Mengejutkannya.
Tatkala panggilan masuk itu diterima.
Dirasakannya keganjilan, mengingat gadis dengan tinggi badan sebahunya itu dari sejak pertama bertemu selalu menjaga jarak. Tidak pernah lebih dulu menghubungi, selalu yang menjadi dihubungi. Dan kadang tiap selesai dihubunginya gadis itu akan ada sepotong hati bertanya apakah ia telah berbuat salah.
Sempat menimbang-nimbang. Dilanda keragu-raguan. Sebulan penuh berusaha dipenuhinya Ramadan pertama kali seumur hidup, dengan mempelajari ilmu agama pada tiap pekan hari liburnya tiba. Menikmati suka cita dari para penjaja takjil di pinggir jalan yang sudah seperti Festival. Seringkali tiap satu hari libur dalam satu pekan itu, mendapat ilmu dari Takenaga melalui panggilan video, atau menonton tayangan tausyiah dari ulama Jepang berdasarkan rekomendasi Takenaga juga. Hafalan solatnya kian mengalami kemajuan, begitu Takenaga menanggapi tatkala dimintai untuk mengetesnya. Dan beberapa ilmu agama lain termasuk tentang hubungan dengan lawan jenis. Selalu teringat Caca, perihal gadis itu yang berusaha jaga jarak dengan lawan jenis.
Namun apa yang terjadi pada hari itu?
Tidak seperti biasanya.
Seperti bukan seorang Veronica Chintya.
Suara gadis itu terdengar meyakinkan dan begitu sangat membutuhkan—kendati terselip nada riang yang ditangkap indera rungunya. Sering meminta janji temu untuk latihan bahasa Indonesia adalah sebuah penyebab pekat diputuskannya untuk patuh menjumpai. Tatkala bertemu di halte tempat janji temu, wajah gadis itu, atau lebih tepatnya air muka itu tidak seperti sebelumnya yang tergurat kesan sungkan. Caca terlihat riang meski dalam keadaan terkendali.
Rupanya sebuah acara pernikahan yang sedang dituju. Heiji mengekor saja kemana langkah Caca begitu mereka sampai. Masih belum bisa diterka Heiji sampai Caca menghampiri sepasang pengantin. Terlihat Caca dan pengantin perempuan bertukar kata, sebelum kemudian gadis itu menjemba ponsel dan mengatakan bahwa Heiji dan wajah sang pengantin perempuan sangat mirip.
Heiji tertegun melihat wajah tanpa polesan di layar ponsel itu, bergantian menatap sang pengantin perempuan. Memang terlihat mirip meski tidak sampai bisa disebut seperti kembar identik, tetapi dibandingkan dengan Wataru, Heiji merasa lebih mirip dengan si pengantin perempuan di depan matanya.
Quincy, nama sang pengantin perempuan, terlihat takjub tidak percaya. Sementara Caca sendiri raut wajahnya menunjukkan keantusiasan. Tetapi tidak ada yang bisa Heiji katakan dan lakukan selain senyum segan seraya agak menunduk. Sang pengantin perempuan yang sempat mematung oleh kejutan dari Caca lalu menyilakan Caca dan Heiji untuk menikmati makanan. Dan Heiji, berusaha bersikap wajar sampai mendapat giliran mengambil makanan.
"Bagaimana?" Caca bertanya dengan bahasa Indonesia.
"Ha? Apa?" Heiji belum terhubung dengan pertanyaan singkat Caca, sebelum kemudian mengerti. "Iya. Kenapa bisa ya?"
"Dia juniorku saat koukousei," Caca menyebut 'koukousei' untuk menyebut SMA, dan memang Heiji belum tahu sebutan SMA di Indonesia.
Heiji manggut-manggut dengan sesekali melihat ke pelaminan. "Mungkin nanti aku akan tanya ayah ibuku apakah aku punya adik perempuan yang mirip denganku...???"
Caca mengulas senyum, mengikuti arah pandang Heiji. Ia lalu memulai menikmati makanan, diikuti Heiji.
"By the way, aku tidak mengganggu waktu Nakanishi-san, kan?"
"Tidak, aku bekerjanya jelang magrib nanti."
"Wah, maaf ya kalau menghubungi Nakanishi-san secara mendadak."
"Tidak apa-apa, aku juga penasaran kenapa Caca-san meminta janji temu. Ternyata ada perempuan Indonesia yang ingin Caca-san pertemukan denganku karena wajah kami yang mirip. Hehe. Apa Caca-san dekat dengannya?"
"Tidak begitu. Tapi aku sering mengajarnya dan adikku. Dia dekat dengan adikku."
"Adik Caca-san? Mana?"
"Dia sudah lebih dulu." Caca menjeda sejenak, tergurat rupa kecewa. Ia melanjutkan makan, sementara Heiji yang merasa Caca menggantungkan jawaban pun menunggu. "Maaf, aku lupa kalau kita baru kenal, aku malah meminta Nakanishi-san menemuiku. Aku hanya berusaha menepis kekecewaanku pada adikku yang tidak mengingatkanku ke sini. Padahal kami sama-sama diundang."
Heiji mengangguk-angguk mafhum.
"Oh iya lupa!"
"Apa?"
"Bingkisan!"
Heiji memusatkan mata pada kado yang sejak tadi ditenteng-tenteng Caca. "Caca-san mau kasih ke sana?"
"Ya! Tapi, bagaimana kalau kita mencicip es krim dulu? Selain makanan berat, aku juga lihat es krim, bakso dan somay di sini! Nakanishi-san tidak tahu kan makanan Indonesia yang baru kusebutkan tadi? Yuk dicoba!"