Jiwa Tak Berdetak

Steffy Hans
Chapter #9

Bab 9

"Riyan, kenapa kamu belum pulang? Kita, kan, mau datang ke rumah Mona?" Vera langsung melayangkan dua pertanyaan setelah teleponnya dijawab Riyan.

Riyan mendesah pelan. Dia memang sengaja memperlambat waktu pulang karena tak ingin datang ke rumah Mona bersama orang tuanya. Kekecewaan hatinya kepada sang kekasih sudah memuncak. "Maaf  Ma. Aku lembur malam ini. Lain kali aja, ya."

"Biasanya, kamu nggak pernah sampai lembur, Yan." Terdengar nada khawatir dari ibunya.

Riyan mengusap wajahnya. "Iya, tadi ada beberapa pasien yang baru masuk, makanya sibuk meriksa mereka. Aku tutup dulu, Ma. Sampaikan maaf aku sama papa."

Setelah panggilan berakhir, Riyan meletakkan ponsel ke atas meja. Pesan dan panggilan dari Mona pun dia abaikan. Tak ada satu pun yang diresponsnya. Baginya, wanita yang sengaja membohonginya sama saja melukai hatinya. Cukup sekali dilukai, maka tidak ada kesempatan kedua untuk wanita itu.

Berjam-jam kemudian, hari makin larut. Riyan baru beranjak dari ruang kerja menuju parkiran mobil. Namun, ada satu hal yang mengusik atensinya saat melewati koridor kamar pasien. Lampu kamar Devina masih menyala.

Dengan rasa ingin tahu yang besar, Riyan mengintip dari kaca jendela yang memang tidak ditutup tirai dan melihat Devina sedang melipat kertas, lalu memasukkan ke stoples plastik yang hampir terisi penuh.

Dahinya yang putih mulus sedikit berkerut. Apa yang dibuat Devina sampai belum tidur jam segini? Tak ingin mengganggu gadis itu, dia memilih pulang dan akan menanyakannya besok pagi.

***

Keinginan Devina untuk membuat satu permohonan itu sudah bulat. Dia bertekad penuh untuk menyelesaikan seribu lipatan kertas berbentuk bintang. Sampai keesokan harinya, itulah yang dia kerjakan. Bahkan, Riyan masuk untuk memeriksanya pun tidak dia hiraukan.

Sekarang, Riyan bisa melihat jelas apa yang dibuat Devina semalam. Suster Marni sudah menjelaskan maksud dan tujuan dari kegiatan Devina. Tak lain untuk mengalihkan pikiran gadis itu dari trauma yang sempat kambuh. Dia juga menggunakan cara tersebut sampai bisa sembuh. Bukan karena satu permohonan yang terwujud itu, melainkan fokus pada satu kegiatan yang mampu menghasilkan sebuah karya. Suster itu yakin cara tersebut juga bisa menyembuhkan Devina suatu hari nanti.

"Mau saya bantu?" tawar Riyan.

Devina menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada lipatan kertas. "Aku mau menyelesaikannya sendiri, Dok."

Riyan pun tak berani menyentuh apa pun karena permintaan Devina. "Untuk apa kamu membuat bintang-bintang ini?"

Devina menghentikan sejenak kegiatannya, beralih menatap mata sipit Riyan. "Aku udah buat satu permohonan."

Senyum Riyan melengkung di wajah mulusnya. "Kalau kamu berhasil membuat seribu bintang ini, saya juga akan mengabulkan satu permohonan kamu. Kamu mau minta apa?"

Ekspresi Devina langsung berubah sendu. Riyan jadi merasa bersalah, apakah kata-katanya tadi sudah menyinggung perasaan Devina?

"Apa Dokter yakin akan mengabulkan satu permohonan aku?" tanya Devina, yang merasa ragu dengan pertanyaan Riyan. Dia minta tolong menemukan Feri saja, sampai sekarang belum ada kabar. Bagaimana mungkin si dokter berkata akan mengabulkan permohonannya kali ini?

Riyan mengangguk. "Apa itu?"

"Aku ingin bertemu dengan Om Feri."

Riyan terpaku dengan permohonan Devina. Bagaimana cara dia mempertemukan gadis itu dengan orang yang sudah meninggal? Kalaupun nanti dia mengajak Devina ke makam Feri, apa gadis itu bisa menerima kenyataan bahwa Om Feri yang ditunggu kedatangannya sudah meninggal tiga tahun yang lalu?

Lihat selengkapnya