Jiwa Tak Berdetak

Steffy Hans
Chapter #7

Bab 7

Sore yang cerah. Waktu yang pas untuk jalan-jalan. Seperti hari-hari sebelumnya, Suster Marni mengajak Devina duduk di bangku taman. Tak lupa, boneka beruang kesayangan yang selalu dibawa Devina ke mana pun dia pergi, begitu juga dengan kenangan bersama orang tuanya.

Entah angin apa, Devina tiba-tiba teringat masa kecilnya. Ibunya sering mengepang rambutnya saat mereka sedang duduk santai di teras sambil menunggu ayahnya pulang kerja. Gara-gara memori itulah, dia akhirnya meminta Suster Marni untuk melakukan hal yang sama seperti ibunya dahulu.

Devina sendiri sudah menyiapkan sisir dan karet gelang sebelum pergi ke taman. Setelah Suster Marni mengiyakan, dia baru mengeluarkan dua benda tersebut dari saku celananya.

Setiap hari, ada saja yang dibahas. Kebanyakan Suster Marni yang membagi kisah hidup dan pengalamannya. Tak jarang pula, Suster Marni memberikan petuah yang membuka pikiran Devina tentang hal-hal yang baru. Selain itu, Suster Marni selalu merespons apa pun yang diungkapkan Devina dengan baik. Hal itu yang membuat Devina merasa nyaman dan mau terbuka dengan Suster Marni.

"Gimana perasaan kamu akhir-akhir ini? Apa kamu masih sering mimpi buruk?" tanya Suster Marni. Tangannya begitu lihai mengepang rambut Devina yang panjang sepunggung.

Devina memeluk boneka beruangnya. "Perasaan aku jauh lebih tenang daripada sebelumnya, Sus. Mimpi buruk itu juga udah nggak datang lagi, jadi tidurku sangat nyenyak."

Suster Marni tersenyum. "Sebenarnya, mimpi buruk itu datang dari pikiran kamu sendiri, Devina. Kamu sering gelisah dan memikirkan hal-hal yang tidak penting. Itulah yang membuat kamu bisa mimpi buruk. Beda halnya kalau diri kamu dipenuhi hal-hal yang positif, kamu pasti akan mengalami hari yang baik juga."

"Terima kasih banyak, Sus. Berkat saran dari Suster, aku bisa menjalani hari yang baik."

Suster Marni mengikat ujung rambut Devina dengan karet gelang. "Aku cuma memberi saran. Selebihnya, kamu yang berusaha. Kalau terus menunjukkan perkembangan yang baik, aku yakin kamu bisa keluar dari tempat ini secepatnya."

Devina sudah tidak sabar ingin segera keluar dari rumah sakit jiwa itu dan pergi mencari Om Feri. Tiga tahun berpisah, dia tidak tahu bagaimana kabar Om Feri sekarang. Apa masih mengingatnya atau sudah lupa? Ah, mustahil jika Om Feri sudah melupakannya! Mengingat betapa beliau sangat menyayangi Devina seperti anaknya sendiri.

Dari arah yang berseberangan, Dr. Riyan baru saja menutup pintu ruang kerjanya, berniat akan pulang. Sekilas, dia melihat Devina tengah tersenyum bersama Suster Marni. Tubuhnya seketika bergeming di tempat seakan-akan sudah terhipnotis oleh senyuman itu. Senyuman yang tampak tulus dan menyejukkan hati.

Sewaktu keduanya pertama kali bertemu, Devina suka menyendiri di pojokan sambil memeluk boneka beruangnya. Membisu dengan tatapan kosong. Hidupnya serasa hampa, membeku seorang diri. Seperti mayat hidup, jiwanya sudah tak berdetak lagi. Namun, detik ini, gadis itu tersenyum begitu manis. Memberi kesan indah dan mengagumkan layaknya gradasi langit jingga yang menyatu dengan biru dan ungu pada sore ini.

Getaran ponsel di saku celana, seketika menyadarkan Dr. Riyan dari apa yang baru saja dilihatnya. Kepalanya geleng-geleng, menepis rasa yang tak boleh muncul. Sudah ada Mona yang mengisi hatinya.

Lihat selengkapnya