Dalam cinta, bukan lagi bicara tentang kehendakku
Tapi, lebih kepada kehendakmu…
Di dalam ruang pengadilan agama, seusai palu diketuk 3 kali oleh seorang hakim laki-laki dengan wajah tuanya yang nampak lelah. Entah telah berapa kali, palu-palunya menjadi saksi dari sebuah peceraian. Hembusan napas lega terasa memenuhi ruang sidang yang tidak terlalu besar itu. Setelah para petugas sidang keluar, satu persatu para pengunjung yang hadir di ruang itu pun keluar. Beberapa di antaranya, nampak tersenyum. Namun tidak bagi Nana Delisa. Perempuan jelita itu tetap duduk di tempatnya. Menikmati rasa sakit yang ia rasakan. Bukan hanya satu kesakitan, tapi lebih!
Kesakitan pertamanya adalah dia sebagai tergugat. Dan kedua, dia tidak memiliki pendukung, alias hanya seorang diri. Di mana keluarga besarnya berada? Mama sambungnya? Bukankah, perempuan itu pernah berjanji pada ayahnya, kalau ia akan terus mendukung Nana. Bukankah, perceraian ini pun bagian dari kehendaknya? Lalu di mana perginya perempuan itu? Wajah Nana mulai berlipat-lipat. Rasanya wajar, kalau perempuan berhidung bangir itu pun merasa dirinya dicampakkan.
“Saya merasa sudah tidak memiliki kecocokan lagi dengan istri saya. Lagipula, saya benar-benar tidak paham dengan pola pikir istri saya. Pak.”
Kembali suara Aji, laki-laki yang kini menjadi mantan suaminya itu terngiang.
“Tidak memiliki kecocokan dan tidak paham pola pikir istri saya.” Nana bergumam sendiri, sembari menunjukan senyum sinisnya. “ Ish... apakah itu bisa menjadi satu alasan yang relevan untuk mengajukan gugatan perceraian?” Perempuan itu mengigit sudut bibirnya sendiri. "Cih...! Bukankah itu terlalu cengeng, Mas Aji?" desisnya kemudian.
Ada rasa tidak terima, jauh di dasar lubuk hati Nana. Namun, secara tiba-tiba, ia tidak memiliki kekuatan atau kepintaran dalam bermain kata. Apalagi, saat Aji dengan sangat memprihatinkan mengemukakan alasan tersebut sambil bercucuran keringat dan air mata. Perempuan itu pun langsung bungkam seribu bahasa. Otaknya tidak berfungsi untuk mengolah kalimat pembelaan apa pun.
Sudah tentu, Nana frustasi. Kepasrahannya pun serasa ambigu. Antara syok dan legowo, itu beda tipis, tergantung siapa yang melihatnya. Walaupun, Emil, sahabatnya, dengan lantang berkata, “Kamu itu syok. Nggak nyangka kalau Aji tega berbuat seperti itu.”
Nana menarik napas panjang. Dia bangkit dari duduknya, lalu berjalan gontai menuju pintu ruang sidang yang terbuka. Beberapa keluarga Aji masih berada di sana. Mereka menggelar reportase dengan sanak famili dan orang-orang yang mereka kenal, atas jalannya sidang yang baru saja berakhir.
“Istrinya Aji itu, eh, mantan istrinya, maksudku,” ujar Diana, kakak Aji yang hobi sekali menggelar reportase macam itu, bila ia melihat sedikit cela yang dimiliki orang lain. “Dia, tuh, sok perfeksionis gitu, lah. Ya, memang pintar, sih. Cuma...ya, mbok, logikanya itu sedikit dipakailah. Mana ada suami yang tahan hidup dengan perempuan kaya gitu.”
“Jangankan suaminya,” sambung Rena, adik Aji, “aku saja enggak paham dengan pola pikirnya.”
“Ya itulah. Makanya, jadi perempuan itu harus tunduk sama budaya. Jangan keminter. Jangan pernah lupa tugasnya; sumur, dapur, dan kasur,” ganti mantan ibu mertua Nana pun ikut beropini.
Opini-opini itu laiknya suara lebah yang berdengung-dengung di telinga Nana. “Jadi, aku juga yang salah?” ujarnya dalam hati.
Nampak kerumunan orang itu berhenti bicara, ketika Nana berjalan melewatinya. Nana merasa seperti seorang pesakitan, ketika mata mereka seolah menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan tatapan mencerca.
“Tuh, lihat. Saking keminter dan angkuhnya, boro-boro dia menoleh ke arah kita,” lagi Diana buka suara ketika Nana telah berada beberapa langkah di depannya. Nana tidak peduli. Perempuan itu terus melangkah dengan cepat dan berbelok menuju toilet perempuan.
