JIVA

Erlina P. Lestari
Chapter #3

Lelaki Asing di Dalam Kamar #3

Kicauan burung di pagi hari

Laiknya matahari yang memaksa kita bangun dan berlari

Tahukah burung-burung

Kalau kita ingin rehat, hari ini?

 

Nana kembali menatap langit-langit kamar. Dalam beberapa hari belakangan ini, ia nyaris tak bisa memejamkan mata walau sekejap. Kalaupun bisa, itu hanya berlaku paling lama 1 jam. Mungkinkah dia mulai insomnia, setelah perpisahannya dengan Aji? Cakrawala gelap mulai luruh menuju kaki langit. Berganti dengan cahaya mentari yang menyembul pada garis horizon di ufuk timur. Tubuh Nana berguling ke sisi dengan lemah. Apa lagi yang diharapkan dari hidupnya? Ketika ia berusaha menyusun pondasi tinggi-tinggi, ternyata semudah itu diruntuhkan. Lalu, siapa yang harus disalahkan? Siapa yang paling egois? Siapa yang tidak mau mengalah? Siapa yang paling keras kepala? Semua jawaban hanya tertuju pada satu orang, yaitu Nana. Semua adalah kesalahannya. Kandasnya pernikahan ini, amarah Aji serta ketidaknyamanannya adalah salah perempuan yang gemar mengikuti kajian filsafat itu.

Kepala Nana mulai berdenyut, dengan perlahan dia bangkit dari tempat tidur. Berjalan dengan malas menuju dapur, seperti hari-hari kemarin. Di bukanya pintu lemari es, bahkan tidak ada sesiapa pun yang menghuni rak-raknya. Nana membanting pintu itu, jengkel. Ternyata, ia mulai melupakan banyak hal. Apakah semua orang yang mengalami perceraian seperti dia? Linglung sendiri?

Perempuan itu pun menggulung rambutnya ke atas, lalu dijerangnya air di dalam panci. Ia masukan bubuk teh ke dalam mug, dan menuangkan air yang telah bergolak itu ke dalamnya. Netranya menatap jarum jam; 07.00 WIB. Sekelebat aktivitas yang telah lalu, bergelindan dalam ingatannya. Saat Aji masih bersamanya, pada jam-jam ini Nana pasti sangat sibuk. Sibuk untuk membuatkan sarapan, menyiapkan baju Aji, dan bersiap-siap untuk dirinya sendiri. Ah! Aji…

“Bukankah, kali ini semuanya terasa lebih tenang?” gumamnya pada diri sendiri. Nana masih cuti. Aji tidak lagi di rumah ini. Seharusnya, Nana bahagia. Karena dia bisa sedikit bersantai. Tapi, tidak! Nyatanya, ini terlalu sunyi. Tidak ada perdebatan, tidak ada makian Aji karena ia lupa menaruh barang, tidak ada lagu-lagu yang mengalun dari CD Player yang diputar Aji, yang suaranya berbentur dengan kajian filsafat yang diputar Nana dari you tube melalui ponselnya. Tidak ada lagi protes Aji atas kajian yang disampaikan. Karena menurutnya, apa yang disampaikan oleh narasumber itu salah! Tidak tepat-lah, tidak masuk akal-lah, dan lain-lain. Terlalu banyak alasan yang dikemukakan Aji yang membuat Nana pada akhirnya mematikan ponselnya.

“Ah!” Nana mendesah, kini matanya menyapu sekeliling ruangan. “Baiklah, Na. Nikmati saja, apa yang bisa kamu nikmati,” ujarnya sembari memanggut-manggutkan kepala.

Perempuan itu pun memutuskan untuk keluar menghampiri tukang gerobak sayur yang telah parkir di depan rumahnya. Setidaknya, ada 5 orang perempuan berdaster tengah sibuk memilih-milih sayuran. Sedangkan sang empunya gerobak, tengah sibuk menyiangi ikan.

“Akhirnya, mereka pisah, ya,” salah seorang perempuan berdaster merah berujar.

