Setelah menangkap laki-laki itu mereka kembali ke kantor polisi. Dan disana sudah ada nenek Jinni yang menunggu cucunya. Nenek berbicara banyak hal terutama soal sungai.
“Tolong jangan pikirkan apa pun. Aku pulang dulu,” ujar Jinni sambil menunduk.
Ia pergi.
Tapi sesuatu menarik Juno untuk tetap diam menatap punggung Jinni yang menjauh.
Sore itu, Juno bekerja seperti biasa. Atau...berusaha. Pikiran nenek, ucapan tentang sungai, dan tatapan Jinni bercampur menjadi satu.
Malam turun.
Dan malam… selalu mengubah dirinya.
Ia merasakan detak jantung yang berbeda. Duniannya seperti dibuka oleh pintu lain, lebih berbising, lebih jelas, lebih hidup, tapi sekaligus rapuh.
Ia keluar untuk mencari udara. Namun langkahnya membawanya pada tempat yang tak ia duga.
Minimarket kecil.
Lampunya terang.
Dan di balik pintu kaca… seseorang berdiri.
Jinni.
Dengan seragam kerja, rambut diikat rapi, wajah yang terlihat letih tapi lembut.
Juno tidak merencanakannya.
Tapi kakinya bergerak sendiri, berjalan masuk dengan keras, hingga pintu terbentur.
Semua orang menatap.
Juno kehilangan keseimbangan dan jatuh ke meja depan.
Ia tidak ingat sesaat.
Tapi suara itu...
“Tuan… Anda baik-baik saja?”
Ia membuka mata.
Jinni.
Wajah itu.
Tatapan itu.
Dekat sekali.
Seolah malam memang ingin mempertemukan mereka berdua.
“Sekarang kamu sudah bangun,” ujar Jinni ketus, tapi suaranya tidak kasar. Lebih seperti seseorang yang berusaha menjaga jarak dari sesuatu yang menakutkan justru karena terlalu familiar.
“Aku… kamu bekerja di sini?” Juno terkejut.
“Kalau sudah sadar, tolong pergi. Aku harus kembali kerja.”
“Boleh aku belanja dulu?”
Jinni menatap tajam tapi mempersilakan.
Setelah membayar, Juno berdiri di kasir.
“Bolehkah aku bicara denganmu sebentar?”
Jinni menghela napas. Tapi akhirnya keluar.
Di teras, hanya mereka berdua. Angin malam menyentuh wajah mereka seperti mengundang cerita yang lebih dalam.
“Kenapa tadi kamu pura-pura tidak mengenaliku?” tanya Juno tanpa basa-basi.
“Aku tidak mengenalmu.”
“Kita sudah bertemu beberapa kali.”
Jinni menatapnya lama. Ada sesuatu di balik tatapan itu, takut, sedih, bingung, atau mungkin… sama seperti Juno, ia juga merasakan kedekatan yang tidak dapat dijelaskan.
“Aku… tidak ingat,” jawabnya, jujur.
Juno menarik napas panjang.
“Bagaimana keadaan tanganmu?”
Jinni mengangkat perban. “Baik. Berkatmu.”
“Bolehkah… aku menghubungimu lain waktu? Ada hal penting yang harus kubicarakan. Tapi bukan sekarang. Aku tidak ingin mengganggu pekerjaanmu.”
Ia pikir Jinni akan menolak.
Tapi Jinni mengangguk.
“Baik.”
Juno terdiam sejenak, terkejut.
Mereka saling berpamitan.
Dan saat berbalik, mereka saling menatap lagi, sekilas, tapi dalam.
Tatapan yang membuat keduanya sadar:
Ini bukan pertemuan biasa.