Mumpung masih ada waktu sebelum kelas dimulai, Mona menyempatkan diri berkunjung ke RSJ Dr. Soeharto Heerdjan, tempat kerja Dr. Riyan. Tidak dengan tangan kosong, dia datang membawa sebuah kotak bekal makan yang sengaja disiapkan sendiri karena Dr. Riyan sangat menyukai wanita mandiri.
Sepanjang menyusuri selasar rumah sakit, Mona melihat beragam tipe pasien: ada yang bicara sendiri, mengamuk di dalam kamar, melamun di pinggir jendela, dll. Bagaimana kekasihnya menjalani hari bersama pasien-pasien gila itu? Membayangkannya saja sangat mengerikan, apalagi jika dia yang ada di posisi kekasihnya, sudah pasti dia tidak akan bertahan lama.
Seorang pasien laki-laki dengan rambut yang gondrong dan acak-acakan, tiba-tiba menyodorkan bunga yang baru dipetik dari taman. "Hai, Mbak cantik! Mau jadi pacar saya, nggak?"
Mona memekik kaget dan berlalu cepat menghindari pasien itu. Belum surut keterkejutannya, seorang pasien perempuan dengan gaya rambut dikepang dua mengomel tidak jelas di depannya sambil memegang foto artis, "Hei, Pelakor! Jauhi suami saya! Saya tahu, kamu mau menikahi dia, kan? Nggak usah kecentilan, deh! Aku lebih cantik daripada kamu."
Mona menghela napas kasar sembari bergegas melanjutkan langkah. "Lama-lama, aku yang bisa gila beneran. Andai bukan karena pengen ketemu Riyan, aku gak bakalan mau datang ke sini!" gerutunya kesal.
Saat hendak berbelok ke lorong sebelah kiri, langkah Mona kembali terhenti. Kali ini bukan karena dihadang pasien gila, melainkan matanya yang tak sengaja melihat sosok perempuan yang sedang duduk di bangku taman bersama seorang suster. Dia pikir tidak akan bertemu dengan perempuan itu setelah masuk ke rumah sakit jiwa tiga tahun yang lalu. Ternyata, takdir mempertemukan dia lagi dengan perempuan bernama Devina itu. Satu-satunya sepupu yang sangat dia benci.
Dua belas tahun yang lalu, gara-gara kasus kerusuhan 1998, Devina yang sudah kehilangan orang tuanya, dibawa Feri ke rumah dan tinggal bersama. Mona yang terbiasa menjadi anak tunggal, harus merelakan kasih sayang ayahnya yang terbagi dua untuk Devina. Mona jelas tidak menyukai kehadiran sepupunya itu. Berbagai cara dia lakukan agar Devina dimarahi atau dihukum oleh ayahnya. Kenyataannya, malah dia yang dimarahi habis-habisan. Mona kesal bukan main.
Ketika berulang tahun ke-17, Mona jelas paham trauma yang dialami Devina seperti apa. Dia sengaja mengusulkan acarnya digelar di rumah. Dengan bantuan ibunya, Mona mengundang teman-teman sekolah dan merayakan ulang tahunnya. Tentu saja, hal itu mengingatkan Devina pada hari kematian orang tuanya yang juga bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-9. Devina mendadak histeris dan mengamuk di tengah acara. Tak ingin kejiwaan Devina makin parah, Dian (ibunya Mona) menyarankan kepada Feri untuk membawa Devina ke rumah sakit jiwa supaya bisa dirawat intensif. Dian pun tak ingin Devina tiba-tiba menyakiti Mona atau orang-orang di sekitarnya jika mengamuk lagi. Akhirnya, dengan pertimbangan yang cukup berat, Feri menyetujui saran istrinya. Sejak saat itu, Mona sangat bahagia karena bisa menjauhkan Devina dari keluarganya.
Dari ujung lorong, mata sipit Dr. Riyan tambah menyipit saat mengamati perempuan yang tengah berdiri mematung. Tentu saja dia sangat mengenali perempuan itu, yang tak lain adalah kekasihnya sendiri. Untuk apa dia datang kemari? Tumben sekali, pikirnya. Sembari melangkah, dia penasaran apa yang dilihat Mona sampai bengong seperti itu. Setelah berada di dekat Mona, dia mengikuti arah pandang gadis itu dan mendapati Devina yang sedang duduk di taman dengan Suster Marni. Dahinya mengernyit, apa kecurigaannya beberapa hari ini memang benar bahwa Om Feri yang dimaksud Devina adalah ayahnya Mona? Terlihat dari tatapan Mona, jelas terpancar bahwa Mona sangat mengenali Devina. Dia harus mencari bukti lain untuk menguatkan argumennya. Akhirnya, dia menepuk bahu Mona dan bertanya, "Mona, kamu ngapain ada di sini?"
Mona tersentak dari lamunannya, lalu tertawa kecil untuk menyembunyikan raut tegang karena kemunculan kekasihnya. "Aku bawain kamu bekal untuk makan siang. Aku siapin sendiri, lho! Dimakan, ya."
Dr. Riyan tersenyum, lalu menerima bekal tersebut. "Nggak usah repot-repot kayak gini, lagian aku biasa makan di kantin rumah sakit. Tapi karena kamu udah relain jauh-jauh ke sini, aku akan makan bekal dari kamu."
Sesuai dengan ekspetasi, Dr. Riyan menerima bekal darinya. Hati Mona tambah berbunga-bunga. Maklum saja, dia sedang dimabuk asmara sehingga jarak jauh pun tak dihiraukan. "Nggak masalah jauh asal bisa ketemu kamu."
"Kamu nggak kuliah?" tanya Dr. Riyan setelah menyadari sesuatu.
"Masih ada waktu, kok. Tenang aja. Mending kita ngobrol di ruangan kamu biar nggak ada yang ganggu." Tanpa menunggu respons, Mona langsung menarik lengan Dr. Riyan ke arah lain.
"Kenapa kita lewat jalan sini, Mon? Ruangan aku di dekat taman. Jalannya jadi lebih jauh karena harus mutar."