“Siapa?” tanya perempuan berdaster kuning, sembari memisahkan beberapa ikat kangkung.

“Pak Aji dan istrinya-lah.”

Nana menghentikan langkah kakinya. Ketika selintas lalu, namanya dan Aji disebut.

“Iya. Sayang banget. Padahal, apa kurangnya Pak Aji, sih?”

“Hmm... Bu Aji itu, mah, jarang gaul. Tapi, katanya, Pak Aji merasa enggak diperhatiin sama istrinya. Kata suamiku, Bu Aji itu pintar ngomong. Pak Aji enggak pernah ngerti, maksud istrinya apa,” terang perempuan berdaster merah.

“Hmm…” perempuan berdaster hijau nampak berpikir. “Mereka sering bertengkar, adu argumen gitulah.”

“Kok, kamu tahu?”

“Kata suamiku.”

Nana menarik napas panjang. Seperti itulah pergunjingan para tetangga, ketika mereka berkumpul di satu titik. Ah! Nana benci ini. Bagaimana bisa para suami bergunjing tentang istri mereka?

 “Dengar-dengar, Bu Aji dapat rumah ini, ya?” perempuan berdaster hijau bertanya, entah pada siapa.

“Serius!” ujar perempuan berdaster merah. “Itu artinya, kita nggak bisa lihat Pak Aji lagi, dooong,” lanjutnya.

“Haduuh... mana si bapak itu ramah banget lagi. Enggak kaya istrinya,” cibir perempuan berdaster hijau.

Lagi-lagi Nana menghela napas panjang. Ia bergeming di belakang mereka. Tidak ada satu pun dari para kaum hawa itu yang menyadari, bahwa mantan Nyonya Aji tengah berada selangkah di belakang perempuan berdaster hijau itu.

Entah mereka memang tidak sadar, atau mereka tidak ada yang mengenal, seperti apa sosok istri dari Bayu Aji. Sampai, salah satu dari perempuan-perempuan itu memberi kode, menandakan bahwa pergunjingan tersebut harus diakhiri saat itu juga. Dan, secara otomatis tanpa dikomando lagi, mereka mulai mengalihkan obrolan.

“Mas sawi sama kangkungnya, kok, letoy-letoy begini, sih?” ujar perempuan berdaster merah, yang secara kur di amini oleh perempuan-perempuan yang lain. Kangkung dan sawi pun menjadi sasaran pergibahan mereka setelah Aji, luar biasa!

“Mas, berapa semua?” perempuan berdaster merah meminta laki-laki berusia sekitar 36 tahunan itu untuk menghitung belanjaannya.

“Semua Rp. 35 ribu, Bu.”

Tanpa bicara, perempuan itu mengeluarkan 4 lembar uang kertas, dan berlalu begitu saja. Perempuan yang lain pun berebut minta belanjaannya segera dihitung.

Nana memilih beberapa sayuran tanpa suara. Seharusnya, sedari tadi ia berbalik arah saja. Menggagalkan keinginannya untuk membeli sayuran di tempat Mas Pur, laki-laki asli tegal itu. Bukankah, belanja di supermarket lebih menyenangkan, dibanding bertemu dengan orang-orang yang hobinya nyinyir? Nana pun merasa mood-nya langsung anjlok seketika.

Nana mengambil beberapa sayuran dan mengeluarkan selembar uang kertas Rp. 100 ribuan dari balik saku hoodie-nya. Ia serahkan uang itu kepada Mas Pur tanpa bicara. Dan, dengan kikuk, laki-laki pun itu mengeluarkan kembalian untuk Nana.

****

 

Di dapur. Nana meletakkan belanjaannya di atas meja. Kepalanya terasa berdenyut. Ada rasa cemburu yang bergelayut dalam relung hatinya.

“Hmm… jadi kelakuan Mas Aji adalah beramah-tamah sama para perempuan-perempuan itu,” ia bergumam kesal. “Pantesan…”

Lihat selengkapnya