Si resepsionis bar karaoke tidak pernah meminta kode rahasia lagi begitu melihat Eliya mendekati mejanya dengan koper tarik biru muda yang dia bawa. Dia mengangkat singkat dagunya, mempersilakan Eliya menuju sebuah pintu tersembunyi tanpa memberikan arahan seperti awal-awal pertama gadis itu kemari.
Eliya mengangguk, lalu berjalan menyusuri lorong karaoke yang sunyi, hanya diisi oleh bunyi gelinding roda kopernya. Karena buru-buru, langkahnya lebih cepat dari biasa. Meskipun postur Eliya terjaga ketenangannya, tidak ingin menimbulkan kecurigaan dari pegawai bersih-bersih yang dijumpa sesekali.
Dia berhenti di depan sebuah ruangan bekas. Dulunya digunakan sebagai tempat istirahat pegawai … menurut yang orang-orang percaya, setidaknya. Seorang tukang kebersihan memunggunginya tanpa mengumbar sepatah kata, bahkan ketika Eliya menempelkan sebuah kartu di sebuah sensor dan memasuki ruang itu. Memang pekerjaan sesungguhnya adalah berjaga di area ini, dan dia mengenal Eliya cukup baik untuk mengabaikannya.
Di dalam, meja-meja usang bertumpuk dan berserakan di sisi tembok. Kertas-kertas putih yang sobek berserakan di lantai, bertabur debu dan pasir. Dinding tergores dan tercoret-coret oleh krayon dan tinta hitam. Orang biasa takkan menyadari ruangan ini sebetulnya dibuat-buat agar terlihat terbengkalai.
Eliya mendekati sebuah celah di antara jejeran acak meja, kemudian menghadap begitu dekat dengan tembok. Disapunya tembok itu dengan berbagai gerakan menggunakan sebelah tangannya. Bunyi kertuk segera menyambut. Eliya mundur beberapa langkah, bertepatan dengan terbukanya bagian kecil dari dinding itu ke depan, seperti sebuah pintu. Di seberangnya terdapat sebuah lorong bebatuan yang gelap, tampak bagai gua.
Ketika Eliya melangkah masuk, dinding kembali tertutup. Eliya terus maju tanpa menoleh ke belakang.
Hanya perlu berjalan sebentar, Eliya segera mencapai cahaya. Di luar lorong itu pasar yang ramai membentang. Banyak orang gaduh lalu-lalang di depan stan dan kios. Teriakan bising penjual yang promosi memecah di sana-sini, dan tidak sedikit pembeli beradu tawar soal harga. Suara mereka campur aduk, tetapi Eliya mampu menangkap satu per satu apa yang mereka bicarakan.
Namun toh, itu bukan urusannya. Eliya kembali menarik koper menyusuri jalan di antara stan-stan dan toko-toko. Karena jalannya lumayan lebar, dia tidak kerepotan harus bersesakan dengan pengunjung lain.
Eliya melemparkan pandangan ke penjuru pasar, sekadar mengamati selagi dia berjalan. Dia melihat seorang gadis yang lebih muda darinya baru saja tersandung dan menumpahkan lebih dari separuh jiwa dari kantung tasnya. Eliya mendengus geli saat jiwa-jiwa itu sontak terbang begitu saja ke udara lepas, disertai sumpahan si gadis muda.
Eliya juga mendapati seseorang baru keluar dari toko poin kebaikan dengan sebuah seringai puas memaku wajah berminyaknya. Padahal bajunya kelihatan lusuh, tetapi dia tampak telah berhasil membeli cukup poin untuk “naik lantai”. Jika tidak, senyumnya takkan selebar itu.
Sadar bahwa pasar ini bukan tempat biasa, sekarang? Bukan hanya pasarnya, dunia ini pun demikian.