Perjalanan panjang babak kedua dimulai. Tanpa terasa kaki ini telah membawa kita semakin jauh dari desa Garuda. Yups, paman Baru lebih memilih berjalan kaki menyusuri jalur selatan daripada melintasi jalur udara yang beresiko. Walau terbilang lebih cepat bila kita terbang menuju pulau Dewata, namun bahaya selalu mengintai di kejauhan. Para Asura yang tersebar di beberapa wilayah pulau Jawa menjadi ancaman utama selama perjalanan berlangsung.
Itulah alasan mengapa kami akhirnya sepakat memilih jalur darat agar tidak mencolok. Selain itu jalur ini cukup sepi, sudah berjam-jam kami berjalan menyusuri hutan tidak ada satu pun rumah yang ditemui.
Beruntung langit kala itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan turunnya hujan. Walau matahari bersinar terang namun rimbunnya pepohonan melindungi kami dari sengatnya yang membara. Selain itu juga belain lembut dewi angin menambah sejuk suasana kala itu.
Selama perjalanan kami saling bertukar cerita dan mencoba untuk mengakrabkan diri. Terlebih ada seorang gadis di antara kami bertiga yang perlu mendapat perhatian lebih dibanding lainnya.
Kukira akan sulit untuk membagun topik dengan dara cantik idaman semua pria. Apalagi dalam waktu dekat ia akan menjadi moho guru, tentunya aku harus mempersiapkan bahan obrolan yang berbobot untuk mengimbangi kepintarannya. Ternyata pikiranku salah, Dita adalah seorang gadis yang ramah dan murah senyum. Sehingga perjalanan semakin berwarna karena kehadirannya.
“Kruuuurrkkkk…”
“Hehehe… hehe… he... maaf perutnya bunyi, apakah tidak ada permukiman atau pondok makan dekat-dekat sini? Sedari tadi kita hanya berjalan keluar masuk hutan tanpa menemukan tempat untuk beristirahat.”
Aku sependapat dengan Dita, perut ini mulai menyerukan genderang perang. Semakin ditahan rasanya makin sakit.
“Seingatku ada sebuah desa tidak jauh dari sini, kita bisa istirahat dan makan di sana.” Anggoro selaku penunjuk jalan memberi angin segar kepada kami yang mulai kelelahan setelah berjalan seharian tanpa henti.
Benar saja setelah keluar dari rerimbunan hutan akhirnya kami menemui jalan setapak yang merupakan akses utama menuju desa terdekat. Setelah berjalan beberapa ratus meter kami menjumpai patok penanda batas wilayah desa. Dengan begitu desa yang kita tuju sudah berada di depan mata.
Di masaku setiap desa atau perkampungan selalu memiliki batas wilayah dan tanda pembatas yang berbeda-beda. Ada yang berupa monument atau tugu, ada juga yang berbentuk gapura dan biasanya terdapat tulisan nama dari desa atau wilayah tersebut.
Akhirnya kami tiba di sebuah desa yang padat penduduk. Rupa-rupanya tempat ini bukanlah desa biasa, melainkan salah satu kekuasaan Asura yang tinggal di wilayah Gunungkidul.
“Gimana kalau kita makan di warung itu, sepertinya enak.” Aku menunjuk sebuah warung makan yang tampak ramai dikunjungi pengunjung.
“Tidak… kita tidak akan makan di sini. Terlalu beresiko.” Seperti biasa paman Baru boleh dibilang over protective.
Walau ia adalah Laksamana Muda yang tangguh, tapi paman lebih memilih untuk menghindari konflik sebisa mungkin. Mengingat paman Baru adalah pemimpin rombongan, kami hanya bisa mengikuti apa yang diperintahkan. Itu berarti kita harus menahan perut lebih lama lagi.
“Krruuukkk…” Kali ini giliran perutku yang berbunyi cukup kencang.
“Eehh… Paman apakah tidak bisa kita berhenti sejenak beli sesuatu untuk dimakan sambil jalan?”
“Tidak! Apa kalian tidak menyadari beberapa warga memandangi kita sedari tadi?” Aku celingukan mencari warga yang tampak mencurigakan.
“Sepertinya mereka itu Asura yang bertugas menjaga wilayah ini. Jadi sebaiknya kita segera tinggalkan desa ini sebelum mereka berbuat sesuatu.”
Tidak ada seorang pun yang berani menyanggah perkataan paman Baru. Dita sekali pun yang sedari awal menahan lapar kini hanya terdiam. Entah harus berapa jauh lagi kita berjalan agar bisa beristirahat dan makan dengan tenang. Ternyata seperti inilah kondisi negeriku selama ini. Tertekan dan terjajah oleh bangsa Asura sehingga tidak bisa bergerak dengan bebas dan selalu was-was tiap kali melakukan kegiatan.
Tibalah kami di penghujung desa. Ternyata para Asura hanya memastikan kemana kami akan pergi. Setelah tahu rombonganku pergi meninggalkan desa, mereka segera kembali melakukan aktivitas layaknya manusia lainnya.