Tanggal 04 bulan 04 tahun 1994 seharusnya menjadi hari biasa bagi warga Korea.
Tapi sejak subuh, udara terasa berbeda, lebih berat, lebih pekat, seperti ada sesuatu yang menggantung di angkasa.
Para ilmuwan sudah mewanti-wanti bahwa hari itu akan terjadi dua fenomena langit langka:
gerhana matahari lalu gerhana bulan dalam satu hari.
Secara teori bisa terjadi, namun jarang sekali dua-duanya begitu dekat dan begitu jelas.
Namun yang membuat warga tak tenang bukanlah prediksi ilmiah itu. Beberapa minggu sebelumnya, koran-koran kecil, para peramal lokal, dan channel televisi alternatif ramai membicarakan “hari gelap” yang akan datang. Banyak yang menertawakan ramalan itu, tapi tetap saja, ada perasaan tidak enak yang diam-diam merayap ke dada banyak orang.
Gerhana Matahari yang Tidak Wajar.
Pukul 11 siang, di pusat kota Seoul, langit mulai meredup perlahan. Orang-orang yang awalnya bersiap menonton gerhana dengan kacamata khusus mulai berhenti berbicara, menyadari bahwa langit meredup lebih cepat dari yang seharusnya. Awan bergulung seperti asap hitam, padahal radar cuaca tidak menunjukkan adanya badai.
Dalam waktu kurang dari dua menit, siang yang cerah berubah seperti malam gelap. Lampu jalan menyala otomatis. Anak-anak menangis. Beberapa orang berlari masuk ke dalam minimarket atau gedung perkantoran.
“Ini aneh… terlalu gelap,” gumam seorang pria paruh baya sambil menatap langit.
Tiba-tiba hawa panas merambat seperti ledakan dari panggangan besar. Banyak orang spontan menutupi wajah. Dalam kegelapan itu, suhu melonjak seperti musim panas, lalu menurun lagi dengan cepat. Semuanya hanya berlangsung sekitar sembilan menit, tapi cukup untuk menimbulkan ketakutan yang tak terjelaskan.
Ketika cahaya matahari akhirnya kembali, orang-orang masih terpaku, tubuh mereka merinding oleh hawa aneh yang barusan menyelimuti kota.
Mereka pikir semuanya selesai.
Tapi belum.
Gerhana Bulan yang Datang Terlalu Cepat.
Menjelang senja, udara tiba-tiba berubah sunyi. Burung-burung yang biasanya pulang ke sarang berkicau ramai, hari itu justru hilang entah ke mana. Angin yang bertiup terasa dingin seperti musim dingin, padahal kalender menunjukkan awal musim semi.
Dan begitu malam turun, bulan purnama merah muncul perlahan di balik awan hitam. Gerhana bulan yang seharusnya terjadi tengah malam, justru datang lebih cepat, bahkan terlalu cepat. Warga mulai panik. Banyak yang memilih diam di rumah, menutup tirai, mematikan lampu, membakar dupa, atau membaca doa-doa yang mereka tahu.
Ada yang bersembunyi. Ada yang menangis.
Tapi tidak di sebuah rumah kecil di perbatasan kota, rumah tua yang malam itu dipenuhi jeritan dan kepanikan.
Dua Kelahiran.
Rumah itu milik seorang nenek bernama Nenek Eunjong, wanita tua yang tinggal bersama putrinya yang sedang hamil besar. Putrinya bernama Song Hanni, perempuan berusia tiga puluh dua tahun yang sudah sebulan lalu diramal akan melahirkan di hari gerhana, ramalan yang saat itu dianggap mengada-ada.