"Bunuh semua orang Tionghoa! Cari sampai ketemu!"
Langkah kaki berseliweran di depan gudang. Devina tidak tahu ada berapa banyak orang di luar sana. Sekujur tubuhnya mulai menggigil. Matanya menelusuri seisi gudang, mencari tempat lain untuk bersembunyi, kemudian tertuju pada sebuah lemari tua yang sudah rapuh di belakang tumpukan kardus. Hanya itu satu-satunya tempat yang menurutnya lebih aman daripada di kolong meja.
Tak ada waktu. Devina bergegas keluar dari kolong meja dan berlari ke lemari tua. Namun, dua kardus besar yang ditumpuk menjadi satu itu menghalangi pintu lemari. Dia menggeser kardus itu agar bisa membuka pintu lemari, tetapi tenaganya tidak sebanding dengan muatan kardus itu. Napasnya sudah ngos-ngosan. Dia mencoba lagi, sampai akhirnya tumpukan kardus itu sedikit bergeser.
Usahanya masih belum selesai. Dia berjuang membuka pintu lemari yang macet. Matanya sesekali menoleh ke pintu, takut orang-orang itu sudah masuk. Dengan sekuat tenaga yang dia punya, pintu itu berhasil terbuka. Dia senang bukan main karena usahanya tidak sia-sia. Akan tetapi, jantungnya berdebar kencang serasa jungkir balik saat suara pintu yang berderak itu memancing perhatian orang-orang yang masih berseliweran di depan gudang.
"Hei, kalian dengar suara, nggak, barusan?"
Yang lain berkata lagi, "Eh, iya. Aku sempat dengar."
"Itu berarti ada orang di dalam ruangan ini."
"Cepat buka pintunya!"
Devina terbelalak saat orang-orang itu berusaha mendobrak pintu. Tak ada pilihan lain. Dia bergegas masuk ke lemari dan menutupnya rapat-rapat. Dadanya mulai sesak, tidak ada udara yang masuk. Dia juga tidak bisa bergerak, kaki dan tangannya terhimpit.
"Ada mahkota, berarti ada orang di sini!"
Devina refleks meraba kepalanya. Itu mahkota miliknya! Pasti terjatuh pas keluar dari kolong meja tadi.
"Siapa pun orangnya, habisi dia!"
Mereka mengacak-acak semua barang yang ada di dalam gudang demi menemukan orang Tionghoa. Mereka tidak akan mundur sebelum menghabisi seluruh penghuni rumah. Hati mereka seolah-olah sudah dikuasai iblis, sehingga tidak ada kata iba. Bayi hingga orang yang sudah lanjut usia menjadi korban mereka. Selain nyawa, mereka juga menjarah semua harta benda yang berharga, seperti perhiasan, uang, dan barang elektronik yang bisa dibawa.
Devina sudah tidak tahan lagi. Peluh sudah membanjiri sekujur tubuhnya yang lemas. Napasnya pun serasa tinggal sedikit. Apakah dia akan tewas di tangan orang-orang itu? Di sisa kesadarannya, dia berdoa di dalam hati, Ya Tuhan, aku mohon selamatkan aku dan Mama.
Beberapa dari para penjarah mulai menyerah saat tidak berhasil menemukan orang di sana. Lemari tempat Devina bersembunyi pun tak luput dari amukan mereka.
Devina hanya bisa pasrah di dalam lemari itu. Kepalanya terantuk hingga berdenyut parah. Lama-lama, kesadarannya ditelan kegelapan. Saat matanya terbuka lagi, dia seperti berada di dimensi lain. Namun, keadaan di sekitarnya masih sama seperti sebelumnya: gelap. Itu berarti kejadian yang dialaminya bukanlah mimpi, tetapi benar-benar nyata.
Setelah didengar dengan saksama, tidak ada suara berisik lagi. Apakah mereka sudah pergi?
Dia mencoba mendorong pintu. Namun, tangan dan kakinya terhimpit sehingga tidak bisa membuka pintu. Dia berusaha mencari cara untuk keluar dari lemari tersebut. Saat menengadah, bagian atasnya adalah triplek yang sudah rapuh dan terkoyak di bagian pinggir. Dia mencoba berdiri dan mengoyak sedikit demi sedikit triplek itu, sampai berlubang besar, lalu keluar dari lemari itu.
Gaun putri yang dia pakai pun tak utuh lagi. Sobek sana-sini. Dia tertatih-tatih masuk ke rumah, menyusuri satu per satu ruangan dan kamar yang sudah kacau balau. Akan tetapi, dia sama sekali tidak menemukan sosok Eva. Di mana ibunya? Bagaimana kondisi ibunya sekarang?
Pikirannya kalut. Kalaupun ibunya baik-baik saja, mengapa tidak mencarinya di gudang? Apa orang-orang itu masih ada di rumahnya?
"Ma ...." Devina memanggil berulang kali. "Mama ada di mana?"
Entah yang kesekian kali, Eva tidak menyahut panggilannya. Satu hal yang terlintas di benak Devina: apakah ibunya diculik?
Devina terduduk di dekat tangga sambil terus memanggil ibunya. Tangisannya pecah. Saat tak sengaja menoleh ke dekat pintu kamar mandi, ada bercak merah di lantai. Lama memandanginya, hingga dia tergerak untuk melangkah ke kamar mandi. Ketika pintu dibuka lebar-lebar, Devina terbelalak melihat tubuh ibunya bersimbah darah dan tergeletak di lantai tanpa busana.
"Mama ...."
Devina meraung-raung sambil menggoyang-goyangkan tubuh ibunya yang sudah terbujur kaku dengan kondisi kepala dan dada berlubang akibat ditembak.
"Mama ... bangun, Ma."