Di dalam toilet, Nana membasuh mukanya berkali-kali. jantungnya berdegub keras karena menahan emosi yang hampir meledak. Ia pun berujar sembari mencuci tangannya, “Kalau kamu enggak paham dengan pola pikirku, ya, belajarlah memahaminya. Bukan, aku terus yang harus memahami kamu”. Pernyataan Aji, menjadi satu pertanyaan pertama dalam kepalanya. Dan, dijawablah dengan kebenaran rasionalitas menurut Nana. “Sebenarnya, kamu itu laki-laki yang paling enak hidupnya, Mas Aji. Sayangnya, kamu nggak pernah tahu caranya bersyukur.” Ia matikan kran air dengan kasar, lalu menarik tisu gulung yang diletakkan begitu saja di sisi wastafel, tanpa wadah.
Nana menatap gambaran dirinya dalam cermin kusam yang mukim di atas wastafel. “Perempuan perfeksionis?” tanyanya sinis pada gambaran dirinya dalam cermin itu. "Cih! Bahkan, Mbak Diana saja belum tentu tahu arti perfeksionis itu apa. Gimana nggak jadi perempuan perfeksionis, kalau adik kamu, tuh, joroknya bukan main. Sama sekali enggak ada otak dan kesadaran untuk merapikan segalanya. Jangankan masalah, bahkan membereskan barang-barang saja tidak mampu. Lihat saja kamar kami, sudah nggak jauh beda sama kandang ayam,” umpat Nana dalam hati.
“Hei Rena, ya… gimana kamu mau paham? Orang kamu anak-anak alay yang doyannya nongkrong sana-sini; bergibah. Ketimbang ngabisin buku di perpustakaan,” cibir Nana terkait pernyataan adik perempuan Aji.
“Haduuh, Bu. Budaya itu, kan, hanya bicara tentang kesepakatan. Memangnya, ibu kira, aku nggak ngerjain itu semua? Dari kasur, dapur, dan sumur, yang tadi menurut ibu adalah budaya bagi kami, kaum hawa? Mau model gaya apa? Aku sudah lakukan semua demi memuaskan hasrat anak laki-laki ibu itu. Kalau cuma masak ala Timur Tengah, Eropa, Jepang, Korea, bahkan dari ujung Sabang sampai Merauke, aku itu jagonya, loh. Aku nyuci juga. Cucianku se-anak gunung tingginya, saking seringnya Mas Aji gonta-ganti baju, seperti artis yang lagi show.”
Emosi Nana semakin memuncak. Dengungan itu pun semakin lama semakin ramai. Bahkan, lamat-lamat ia tadi mendengar ada teman Aji yang mengucapkan “selamat bercerai”, seolah mereka tidak peduli, seberapa berduka dan marahnya perempuan berkulit bersih itu. Sama sekali tidak ada akhlaknya! Apa sebegitu menderitanya Aji ketika mereka hidup bersama?
Nana menekan dadanya. kembali rasa sakit itu datang menjalar hebat. Ia pun luruh, menangis di bawah wastafel. Seorang perempuan keluar dari dalam bilik toilet dengan kikuk, ketika melihatnya berjongkok di sana, di antara isak tangisnya. Wanita itu pun memutuskan untuk keluar dari kamar mandi itu walaupun dengan langkah ragu.
****
Di luar gedung pengadilan, hawa panas terasa menyengat. Cakrawala nampak benderang oleh posisi sang surya yang tepat berada di atas kepala, membuat kapas-kapas putih itu terserak merata. Seolah gambaran laut di Antartika. Nana berjalan gontai menuju parkiran, setelah ia menghabiskan air matanya di toilet. Boleh jadi, Nana bersabar ketika berada di dalam sana. Berperan sebagai seorang pesakitan dengan semua kesalahan yang ditimpakan padanya. Bahkan, bukan hanya dari pihak Aji saja yang menyalahkannya, tapi keluarganya sendiri pun berperilaku sama; menyalahkan! Ternyata, menyalahkan itu menjadi hal yang paling mudah untuk dilakukan, sehingga tidak perlulah kita capek-capek berpikir keras, apalagi membantu mencari solusi.
Di bawah pohon bungur, mata Nana terus tertuju pada Aji, yang telah berganti status menjadi mantan suaminya. Laki-laki itu tengah asyik berbincang dengan beberapa teman yang nampak asing di mata Nana. Tawa Aji nampak lepas, seolah tidak ada lagi beban yang menghimpit kepala. Pada titik itu pun, Nana mulai berpikir, apa hanya dia saja yang menderita? Kalau memang demikian, berarti kasihan sekali nasibnya? Dicampakkan oleh seorang Aji, hanya gara-gara nggak nyambung. Sedih, kecewa, marah. Se-konslet apa, sih, isi kepalanya?
Bunyi ponselnya berdering. Nana melihat nama Emil tertera di sana.
“Halo, Mil.”