Secara sadar maupun tidak, aku masih memikirkan dalih-dalih tentang keputusanku ingin melepaskan diri dari kesukaan terhadap grup Kintsugi. Sepertinya semata-mata bukan karena adanya tausiyah perihal definisi idola, melainkan sebelum kuketahui tausyiah itu sudah kurasakan sendu tentang usia yang kian bertambah seperti halnya para anggota grup Kintsugi yang beberapa anggotanya seusia denganku. Ada hal yang disayangkan terhadap para anggota grup yang sejak kecil sudah dibuai oleh kenikmatan yang mungkin saja semu di dunia hiburan. Tidakkah mereka sama dengan manusia biasa lainnya yang juga butuh dihibur? Tidak melulu mereka yang menghibur, bukan? Ada kalanya mereka pasti alami keterpurukan dan kejenuhan.
Usia kian bertambah, namun secara tidak sadar justru yang terjadi adalah sebaliknya. Masa merangkak menuju penghujung durasinya. Makhluk sempurna yang diberi akal akan dimintai pertanggungjawaban atas apa-apa saja yang telah diperbuat di dunia. Kematian, tidakkah ada dari mereka memikirkan kematian? Bagaimana pendapat mereka terhadap hal itu? Apa mereka menganut 'hidup hanya sekali'?
Jauh dari jangkauan sangkaanku ternyata Nakanishi justru mulai menilik kebenaran adanya kehidupan setelah kematian usai pesan berisi ancaman kematian diterimanya. Sebuah pesan dari penggemar garis keras komik yang diperankan Nakanishi. Bukannya melapor pada pihak berwajib, bahkan tidak pula diserang ketakutan, alam benaknya justru ingin menjangkau bagaimanalah alam setelah kematian. Itu artinya aku sudah salah terhadap ia yang nyaris bunuh diri kukira adanya tekanan dan merasakan putus asa. Tidak, situasinya tidak begitu.
Setelah menyewa jasa sewa teman sesuai saranku, rupanya teman sewaannya adalah seorang pria bernama Shimada Junnosuke, memiliki teman seorang muslim. Shimada mengenalkannya pada Nakanishi setelah baru pertama bertemu sudah membicarakan perihal agama. Pahlevi sang teman muslim tersebut, yang kemudian Pahlevi memperkenalkan lagi Takenaga senior kampusnya untuk memenuhi kedahagaan Nakanishi terhadap agama dan nilai kerohanian. Pertemuan pun sering dilakukan dengan diam-diam dari rekan-rekan satu grup Kintsugi.
Serangan dari penggemar berat komik yang diperankan rupanya benar-benar menampakkan diri untuk menikam Nakanishi. Koma berbulan-bulan, ia alami mimpi yang melelahkan bak ditagih hutang. Sebuah suara yang wujudnya berupa cahaya terbang berwarna putih menyilaukan mengejar-ngejar sambil menanyakan siapa Tuhannya. Serupa sekali dengan apa yang pernah diajarkan sejak kecil pada tiap anak-anak muslim bahwa kelak di alam kubur nanti akan ditanyai siapakah Tuhan kita.
Tidak hanya pertanyaan itu, hal lain seperti kesan memerintah supaya Nakanishi jangan mati kecuali dalam keadaan berpasrah pada Sang Pencipta Semesta. Dari Takenaga yang mengutip dari Qur'an, bahwa perintah dalam mimpi itu seperti sebuah sinonim dari dalil Qur'an yang berbunyi 'Janganlah mati kecuali dalam keadaan beragama islam', tapi aku baru tahu dari Nakanishi yang didapatinya dari Takenaga bahwa muslim artinya 'berpasrah'. Aku sungguh takjub, pastilah Takenaga sosok yang sungguh-sungguh dalam menjalani hidup sebagai muslim setelah memutuskan mualaf—terkadang sebagian mualaf bisa lebih mengetahui daripada muslim dari lahir karena muslim dari lahir beragama karena keturunan, bukan karena pilihan atau kedahagaan diri pada Sang Pencipta. Tidak semua dipukul rata, namun sebagian ada yang begitu.
Aku digugah oleh rasa terkesan mengetahui perjalanan jiwa dan rohani Nakanishi. Terlebih dia menjelaskannya dengan bahasa Indonesia yang sebisanya, dengan sesekali Pahlevi membantu atau memperbaiki kosakata-kosakatanya. Bukan pada hari ketika bertemu di Festival Jepang itu saja semua digamblangkannya, berlanjut sampai pekan depan, pekan depan dan pekan depannya lagi, sembari menunggu Damar tiba untuk kuajari. Pahlevi sudah berangkat kembali ke Jepang, dan Nakanishi ingin melatih bahasa Indonesianya denganku sebelum kemudian membantuku mengajar Damar.
