Jingga Ambang

Gia Oro
Chapter #29

Tidak Mampu Mengelak

Prasangka demi prasangka sempat menggerayangi benakku, tentang Nakanishi yang mungkin kecewa karena aku tidak jujur meski tidak juga berbohong. Tentang ia yang mungkin tidak akan lagi mau bersua denganku. Dan tentang-tentang lainnya. Akan tetapi aku kemudian berpikir dalam rangka apa kita berjumpa selain kembalinya ia ke Indonesia untuk melatih bahasa Indonesia-nya dan mengincar ulama dari unggahan video yang kubagikan di media sosial? Apakah aku telah berpikir bahwa interaksi kami sudah istimewa? Agaknya kurasakan ada pengharapan berlebih padanya, dan untung saja kusadari untuk segera kukikis.

Walaupun keadaan sempat rumit setelah aku ketahuan pernah menggemari Kintsugi, tapi aku sudah berpasrah bila ia tidak akan meminta janji temu lagi hanya karena diriku yang pernah menggemari grupnya, bahkan diri Nakanishi sendiri.

Mengenai sepulang dari pernikahan Quincy, terpikir ingin kutagih penjelasan Selfi, namun aku lebih memilih menghindarinya untuk berjaga-jaga manakala ia akan membahas aku yang turut menjadi tamu pernikahan Quincy. Sebab aku hanya minta Quincy supaya tidak sesumbar mengenai Nakanishi, sementara beberapa tamu undangan pernikahan yang merupakan adik-adik kelasku lainnya tidak kumintai tutup mulut.

Ya, sejak itu aku menghindari saudari kandungku satu-satunya itu. Bila bertemu muka, aku akan pura-pura bercanda dengan pura-pura takut padanya seraya bilang "kabur" bak maling tertangkap basah. Dan tentu saja, adikku heran.

Berangsur-angsur keheranannya berubah menjadi kesal dan sinis karena lelucon palsuku sudah menjadi tidak lucu baginya. Untung saja masa kuliahnya kian menjejaki situasi menegangkan, ia akan menghadapi sidang di kampus pusat.

Bolak-balik ia disesaki revisi demi revisi tugas akhir, aku justru menemui nasib naas di antara bulan demi bulan yang menyibukkannya. Seorang karyawan senior yang membimbingku selama bekerja tidak masuk, aku yang biasa mendapat data darinya untuk kukerjakan lantas mendapat data dari istri pemilik ruko yang juga bekerja, untuk kutindaklanjuti. Ada hal yang tidak kumengerti, namun tidak berani kutanyakan karena wajah istri pemilik ruko begitu serius cenderung ketus, tidak seperti karyawan senior yang biasanya membimbingku cenderung berwajah ramah—meski kemudian aku mengerti aku tidak sedap dipandang karena dianggap ketus yang sama sekali tidak kutahu kalau aku ketus. Aku pun bekerja sebisanya dengan pasrah. Ketakutanku terwujud, istri pemilik ruko dongkol dan mengadukan pada suaminya di ruang yang berbeda dengannya dan para karyawan lain.

Aku memasuki ruangan itu. Sebuah ruangan yang sebenarnya kurasakan tidak nyaman saat pertama kali memasukinya, sebab mataku menangkap cepat adanya foto-foto perempuan seksi di dinding, padahal itu ruang kerja utama sang pemilik ruko. Sedikit heran bagiku, tidakkah istrinya cemburu atau marah? Ah, pernah kutemukan ada saja perempuan yang justru memaklumi pria penyuka wanita nyaris telanjang karena dianggap normal. Namun apakah sebegitu dianggap wajar oleh istri sang pemilik ruko?

