Cinta itu seperti waktu…
Tak bisa di definisikan!
Nana berjalan terseok-seok menuju dapur. Sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin lelah, atau entah apalah. Yang jelas, ia tidak menemukan kenyamanan sama sekali. Apalagi, perempuan berambut hitam itu nyaris terjaga di sepanjang malam. Rasa lelah dalam menjalani sidang perceraian terakhirnya, tidak mampu membuatnya jatuh dalam kantuk. Ada ronta yang tak tersalurkan, hingga membuatnya larut dalam kekesalan.
“Ayolah, Nana. Kamu nggak bisa memaksakan sesuatu yang ada di luar kendalimu. Sadarlah…” gumamnya setelah duduk di atas kursi makan, sembari melipat satu kakinya. “Kamu tinggal adaptasi sama situasinya saja, kan? Okey, Na? Okeey? Okeylah…” jawabnya pasrah.
Ah! Menghibur diri sendiri nyatanya tidak selamanya baik. Tetap saja, Nana butuh dukungan dari orang lain. Tuhan tahu dengan pasti kalau perempuan bertubuh mungil itu lelah. Tapi, tetap saja Dia mengujinya terus menerus. “Apa karena aku hanya bicara tentang kelelahan, tapi nggak pernah masuk dalam kepasrahan? Makanya, Tuhan hobi banget ngasih aku ujian,” rutuknya sambil menyambar roti tawar di atas meja. Dilipatnya roti itu dengan malas, lalu di gigitnya sedikit-sedikit.
“Rumah ini terasa lebih hening tanpa Mas Aji,” desahnya.
Wajah sedih perempuan penyuka warna abu-abu itu tergambar dengan jelas. Biasanya, rumah itu ramai, walaupun mereka hanya hidup berdua. Ramai dengan pertengkaran dan perbedaan pendapat yang silang sengkarut, tidak pernah ada titik temu. Nyatanya, pertengkaran pun mampu memunculkan kerinduan. Ironis sekali! Harusnya dulu, Nana nggak usah ngeyel dengan pemahamannya sendiri. Karena mau bagaimanapun, seseorang yang terbiasa dengan matematika agak sulit bicara dengan anak bahasa. Apalagi yang mereka bicarakan soal kimia. Wajarlah, nggak ada yang nyambung.
Nana bangkit dari duduknya. Berjalan menuju kamar mandi, beberapa notifikasi kajian filsafat muncul di layar ponsel yang tergelak di atas meja. Dibukanya kran air di atas wastafel yang terbuat dari porselin berwarna putih.