"Semua bermula dari kerusuhan yang terjadi pada tanggal 15 Mei 1998, Dok. Hari itu, Devina berulang tahun sekaligus penjarahan besar-besaran di lingkungan rumahnya. Ayahnya tewas dalam peristiwa kebakaran di Mal Klender, sedangkan ibunya tewas ditembak penjarah. Oleh karena itu, dia diangkat sebagai anak oleh Pak Feri, adik dari ayahnya," ungkap Suster Yuni sembari mengenang pertama kali Devina dibawa ke rumah sakit Dr. Soeharto Heerdjan.
Sepanjang Suster Yuni menjelaskan, Dr. Riyan mendengar dengan saksama. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Devina saat itu yang harus kehilangan orang tuanya di hari ulang tahunnya. Ternyata, yang diceritakan Devina soal Om Feri itu benar, batinnya.
"Lalu, kenapa Om Feri tidak datang lagi ke sini?" tanya Dr. Riyan setelah terdiam beberapa detik.
Suster Yuni menghela napas pelan. "Itulah yang saya heran, Dok. Dia menitipkan Devina tiga tahun yang lalu ke sini. Namun, sampai sekarang, tidak satu pun kerabatnya yang datang berkunjung. Mereka seolah-olah tidak peduli lagi dengan gadis itu."
"Apa Suster Yuni tahu alamat rumah mereka?"
Bukan menjawab, Suster Yuni malah balik bertanya, "Apa Devina minta bantuan Dokter untuk mencari informasi tentang Pak Feri?"
Dr. Riyan terkejut karena Suster Yuni sudah tahu duluan. "Kok, Suster tahu?"
"Dia sering kali meminta tolong kepada kami, tapi kami terpaksa mengabaikannya."
Dahi Dr. Riyan yang putih mulus, mengernyit. "Kenapa kalian tidak mau membantunya?"
"Pak Feri sendiri yang meminta demikian, Dok, jadi kami hanya menuruti permintaannya."
Dr. Riyan makin bingung. Devina terus menunggu kedatangan Om Feri, sementara Om Feri sendiri yang menghindari Devina.
"Mana dokumen tentang Devina? Saya mau melihatnya sebentar." Mungkin saja, ada informasi penting di dalam dokumen itu, pikir Dr. Riyan.
Suster Yuni mencari map yang menyimpan dokumen penting terkait identitas pasien di sebuah lemari kaca berukuran besar. Setelah menemukan map itu, dia menunjukkannya kepada Dr. Riyan. "Ini, Dok. Di dalam map itu, ada alamat lengkap rumah Pak Feri."
"Terima kasih, Sus. Saya pinjam dulu, nanti saya kembalikan."
Saat Dr. Riyan beranjak berdiri, Suster Yuni bertanya, "Kenapa Dr. Riyan begitu ingin tahu soal masa lalu Devina?"
Pertanyaan Suster Yuni berhasil melumpuhkan langkah Dr. Riyan. Dia tidak mungkin memberi tahu soal permintaan Devina. "Ada yang ingin saya cari tahu," balas Dr. Riyan telak, membuat Suster Yuni bungkam.
Dering ponsel menyelamatkan Dr. Riyan dari obrolan itu. Dia bergegas keluar dari ruangan Suster Yuni dan menjawab panggilan itu di selasar rumah sakit.
"Oke, aku akan jemput kamu besok malam," ujarnya sebelum mengakhiri telepon.
***
Tak ada yang bisa dilakukan selain tidur dan duduk, membuat Devina merasa jenuh di dalam kamar yang terkunci rapat. Dia bukan kriminal, hanya kejiwaannya yang bermasalah. Namun, jika dibandingkan dengan para penjahat yang mendekam di dalam jeruji besi, maka dia pun tidak ada bedanya dengan mereka. Pintu dan jendela dilapisi terali besi. Dia benar-benar terkurung di dalamnya, tanpa bisa bebas melihat dunia luar ataupun menghirup udara segar di taman.
Tatapan Devina berpaling pada boneka beruang besar yang diberikan Dr. Riyan tadi siang. Temannya kini bertambah satu. Setidaknya, boneka beruangnya yang lusuh tidak merasa kesepian lagi.
"Andai aja kalian bisa bicara, mungkin aku nggak akan bosan. Kayak sekarang, aku ngomong sendiri. Mereka akan menganggap aku benar-benar gila."
Devina beranjak mendekat ke jendela, memperhatikan lorong yang sepi. Entah ada di bagian mana kamarnya sekarang, yang jelas tidak tampak lalu lalang suster ataupun dokter. Dia seperti diasingkan ke tempat lain.
"Apa Dr. Riyan mau membantuku?" Devina mendadak ragu dengan jawaban Dr. Riyan. Dia sering kali meminta bantuan dokter ataupun suster lain, tetapi tidak ada satu pun yang bersedia membantunya. Mereka tampak acuh tak acuh, padahal dia hanya ingin bertemu dengan Om Feri.
Bagi Devina, Om Feri sudah seperti orang tua kandungnya. Tidak sedikit pun tebersit rasa benci meski Om Feri yang telah membawanya ke rumah sakit ini. Sejujurnya, itu fakta yang menyakitkan. Namun, dia berusaha bersikap positif.
Hingga malam bertemu pagi, Devina masih menunggu. Berkali-kali dia memanggil suster untuk menanyakan tentang keberadaan Dr. Riyan, tetapi suster di sana tidak tahu apa-apa.
Devina menghela napas dalam-dalam. Selama tiga tahun, dia terjebak dalam ketidakpastian. Om Feri berjanji akan sering datang mengunjunginya. Kenyataannya, dia tidak pernah sekali pun bertemu dengan beliau. Ke mana Om Feri sebenarnya? Mengapa beliau mengingkari janji? Apa karena dilarang oleh Tante Dian, istri Om Feri?
Ingatannya kembali pada tangan 15 Mei 1998, di mana saat itu Feri datang menolongnya.
"Kak Eva, Devina, kalian ada di mana?"
Devina mengangkat kepala sambil terus sesegukan dan menajamkan telinga. Barusan kayak ada suara orang yang sangat dia kenali.
"Devina, Kak Eva," panggil orang itu sekali lagi.
Devina makin yakin bahwa dia tidak salah dengar. "Om Feri," sahutnya parau.
Pria yang dipanggil Om Feri tersentak dengan sahutan Devina. "Devina, kamu di mana?"
Devina keluar dari kamar mandi, menghampiri pamannya yang sedang kebingungan mencari mereka di kamarnya. "Om Feri."
Feri menoleh dan langsung memeluk Devina. "Syukurlah, kamu selamat. Mana mamamu, Devin?"
Devina kembali berderai air mata. "Ma ... ma ...." Jari telunjuknya menunjuk ke kamar mandi. Dia tak sanggup mengatakan kondisi ibunya sekarang.
Feri bergegas ke kamar mandi dan tercengang melihat kakak iparnya tergeletak di lantai. Darah di mana-mana. Dia syok, lalu bersandar di pintu kamar mandi.