Aku duduk berhadapan dengan sang pemilik ruko. Wajahnya sama masamnya dengan istrinya. Berbicara singkat bahwa apa yang sudah kulakukan telah merugikan toko, beberapa lembar rupiah dari terhitungnya aku mulai bekerja kuterima. Ya, pemutusan kerja tengah berlangsung. Tapi aku tetap berusaha berterima kasih, karena tenagaku selama masuk kerja tetap dihargai, pun tidak lupa aku minta maaf pada istri pemilik ruko dan berterima kasih pula padanya. Terlihat, wajahnya tetap ketus dan tentu saja dongkol. Memang sudah salahku karena tidak berani bertanya saat menemukan hal yang tidak kumengerti.

Aku keluar dari lantai dua dan turun menuju lantai bawah. Sedikit menunduk saat melewati pekerja di lantai satu yang merupakan bagian pengepakan barang. Aroma kebebasan justru kuhirup begitu sudah keluar dari ruko. Ada yang semerbak di dadaku, tidak lagi aku bekerja dengan penuh ketegangan. Meski begitu, tetap kusayangkan karyawan senior yang biasanya membimbingku tidak masuk sampai sebegitunya diriku menjadi diberhentikan.

Tidak serta merta aku memacu semangat untuk mencari pekerjaan lain, aku merasa butuh menenangkan diri karena dihantui rasa bersalah—atau kemungkinan akan berbuat hal yang mengecewakan bila berkerja lagi. Tidak kuduga, sebuah surel kuterima dari karyawan senior yang membimbingku, rupanya ia juga keluar karena tidak nyaman dengan situasi pekerjaan. Beruntung baginya, hanya dalam waktu harian setelah mengundurkan diri, ia mendapat pekerjaan baru, berbeda denganku yang masih harus menata diri.

Sepertinya aku memang belum beruntung dalam berinteraksi dengan sesama. Memang sejak masa sekolah begitu. Tapi bukan berarti aku memaklumi, aku hanya ingin menyadari kekeliruan ini. Terlalu fokus belajar selama masa sekolah, sampai mengesampingkan bersosialisasi—akibat takutnya menerima ejekan terhadap rupaku. Biasanya permasalahanku adalah dipintai contekan, namun itu tetap rela kubagikan, sementara saat bekerja mau tidak mau tidak bisa hanya aku yang dimintai bantuan tapi aku juga harus meminta bantuan. Ya, itulah kelemahanku, tidak berani minta bantuan karena takut mengganggu.

Tapi aku tidak menyangka bisa seberani itu menghubungi Nakanishi untuk menemaniku ke pernikahan Quincy. Aku menghubungi bukan untuk minta bantuan, tapi karena ada yang ingin kutunjukkan padanya. Ah, lagi-lagi terpikir pemuda itu, yang lagi-lagi menyebutku mirip orang dari bangsanya, tidak seperti sebagian besar orang sekitar yang bila melihat wajahku akan tidak peduli atau parahnya mengejek, sementara Nakanishi menyebutku mirip orang Jepang, 'orang Jepang yang seperti bagaimana?', apa aku tidak terlihat ketus atau jutek? Sebegitu bersyukurnya ia atas telah kugagalkan dari upaya bunuh diri? Segera kutepis bayangan wajahnya dalam benakku yang terlihat ia seperti memujiku, ketika kutemukan sebuah ide tatkala melihat warung nasi ayah ibu.

Melayani pembeli mungkin akan menjadi latihanku bicara dan bersosialisasi. Ternyata benar, kurasakan ada yang takut-takut dari diriku saat awal-awal melayani pembeli terutama bagi yang makan di tempat. Seperti makan pakai sendok atau dengan tangan kah, dan mau minum dengan apa. Bisa dikatakan aku jarang sekali membantu ayah ibu di warung karena pernah kucoba menawarkan diri tapi ayah ibu menolak dengan bilang supaya aku fokuskan diri pada sekolah dan kuliah. Namun setelah mereka mengetahui diriku sudah diberhentikan bekerja, dengan berlapang dada mereka membiarkanku menjadikan kegiatan melayani pembeli sebagai latihan berinteraksi dan berbicara dengan sesama.

Lihat selengkapnya