Kadangkala saat menanti Damar, Nakanishi bertanya tentang beberapa hal perihal agama padaku seperti satu hari itu kembali dibahasnya tentang video tentang poligami yang pernah kubagikan di media sosial, ada satu hal yang lupa ditanyakan pada Takenaga yaitu tentang lelaki boleh beristri lebih dari satu dengan maksimal empat istri, tapi perempuan malah dilarang bersuami banyak. Sedikit aku gelagapan bagaimana menjawab meski aku pernah diberi tahu oleh ibu yang merupakan putri seorang pendakwah. Dengan hati-hati kujawab bahwa dalam rumah tangga sesungguhnya pemimpin itu adalah laki-laki. Dan pemimpin dimanapun berada dan dalam kelompok atau organisasi apa pun pastilah pemimpin terdiri dari satu orang saja. Belum lagi, perempuan dilarang melakukan poliandri supaya jelas garis keturunan anaknya. Sebab ada kasus seorang perempuan di sebuah negara luar memiliki banyak suami, ia bingung siapa ayah dari anaknya karena bersuamikan banyak.
Nakanishi terpana ketika aku menjabarkan apa yang telah ditanyakannya. Terlihat takjub, namun kemudian berusaha mengendalikan diri untuk bersikap wajar. Aku mengira mungkin ia tidak menyangka aku bisa menjawab, padahal aku perempuan—yang pada umumnya perempuan sangat sensitif bicara poligami meski yang dibahas adalah tentang poliandri.
Sebagaimana awal-awal aku bertemu Nakanishi dimulai dari atap ruko tempatnya nyaris bunuh diri, aku kembali menyembunyikan fakta dari orang rumah bahwa aku bertemu tiap pekan dengan Nakanishi. Hingga adikku menyarankanku mengunggah aplikasi pencari kerja, dan aku mulai mencari pekerjaan melalui aplikasi itu setelah Damar sudah tiba masanya untuk merantau ke negeri yang diimpikannya. Dan Nakanishi mengajukan diri ingin tetap diajari olehku—tanpa seperti sebelumnya menunggu Damar.
Selama berhari-hari aku di rumah mencari lowongan kerja di aplikasi pencari kerja—sampai kuabaikan aplikasi biro jodoh—seringkali melintas sosok Nakanishi di benakku yang kembali menceritakan tentang dirinya yang akhirnya memutuskan berhenti dari dunia hiburan setelah mengetahui pandangan Islam terhadap hubungan lawan jenis sebelum menikah. Sesekali aku tersenyum karena video tentang poligami yang kubagikan di media sosial telah membuatnya terketuk ingin menelusuri arti dari tiap tutur kata si penceramah. Ia sudah seperti sinetron musiman Ramadan tentang para pencari Tuhan, namun ia seorang diri maka bukan 'para' sebutannya melainkan 'sang'—Sang Pencari Tuhan.
Tidak seperti keluarga dari seseorang yang pindah agama, melakukan penentangan bahkan pengusiran, ayah ibu Nakanishi tetap sebagaimana mereka yang dingin dan kaku. Cukup berdebar-debar menebak adanya kekecewaan dari mereka atas si sulung yang memutuskan memeluk agama yang bukan dari ajaran leluhur, namun rupanya saat berangkat ke Indonesia lagi justru dikirimi rekaman berisi video orang tua dan Wataru sang adik yang mendukung keselamatan Heiji.
Memang sudah merupakan impian Nakanishi dari sejak menjadi tokoh publik ingin dianggap seperti orang biasa-biasa saja, akhirnya pekerjaan sebagai orang biasa-biasa saja pun digelutinya. Dengan penuh antusias aku mendengarkannya tiap pekan kami bertemu demi dirinya melatih bahasa Indonesia denganku. Sungguh tidak perlu susah payah aku sampai ada rasa tidak enak ingin menanyakan kenapa dia berhenti dari dunia hiburan—tatkala kuketahui pertama kali di Festival Jepang.
Sayang, aku belum bernasib baik untuk memiliki pekerjaan. Sempat terpikir ingin membicarakan hal ini pada Pak Mujib dosen bahasa Inggris lulusan Tokyo sekiranya ia memiliki jaringan untukku bekerja di Jepang, namun sungkanku menemuinya lebih mencenderungi. Adapun wawancara kerja, memang sering kudatangi namun tiada panggilan kedua untukku langsung bekerja. Sementara adikku sedang menabung untuknya dan pacarnya akan menikah. Aku sama sekali tidak merasa diburu olehnya. Meski ibu bilang tidak mengapa tidak berkerja dan langsung menikah, namun aku bersikukuh ingin bisa memberi uang dari hasil aku bekerja mengaplikasikan apa yang kuketahui dari ranah kampus.
Panggilan wawancara kerja lagi kembali masuk ke dalam surelku. Aku mendatanginya, namun kembali adanya penolakan tersirat karena mereka menginginkan karyawan yang menguasai salah satu aplikasi di komputer. Tanpa berpikir matang-matang, aku menghubungi Nakanishi untuk meminjam sekiranya ia punya laptop. Kemudian aku tersadar, tidakkah aku terkesan lancang? Berhubung dia orang Jepang yang pasti sangat menjaga diri terutama privasi dari orang asing.