Aku tidak tau permainan apalagi yang ditawarkan takdir, setelah semua terlalu sulit untuk kulalui. Hanya butuh waktu dua minggu, Tama mampu membuatku enggan menginjakkan kaki di sekolah. Jika saja tak begitu sulit bagiku menginjakkan kaki di sekolah ini, aku akan meminta orang tuaku untuk memindahkanku.
"Perlu ya aku pindah ke kelas kamu?" Azka menyodorkan semangkuk rujak di hadapanku.
"Buat?"
Ia menyodorkan garpu ke tenganku." Tama kurang ajar ya ama kamu?"
"Just drop it."
"Ngga bisa gitu dong."
"Az," aku menyodorkan potongan jambu biji padanya.
Ia menerima suapanku. "Aku ngga bisa diam gitu aja Fra." Katanya panas.
"Jangan ikut dalam hidup gue Az, gue ngga suka."
"Tapi ...."
"Gue tau lo satu satunya teman gue tapi ... gue punya cerita sendiri."
"Kamu nyadar ngga si Fra?" Azka menatapku dalam.
"Nyadar apaan?"
Azka meremas tangannya."Kamu anggap aku sebatas teman? Ngga lebih?"
"Ehh?"
Azka memegang bahuku menghadap padanya." Denger, aku hanya bilang sekali."
"Kok lo mendadak aneh?"
"Gue suka ama lo Rfa."
"What?"
Jujur aku tak menduga Azka mempunyai perasaan lain padaku. Selama ini, aku benar benar menganggapnya temanku. Benar benar hanya teman biasa, tak lebih dan tak kurang. Tanpa sadar, aku menitikkan air mata. Hatiku sakit bukan main.
"Kamu kok nangis Fra?" Azka berinisiatif menghapus air mataku.
Aku menepis tangannya kasar."lo tau kan keluarga kita ngga baik? Orang tua kita ngelarang kita temenan Az. Lo mau pacaran ama gue? Kenapa ngga sekalian nikahin gue aja Az?" Kataku terisak.
"Kok kamu ngegas sih Fra? Salah ya aku sayang kamu? Salah Fra??"
"Gue paham sekarang." Kataku bangkit.
Azka menahan tanganku."Kamu mau kemana Fra? Aku tau ini mendadak, tapi ini juga sulit buat aku. Enam tahun Fra, enam tahun aku ngejagain kamu ... Ngikutin semua mau kamu. Demi apa coba? Aku ingin selalu dakat kamu. Salah Fra?"
Azka menelan ludah."Kamu malah ngelibatin soal keluarga Fra, kenapa ngga bilang aja kamu suka ama cowo lain? atau ...."
Prakkkk
Tanganku melayang menampar wajah Azka. Aku bisa merasakan perihnya wajahnya, walau hatiku jauh lebih perih. Sontak Azka melepas cekalannya pada tanganku.
"Aku ngga bisa jadi teman kamu lagi Fra,"
"Aku ngga minta kok."
"Sorry for interrupting your time"
Azka pergi meninggalkanku sendirian dalam luka yang kian perih. Saat itu aku terlalu malas menyalahkan seseorang di antara kami, karena aku tau perasaanku juga sama sepertinya. Tapi sedalam apapun perasaanku, aku akan menjauhinya karena ia temanku.
Aku menunduk dan menutup wajahku dengan telapak tangan. Hingga hp ku berdering menampilkan nama Azka disana. Dengan hati yang remuk aku mengangkat panggilannya.
"Aku minta putus." Katanya dari sebrang sana.
"Apalagi sih Az? Gue ngga paham maksud lo."
"Mulai detik ini aku bukan temanmu lagi."
Aku menelan ludah."Ok."
"Cuma itu??"
"Aku capek Az, pengennya istirahat."
"Aku minta putus Fra, dan kamu hanya bilang ok?"
"Kita bicara lain ...."
Tut ... Tut ... Tutttttt
Panggilan terputus begitu saja. Aku tau apa yang diharapkan Azka. Tapi aku lebih mudah mengorbankan perasaanku daripada melihat jarak yang makin membentang antara keluarga kami. Aku hanya sedikit menyesali kenapa tidak memperdulikan larangan keluarga kami dari dulu, dan harus terjebak dalam rasa ini.
***
Keesokan harinya, aku berangkat sekolah penuh kehampaan. Tidak ada lagi yang menemaniku dan memancing senyumanku dengan bacotan bacotannya yang tak masuk akal. Dan juga tak akan adalagi orang yang mengingatkanku melepas jaket sebelum memasuki gerbang utama, mengikat tali sepatuku yang tak pernah berhasil kuatasi, dan menguncir rambut ombakku yang sulit diatur. Jujur aku merasa sangat kehilangan, dan benar benar sulit tersenyum.
"Ops, hati hati dongg." Seorang siswa menahan langkahku.
"Ehh?"
"Lo nyari jalur aman kan? Masukin jaketnya ke tas." Katanya.
"Makasih."
Aku sadar, jika tanpanya aku harus menjalani sidang karena melanggar peraturan sekolah. Aku mengangguk padanya dan berniat melanjutkan langkahku, namun ia menyodorkan sebuah formulir dihadapanku.
"Lo kelas X?"
"Yap."
"Join ekskul gue ya, disana ...."
"Maaf kak, gue ngga tertarik." Tolakku.
"Lo bisa keluar nanti."
Sebenarnya dalam hati aku ingin memakinya karena memaksaku. Namun, hatiku cukup lelah hari ini. Dengan senyuman tipis aku menerima formulir pendaftaran itu.
Begitu sampai di kelas, Tama menarik rambutku kasar. Aku hampir menitikkan air mata, jika saja Axsiel tidak muncul dan menertawai ku.
"Sakit, lepasin."keluhku.