Jiwa Tak Berdetak

Steffy Hans
Chapter #4

Bab 4

Di sela acara syukuran tersebut, Dr. Riyan diam-diam mengamati seisi rumah. Tidak tampak foto laki-laki. Hanya ada foto Mona dan ibunya yang tergantung di dinding. Muncul pertanyaan besar di benak pemuda itu. Kalau benar Feri adalah ayah kandung Mona, mengapa mereka seakan-akan melupakan Feri? Bukankah beliau masih harus dihormati meski sudah meninggal? Semua ini benar-benar janggal.

"Sayang, kamu ngapain sendirian di sini? Aku cariin ke mana-mana. Tadi teman-teman aku pengen ketemu kamu."

Dr. Riyan tersentak dari lamunan saat seseorang menepuk pundaknya, lalu beralih menatap Mona. Dia memang sengaja menghindar dari keramaian. Bukan semata karena diminta Devina untuk mencari informasi tentang Om Feri, melainkan juga ingin tahu rahasia apa yang disembunyikan kekasihnya tentang pria bernama Feri.

"Nggak apa-apa, lagi pengen sendiri aja. Teman-teman kamu udah balik?"

Mona mengangguk. "Duduk di teras belakang, yuk! Ngobrol di sana aja."

Keduanya melangkah ke teras belakang, lalu duduk bersebelahan di ayunan kayu. Ada kolam ikan mas di sudut teras, yang didekor dengan bebatuan hitam dan air mancur kecil di antara dua lampu taman.

Mumpung lagi berduaan dengan Mona, Dr. Riyan memanfaatkan kesempatan itu untuk menanyakan tentang Feri.

"Nggak terasa kita udah jalan dua bulan. Aku pengen tahu lebih banyak lagi tentang keluarga kamu biar hubungan kita juga makin dekat satu sama lain." Dr. Riyan sengaja berucap basa-basi di awal, baru lanjut dengan tujuan utamanya.

Mona tersenyum mendengar niat Dr. Riyan yang ingin serius dengannya. Setelah satu tahun dia berjuang meluluhkan hati Dr. Riyan, lalu resmi jadian dua bulan lalu, dan sekarang Dr. Riyan menyatakan keseriusannya. Itu artinya perjuangannya tidak sia-sia.

"Apa yang ingin kamu ketahui tentang keluargaku?"

Dr. Riyan tersenyum menyeringai samar. Rencana awal berjalan lancar. Mona mulai terpancing oleh kata-katanya. Dia segera menggenggam tangan dan menatap Mona dengan penuh cinta. Itulah kelemahan gadis berambut pirang yang duduk di sebelahnya. "Semuanya, apa pun itu. Aku harap nggak ada yang kamu tutupi dari aku."

Wajah Mona tampak merona dan berseri-seri. Degup jantungnya selalu berdebar-debar kala ditatap lembut oleh Dr. Riyan. "Seperti yang kamu tahu, aku ini anak tunggal, tinggal berdua sama mama, masih kuliah semester enam, dan bercita-cita menjadi istri kamu."

"Soal almarhum papa kamu? Apa namanya?" Dr. Riyan sengaja menyinggung soal ayah yang disembunyikan Mona. Dia memperhatikan ekspresi Mona yang gelagapan, makin membuat dia merasa curiga dengan Mona.

"Kenapa kamu tiba-tiba nanya itu?" Mona berusaha menutupi rasa gugupmya dengan tersenyum. "Tanya yang lain aja."

"Aku pengen tahu aja soal keluarga kamu lebih banyak. Emangnya nggak boleh? Nanti, orang tua aku juga pengen ketemu kamu dan Tante Dian. Gimana kalau ditanyain soal keluarga kamu, terus aku nggak bisa jawab? Mereka pasti mikir hubungan kita cuma main-main."

Mona terpaku dalam kebingungan. Dia sudah berjanji di depan ibunya bahwa dia tidak akan membocorkan identitas ayahnya kepada siapa pun, termasuk kekasihnya. Di lain sisi, dia merasa bersalah jika terus merahasiakan tentang ayahnya kepada Dr. Riyan. Toh, pemuda itu sudah resmi menjadi kekasihnya dan pasti mau memaklumi keadaan mereka. Jadi, tidak ada salahnya kalau mau bilang sekarang, kan? Lama-lama, kekasihnya juga pasti akan tahu.

"Papa aku bernama—" Mona terperanjat dengan suara ibunya.

"Mona," panggil Dian dengan suara tegas. Matanya menyoroti Mona dengan tajam. Untung saja, dia bisa menghentikan mulut anaknya yang hampir membocorkan rahasia besar mereka tepat waktu.

"Ada apa, Ma?" Mona bertanya dengan suara bergetar.

"Om dan Tante nyariin kalian di depan. Kalian sapa mereka dulu," ujar Dian kepada Mona dan Dr. Riyan.

"Oke, Ma." Mona menggandeng Dr. Riyan ke teras depan. Pemuda itu mendengkus pelan. Hampir saja dia mengetahui kebenarannya, tetapi malah dihalangi Dian. Untuk sekarang, dia mengalah dahulu dan akan mengatur waktu yang tepat agar bisa mengobrol berdua dengan Mona.

***

Pagi sudah berganti malam. Devina terus berdiri di depan jendela sambil memeluk boneka beruangnya. Meski Dr. Riyan masih belum muncul juga, dia masih berharap bahwa kali ini dia bisa bertemu dengan Feri.

Lihat selengkapnya