"Apa ulama yang dicari sudah ditemui?" Aku memutuskan untuk meretakkan hening di antara kami.
"Ah? Eh...," Ia gelagapan. "Belum. Masih online."
"Pekerjaan Nakanishi-san masih libur satu hari di antara satu pekan ya?"
"I-iya... Caca-san wa?" Ia bertanya tentang bagaimana pekerjaanku.
Aku menorehkan senyum miris dan tidak memandangnya. "Aku dipecat."
"Eeeh???" Ia terkejut, dan menyadari dirinya berlebihan dan dengan segera dikendalikannya diri.
"Nakanishi-san jangan berbuat mencari perhatian. Aku berusaha bersikap tenang sejak tadi supaya Nakanishi-san tidak menjadi sorotan, ya meski dunia sedang booming Korea, bukan Jepang. Tapi orang Jepang dan Korea atau bangsa Asia Timur lainnya kan kadang terlihat mirip bagi kebanyakan orang. Semoga saja para sepupuku tidak melihat kita." Aku lalu menoleh sekilas padanya, dan bukan ingin gede rasa, tapi air mukanya menunjukkan perasaan haru karena aku tengah menjaganya.
"Aku berterima kasih pada Caca-san. Dan juga ayah Caca-san yang telah mengundangku ke sini."
"Ayah pasti masih merasa Nakanishi-san begitu sangat berjasa padaku karena insiden asusila itu." Aku kembali menatapnya, namun sorot mata itu terlihat kelabu, tidak bisa kutafsirkan apa maksudnya. Kualihkan lagi pandangan secara sembarang untuk memastikan tidak ada yang mengamati kami, namun tampaknya Nakanishi lama sekali meredupkan binar wajahnya. "Nakanishi-san, are you ok?"
"Iyak nanka... Apa Caca-san tahu tentang kabar buruk yang pernah kuperbuat?" Ia mulai mengangkat pandangannya menatapku.
"Kabar buruk apa?" Aku tidak mengerti.
"Aku... Aku juga pernah jadi pelaku pelecehan... dan itu saat aku mabuk..."
Sekali lagi menatapnya. Waktu seakan hanya bergerak untuk percakapan kami berdua walaupun sekitaran disesaki oleh bising para tamu yang bercengkrama atau melepas rindu. Keramaian para tamu pernikahan Selfi seakan-akan bak desau angin semata. Tentu saja, aku tahu kabar buruk itu. Mengejutkanku. Tapi untuk apa ia ungkit hal kelam itu padaku? Aku hanya mampu membatin.
"Ya meski aku sudah bertaubat. Aku tidak lagi mabuk. Dan aku juga bersyukur bisa mengenal Caca-san...," Nakanishi membulatkan matanya seakan tidak sengaja mengungkapkan sebuah kejujuran, ia lalu mengalihkan pandangan.
Dan aku, menunggu. Aku tidak berani mengambil segala praduga. Dia terlihat masih berusaha meluruskan apa maksudnya. Untungnya tiada tamu yang menghampiriku untuk bertegur sapa dan berbasa-basi.
"Iya, aku bersyukur karena Caca-san telah gagalkan upayaku untuk bunuh diri...," terangnya. "Dari Caca-san juga aku mulai tertarik agama Islam. Dan tanpa kusadari..."
Lagi, kalimatnya menggantung.
"Aku tidak berani meneruskan..."
"Kenapa?"
"Karena aku pernah jadi penjahat terhadap wanita. Aku malu..."