksud untuk minta ditemani. Ia sudah sangat segan dari sejak tiba di Indonesia diberi tempat untuk menumpang tinggal sampai akhirnya menemukan indekos. Akan tetapi, Pahlevi yang rupanya urusannya sudah rampung dan lusanya akan kembali ke Jepang justru mengikutsertakan diri untuk mengunjungi Festival Jepang yang ingin dikunjungi Heiji. Dalihnya, supaya Heiji yang masih terbata-bata berbahasa Indonesia tidak alami kesulitan berkomunikasi selama di sana.
Heiji tidak bisa mengelak meski ia punya alasan berupa adanya sosok yang ingin ditemuinya—yang pasti akan membantunya dalam berkomunikasi. Ia hanya malas membayangkan akan adanya raut wajah menggoda bila berterus terang perihal Caca—begitulah para anggota Kintsugi sewaktu dirinya masih menjadi anggota, kerap menggoda sesama bila ada gosip tentang lawan jenis.