"Masuk!" ujar Dr. Riyan saat ada yang mengetuk pintu ruang kerjanya. Tatapannya masih fokus memeriksa daftar pasien. Tinggal sedikit lagi, pekerjaannya akan selesai.
"Dok, ini hasil pemeriksaan pasien hari ini," ucap Suster Marni sembari menyodorkan sebuah map di hadapan Dr. Riyan.
Dr. Riyan menoleh sekilas. Yang sebelumnya juga belum selesai, sudah datang yang baru lagi. "Terima kasih, Sus," sahutnya setelah menerima map itu.
"Saya permisi dulu." Saat Suster Marni hendak berbalik, tak sengaja melihat selembar kertas yang bertuliskan identitas Devina dan alamat Om Feri. Dia langsung teringat dengan obrolan kemarin di taman bersama Devina.
"Maaf, Dok, kalau saya lancang. Saya cuma mau nanya, apa kekasih Dokter itu punya kerabat yang tinggal di rumah sakit ini?"
Aktivitas Dr. Riyan seketika berhenti, lalu menatap Suster Marni. "Setahu saya tidak ada. Memangnya ada apa, Sus?"
Suster Marni terdiam sesaat. Ragu mau diberi tahu atau tidak kepada Dr. Riyan.
"Sus," panggil Dr. Riyan, "ada apa? Katakan saja."
Suster Marni menggigit bibir bawahnya, memainkan jemari, lalu menghela napas panjang. "Begini, Dok. Kemarin siang, saya menemani Devina duduk di taman. Saat itu, dia melihat Dokter sedang berjalan berdua menuju ruang ini dan bilang bahwa Mbak Mona itu sepupu dia."
Dr. Riyan bersandar di punggung kursi seraya menyimak semua yang diceritakan Suster Marni. Sedikit demi sedikit, rahasia itu mulai terungkap.
"Apa Devina menyebut nama ayahnya Mona?"
Suster Marni menggeleng. "Tidak, Dok. Dia cuma bilang ayahnya Mona adalah adik dari ayahnya."
"Terima kasih sudah memberi tahu hal ini, Sus."
"Sama-sama, Dok. Saya permisi keluar."
Setelah Suster Marni keluar, ponsel Dr. Riyan bergetar. Ada pesan masuk dari Mona. Isi pesan itu berupa foto keluarganya. Ada Mona, ibunya, dan seorang pria paruh baya, mungkin itu ayahnya yang disebut Om Feri oleh Devina. Dia segera keluar mencari Suster Yuni sekaligus membawa map yang sempat dipinjamnya.