Pesawat jurusan Singapura–Jakarta baru saja mendarat. Riyan dan Mona mengayunkan langkah bersamaan saat melihat suami istri paruh baya yang sedang menarik koper dari koridor bandara menuju pintu keluar.
Riyan langsung memeluk orang tuanya bergantian. "Ma, Pa, aku kangen banget. Kok, tiba-tiba ganti hari?" Seharusnya, orang tuanya akan pulang beberapa hari lagi. Namun, mendadak dipercepat jadi hari ini.
"Mama juga kangen sama kamu," ucap Vera, mamanya Riyan. Meski usianya sudah menginjak kepala empat, penampilannya sangat modis. Tidak jauh beda dengan anak muda zaman sekarang. Riasan yang dipoles di wajahnya tipis dan natural. Kulitnya putih begitu mulus, hampir tidak tampak keriput.
"Mama kamu ini udah nggak sabar pengen ketemu pacar kamu, makanya diganti hari ini," sambung Toni, ayahnya Riyan.
Mona yang berdiri di samping Riyan hanya senyum-senyum malu. Ini pertama kali dia bertemu dengan orang tua kekasihnya, yang akan menjadi mertuanya.
Riyan tersenyum, lalu memperkenalkan Mona kepada orang tuanya, begitu juga sebaliknya.
"Mending kita pulang dulu. Nunggu sampai di rumah baru ngobrol," usul Toni yamg dibalas anggukan oleh Riyan.
Riyan mengambil alih koper dari tangan ayahnya. Kini, orang tuanya berjalan bersama Mona, sementara dia menarik dua koper orang tuanya dan menyusul langkah mereka menuju mobil. Mona dan ibunya duduk di bagian belakang. Dia dan ayahnya duduk di bagian depan.
Di tengah perjalanan yang padat oleh lalu-lalang kendaraan roda dua dan empat, Riyan berusaha fokus menyetir. Sesekali, dia mengamati ekspresi Mona dari kaca spion kecil yang menggantung di dalam mobil saat ibunya menanyakan tentang keluarga Mona.
"Iya, Tante. Papa aku udah meninggal tiga tahun yang lalu, jadi aku tinggal berdua sama mama aku."
Deg!
Tiga tahun yang lalu?
Apa itu artinya Om Feri meninggal setelah Devina dibawa ke rumah sakit jiwa? Pantas saja, beliau tidak pernah datang mengunjungi Devina lagi.
Seketika, Riyan merasa iba dengan Devina. Selama tiga tahun, gadis itu terus menunggu kedatangan Om Feri. Namun, orang yang ditunggu-tunggu sudah tiada lagi di dunia ini. Entah bagaimana caranya dia menyampaikan berita duka ini nanti, yang pasti Devina akan histeris. Takutnya, Devina tidak bisa terima kenyataan dan kondisi kejiwaannya makin parah.
"Emangnya, papa kamu meninggal karena apa?"
Mona menyamarkan senyum. Dia berhasil membuat Vera bersimpati atas kisah keluarganya. Wajahnya langsung berubah sendu sebelum menjawab agar Vera percaya dengan semua perkataannya. "Serangan jantung, Tante." Suaranya parau, seperti orang yang menangis.
Serangan jantung? Apa itu benar? Riyan berencana akan menghubungi dua pria bayarannya setiba di rumah nanti.
Vera mengusap-usap punggung Mona. "Maaf, ya. Tante nggak bermaksud bikin kamu sedih."
"Iya, nggak apa-apa, Tante. Aku nggak bisa nahan air mata setiap keinget almarhum papa aku." Dalam hati, Mona senang bukan kepalang. Vera begitu mudah dibohongi.
"Terus, hubungan kalian udah sampai tahap mana? Kapan mau ke langkah yang serius?" Kali ini, Toni yang bersuara sembari menoleh kepada Riyan yang fokus menyetir.
"Nanti aja, Pa. Kami baru jalan dua bulan. Mona juga masih kuliah, jadi aku nggak mau terburu-buru," sahut Riyan. Boro-boro memikirkan langkah yang serius, dia sendiri sudah ilfeel dengan Mona. Banyak kebohongan yang disembunyikan gadis itu padanya.
"Minimal tukar cincin dulu, Yan, biar hubungan kalian terikat satu sama lain. Kalau terlalu lama, nanti keburu pacar kamu yang cantik ini direbut orang lain, lho!" ledek Vera, membuat hati Mona serasa terbang ke langit ketujuh.
"Ah, Tante bisa aja!" Sejauh ini, semua berjalan dengan baik. Sebisanya, Mona bersikap manis di depan orang tua kekasihnya itu.
"Mona," Toni menoleh ke belakang, "Besok malam, kami akan datang ke rumah kamu. Mau silaturahmi sama mama kamu."