JINNI AND JUNO

Nengshuwartii
Chapter #3

PERTEMUAN YANG DITENTUKAN TAKDIR

Pagi itu matahari Gangwon bersinar terlalu terang. Angin yang biasanya dingin dari perbukitan justru terasa hangat dan menekan. Langit seperti memantulkan cahaya yang tidak biasa, sedikit bergetar, seperti ada sesuatu yang akan terjadi.

Dan bagi Juno, hari itu bukan hari biasa.

Hari itu adalah hari pertama dia resmi bertugas sebagai petugas pelayanan masyarakat setelah tiga bulan pelatihan dasar, fisik, dan materi. Semua orang di kampungnya menantikan hari ini, seolah-olah melihat anak laki-lakinya sendiri tumbuh besar dan siap mengabdi.

Juno menyiapkan sepeda kesayangannya, merapikan seragamnya yang masih terlihat baru, lalu tersenyum pada bayangannya sendiri di kaca pintu.

“Semangat, Juno. Jangan telat… meski kemungkinan besar tetap akan telat.” gumamnya sambil tertawa kecil.

Perjalanan ke kantor sebenarnya hanya satu jam.

Tapi bersama Juno, satu jam bisa menjadi dua.

Karena seperti biasa…

“Kakek, biar saya bantu angkutkan kardusnya.”

“Bibi, sini saya bawakan belanjaannya.”

“Mari naik dulu, anjing kecil. Jangan mengejar mobil.”

Juno berhenti di setiap suara, setiap gestur, setiap permintaan. Bahkan bila tidak diminta pun dia akan turun tangan.

Dia terlahir seperti itu, seorang penolong yang tidak pernah merasa rugi menolong.

Tapi hari ini… sesuatu terasa berbeda.

Panasnya tidak wajar.


Udara seperti mengingatkan sesuatu.

“Apa akan terjadi gerhana lagi?” gumam Juno lirih.

Kalimat itu keluar begitu saja, sama seperti tiga kali sebelumnya:

Saat dia masuk SMP.

Saat dia lulus sekolah.

Dan saat pertama kali masuk universitas.

Selalu pada hari-hari yang terasa terlalu panas, terlalu sunyi, terlalu aneh.

Hari-hari yang membuat dadanya gelisah tanpa alasan.

Dan sama seperti hari-hari itu… tak lama kemudian sesuatu memang terjadi.

Juno berhenti di lampu merah, memandangi langit yang terasa berat. Tepat saat lampu berubah hijau...

BRUK!

Seseorang menabraknya dari samping.

“A...ah!” jerit suara wanita.

Sepeda Juno oleng, tapi ia cepat menahan keseimbangan lalu memutar tubuhnya ke arah wanita itu yang terduduk memegangi tangannya.

“Astaga! Kamu tidak apa-apa?” Juno panik.

Wanita itu bangkit terlalu cepat, seperti tidak ingin diperhatikan. Rambutnya sedikit berantakan, nafasnya naik turun seolah ia habis berlari.


“Tidak… tidak apa-apa,” ujarnya cepat, lalu berjalan pergi tergesa tanpa menoleh.

Juno sempat tercengang.

“Huh? Kenapa dia seperti… melarikan diri?”

Ketika wanita itu hampir menghilang di tikungan, Juno melihat tangan wanita itu, mengeluarkan darah.


“Hei! Tunggu! Lukamu!”

Wanita itu berhenti. Perlahan berbalik.

Wajahnya cantik, tapi matanya merah dan bengkak seperti habis menangis lama. Ada ketakutan halus yang tidak bisa disembunyikannya.

Juno mendekat dengan hati-hati, menunduk sedikit agar sejajar dengan matanya.

“Kamu terluka. Kita ke rumah sakit, ya.”

“Tidak perlu,” jawab wanita itu cepat, suara bergetar. “Ini bukan karena jatuh.”

“Memang kelihatannya bukan. Tapi… tetap saja harus diobati.”

Juno tersenyum kecil. “Izinkan aku membantu. Itu tugasku.”

Wanita itu menelan ludah. Pandangannya bergerak ke seragam Juno.

Petugas.


Polisi.

Alasan untuk tidak menolak terlalu keras.

Akhirnya ia mengangguk tanpa suara.

“Baik. Hanya… cepat saja.”

“Siap!”

Juno mengunci sepedanya di minimarket, lalu memanggil taksi.


Di dalam taksi, Juno menghubungi komandannya.

“Komandan, saya terlambat sedikit. Ada warga terluka yang harus saya antar ke rumah sa—”

“Aku bukan warga sini,” sela wanita itu tiba-tiba, memalingkan wajah.

Juno mendongak, tersenyum geli.

“Oh begitu? Sayang sekali. Harusnya kita langsung ke kantor polisi, bukan ke rumah sakit.”

Wanita itu salah tingkah, memegang pergelangan tangannya yang berdarah.

“…tolong jangan bercanda seperti itu.”

“Aku tidak bercanda,” ujar Juno ceria.

Untuk pertama kalinya wanita itu menatapnya langsung. Lama.

Matanya penuh kehati-hatian… sekaligus sesuatu yang sulit dijelaskan.

Saat mereka berdua ingin memalingkan wajah, tangan mereka tidak sengaja bersentuhan.

Keduanya tersentak kecil.


Sesuatu seperti percikan hangat merambat dari ujung jari ke dada.

Juno mengerjapkan mata, tak mengerti apa yang baru ia rasakan.

Wanita itu mengalihkan tatapan lebih dulu. Nafasnya terdengar tidak stabil.

Sampai taksi berhenti di rumah sakit.

Seperti biasa, Juno disapa semua orang saat masuk rumah sakit.


“Juno! Sudah resmi bertugas ya?”

“Selamat ya! Wah, makin ganteng sekarang.”

“Dokter Jung di dalam!”

Wanita itu hanya berdiri diam, bingung melihat bagaimana orang-orang memperlakukan Juno seolah ia anak kesayangan rumah sakit.

Dokter Jung Miri keluar dari ruangan sambil membawa berkas.

“Juno! Apa kabar, Nak?”

“Baik, Dok!” Juno membungkuk sopan. “Ini… seseorang terluka. Saya antar ke sini.”

Begitu melihat wanita itu, alis Dokter Jung perlahan mengerenyit.

“Sepertinya… aku pernah melihatmu. Tapi di mana, ya?”

Wanita itu menelan ludah, wajahnya pucat.

“Tida...maksud saya, mungkin dokter salah orang.”

Dokter Jung tersenyum lembut. “Mungkin.”


Setelah luka wanita itu dibersihkan dan dibalut, ia berdiri hendak pergi.

“Terima kasih… untuk semuanya.” Wanita itu mengulurkan tangan, tetapi tidak sepenuhnya berani menatap Juno.

Juno menyambut tangannya. Hangat.

Terlalu hangat untuk sebuah pertemuan asing.

Saat jari mereka bersentuhan, deg...sesuatu menghantam dada Juno.

Kenangan aneh itu muncul lagi.

Hari pertama masuk SMP.

Lihat selengkapnya