Jingga Langit Kelabu

R Ginting Maharani
Chapter #1

Cinta Pertama

Suara hentakan kaki ku kian cepat diiringi gairah hatiku yang sulit kuartikan. Dengan seragam lengkap, aku membuka kotak perhiasan yang berisikan cincin lamaran dengan senyuman sempurna. Aku benar benar gugup sekarang. Setelah penantian dua belas tahun, aku siap mengajak nya pengajuan. Tidak mudah meyakinkan dirinya untuk menerima cintaku, namun penantian ku bukan hal sia sia.

Suasana cafe yang ku booking semakin romantis. Alunan musik klasik membuat jantungku semakin tak karuan. Akhirnya ia melambai dengan senyuman sempurna.

Tidak banyak yang berubah darinya, meski sudah hampir dua tahun aku tak melihatnya. Aku menghampirinya dan memeluknya erat.

"Happy birthday sayang." Aku berbisik di telinganya.

"Too"

Aku mengangkat wajahnya menatapku dan menunduk ingin mengecup bibirnya. Namun, untuk kesekian kalinya aku tak berani melakukannya. Ia masih terlalu berharga tuk kumiliki. Satu satunya hal yang biasa kulakukan berulang lagi. Aku mengecup keningnya dalam, dan meresapi nya dalam hatiku.

"I love you." Bisikku.

"Damn it."

Aku menggenggam erat tangannya menuju meja yang disediakan. Aku tau ia terpaku dengan suasana. Namun seperti biasa, keanggunannya tak tergeser. Ia bisa menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.

"Yang lainnya kemana?"

"Ya ngga datang."

"Loh, kok ...."

"Hanya ada kita berdua."

Aku menatap wajahnya lekat."Kamu cantik malam ini."

"Mau langsung tiup lilin?"

"Kamu rindu ngga?"

"Gue ngga bisa pulang malem, ada acara."

Aku semakin melebarkan senyuman, walau ada sedikit beban dalam hatiku. Ia seakan tidak perduli seberapa aku merindukannya. Tapi aku tau pasti ia juga merasakan hal yang sama.

Aku menggenggam tangannya dan mengarahkannya membuat permohonan sebelum meniup lilit bersamaan. Aku membuka mata begitu permohonan ku selesai. Namun mataku beriak takkala melihatnya menitikkan air mata.

"Satu ... Dua ... Tiga."

Bersamaan kami merayakan ulang tahun untuk ke 28 dan 25 tahun. Aku melirik kotak lamaran di taganku di bawah meja, dengan hati kian gugup.

" Kamu ngga makan kuenya?" Aku menatapnya dalam.

Dia mengeluarkan ponselnya."No."

"Sibuk banget ya?"

Meski aku berusaha, aku tak ingin dia membuat acara dalam acaraku. Aku ingin fikirannya hanya terfokus pada ku seorang.

Melihat dia tak merespon, aku berinisiatif memeluk bahunya dan memintanya bersandar di dadaku. Ia tidak menolak sama sekali. Itu artinya ia hanya pura pura cuek saja.

"Beb,"

"Em??"

"Aku mau ngomong sesuatu."

"Kan tinggal ngomong."

Mataku melirik kalung pemberianku yang dipakainya."Kamu mau ngga bantu aku?"

"Apa?"

"Temanin aku pengajuan."

"Ngapain harus ditemani?"

Nyaliku menciut saat mendapati ia tak menangkap sinyal ku. Aku melepaskan rangkulanku, hingga ia menatapku bingung.

"Kamu harus disana."

"Why?"itu respon paling aku benci.

"Aku mau nikah Ama kamu."

Entah ada angin apa, aku melihat wajahnya berubah. Bahkan air matanya jatuh. Entah karena ia bahagia atau terluka, ia memelukku erat.

***

Fajar yang mulai tersenyum mematahkan doa yang tak pernah lupa kupanjatkan. Aku tidak ingin pagi menghampiri karena tidak ingin kembali mengenakan seragam SMA ku. Jika saja papa tak pernah memintaku melanjutkan studi kembali, aku tak akan berada di masa ini.

"Tama ... Bekalnya diatas meja. Jangan lupa nanti kursus musik yah." Suara mama semakin membuat moodku buruk.

"Ia ma,"

"Dan jangan lupa, entar dateng ke peternakan."

Tak begitu lama aku mendengar suara pintu ditutup. Ada setitik niat dalam hatiku, mengingkari janjiku pada kedua orang tuaku. Namun, seperti biasa aku tak ingin membuat orang tuaku kembali kecewa. Cukup sekali itu saja mereka menitikkan air mata karena perbuatanku.

Aku meraih ponselku sambil menghela nafas. Seperti dugaanku, tak ada satupun notif yang menarik perhatian. Mau tak mau akhirnya ia meraih kunci motor dan melaju menuju neraka samaran itu.

Motor yang tak sepantasnya dikendarai anak SMA itu parkir nyaman di gerbang besar SMA ber- gensi tersebut. Aku melirik jam tangan dan memastikan beruang kutub yang kunanti belum tiba. Malangnya, mataku malah menangkap sosok yang ingin kuhindari. Sial, panda betina itu melambai ke arahku.

"Tama,"

Tak terlihat setitik malu, ia merangkul lenganku manja. Yah, tidak salah juga sih, dia pacarku sejak dua bulan lalu. Juga gadis ke 135 dalam 7 tahun masa remajaku.

" Ben, you ok?"

Lihat selengkapnya