Jakarta, 12 Maret 2010
Sebuah boneka beruang cokelat itu tergeletak pasrah di lantai keramik putih. Tubuhnya dicabik-cabik oleh dua orang perempuan menggunakan ujung sendok, lalu isi dalam boneka dihambur-hamburkan ke atas.
"Eh, ada salju!" seru salah satu perempuan sambil terbahak-bahak saking senangnya.
Perempuan satunya meloncat kegirangan untuk menangkap busa dakron yang beterbangan. "Yeh, aku dapat saljunya!"
Lima perempuan lainnya tampak acuh tak acuh dengan sorakan mereka. Ada yang sedang tidur di ranjang, mondar-mandir mengitari ruangan, berdiri di depan terali jendela, bicara sendiri menghadap tembok, dan duduk termenung dengan tatapan kosong di tepi ranjang.
Devina sudah terbiasa mendengar sorakan kedua teman sekamarnya itu. Saat keluar dari kamar mandi yang memang ada di dalam kamar, dia masih bersikap biasa saja. Menyisir rambut panjangnya yang basah dan dibiarkan terurai. Detik berikutnya, matanya langsung nyalang saat melihat boneka beruang kesayangannya berakhir tragis. Tubuhnya sudah tercerai-berai.
"Apa yang kalian lakukan sama boneka aku?" bentak Devina, lalu mendorong kedua perempuan itu hingga terjatuh. Matanya berkaca-kaca, memeluk boneka kesayangannya yang sudah tidak utuh lagi.
"Kenapa kamu marah, sih? Kita cuma main salju. Emangnya gak boleh?" ujar salah satu perempuan membela diri.
"Iya, nih! Marah-marah gak jelas kayak orang gila." Yang satunya ikut menyangkal.
Jiwa Devina ikut terkoyak. Boneka itu memiliki kenangan besar yang tidak tergantikan, hadiah ulang tahun yang diberikan ibunya saat berusia delapan tahun.
Kedua perempuan itu justru tertawa terpingkal-pingkal melihat air mata Devina. Bagi mereka, tindakan Devina yang menangisi boneka adalah hal yang lucu.
Seketika, Devina jadi gelap mata. Dia memukul kedua perempuan itu secara membabi buta, layaknya mereka memperlakukan boneka beruangnya.
Kelima perempuan yang ada di sana berteriak histeris, membuat Dr. Riyan dan dua suster yang kebetulan melewati kamar itu jadi panik.
Devina tidak tahu apa yang telah dilakukannya. Yang jelas, emosinya terluapkan melalui pukulan brutal itu, hingga menyebabkan dua perempuan yang terbaring di bawahnya jadi luka memar di bagian wajah dan tangan.
Dr. Riyan bergegas menghentikan perkelahian itu dengan menangkap Devina, sementara dua suster membantu dua perempuan yang terluka pergi ke ruang kesehatan.
"Panggil suster yang lain!"
Devina meronta-ronta di pelukan Dr. Riyan. Matanya masih nyalang menatap kedua perempuan yang dibawa suster ke luar kamar. "Lepaskan saya! Mereka jahat! Mereka harus mati!"
"Tenang dulu, ya!" Dr. Riyan berusaha menenangkan Devina sampai beberapa suster datang. "Cepat, ambil suntikan!"
Saat melihat jarum suntik, Devina meronta lebih kuat. Tubuh dan pikirannya jadi tidak stabil antara marah, kesal, dan takut.
Dr. Riyan kewalahan menahan lengan Devina. Setelah disuntikkan cairan obat, tubuh gadis itu perlahan luruh dan dibawa ke kamar lain agar kondisi kejiwaannya segera membaik.
Sebelum hilang kesadaran sepenuhnya, Devina sempat mendengar suara ibunya samar-samar. Ingatannya kembali ke masa dua belas tahun silam, tepat pada tanggal 15 Mei 1998.