Kita putus.
Dua kata dari Riyan itu berhasil membuat suasana hati Mona jadi hancur. Susah payah menggaet hati Riyan sampai bisa jadian, sekarang hubungan mereka sudah berakhir. Tidak ada harapan untuk bersatu lagi. Semua ini pasti karena Devina!
"Arghhh!" Deretan boneka yang terpampang di pinggir ranjang menjadi target utama pelampiasan Mona. Semua boneka itu tergeletak berantakan di lantai. Masih merasa belum puas, barang-barang yang ada di atas nakas dan meja dekat jendela, ikut merasakan lantai keramik yang dingin.
Mona terengah-engah usai meluapkan emosinya yang tengah membara. "Dari kecil, aku selalu mendapatkan semua yang aku inginkan. Kali ini, juga tidak boleh siapa pun bisa mengambil Riyan dariku!" Nada suaranya turun satu oktaf, tetapi penuh penekanan. Kedua tangannya terkepal dengan sorot mata yang penuh luka.
Baru membuka pintu, Dian syok melihat baranga-barang kesayangan Mona tergeletak di lantai. "Ada apa ini, Mona? Kenapa kamar kamu kayak gini?"
Mona langsung menghambur ke pelukan sang ibu dengan berlinangan air mata. "Ma, Riyan mutusin aku. Aku nggak terima. Aku masih cinta sama dia."
Dian mengelus-elus punggung putrinya. "Kenapa dia bisa mendadak mutusin kamu? Bukannya dia dan orang tuanya mau datang ke sini untuk melamar kamu?"
Tangisan Mona makin kencang dan terdengar seperti orang yang tersakiti. "Ini semua gara-gara Devina, Ma!"
Dahi Dian berkerut. "Gara-gara Devina? Bukannya dia masih ada di rumah sakit jiwa?"
Mona merenggangkan pelukan, lalu menatap ibunya. "Iya, Ma. Devina dirawat di rumah sakit yang sama dengan tempat kerja Riyan. Dia juga yang meriksa Devina di sana. Kemarin pas aku datang ke sana, Riyan belain Devina mulu. Aku malah dicuekin. Aku nggak terima diputusin kayak gini!"
Dian menghapus jejak air mata yang membasahi pipi tirus anak tunggalnya itu. "Tenangkan diri kamu dulu. Lagi marah gini, mana bisa mikir rencana baru?"
Tangisan Mona mereda. "Rencana baru apa maksud Mama?"
"Kamu sudah disakiti sama Riyan, berarti kamu harus balas rasa sakit itu biar keadaanya impas. Cowok model Riyan perlu diberi pelajaran biar dia bisa menghargai perasaan perempuan, bukan langsung putusin gitu aja. Tunjukkin sama dia kalau kamu itu perempuan berkelas, bukan perempuan murahan!"
"Caranya gimana, Ma?"
Dian membisikkan rencana yang baru terlintas di benaknya. Mona mengangguk-angguk, seolah-olah mengerti maksud ibunya.
"Makasih, ya, Ma. Mama selalu ada untuk aku."
Dian mengecup kening Mona. "Mama akan melakukan apa pun demi kebahagiaan kamu. Sekarang, beresin lagi kamar kamu ini. Habis itu, mandi dan dandan yang cantik. Kita mau ketemu pengacara papa kamu."
"Untuk apa, Ma?"
"Kamu nggak mau semua harta yang kita nikmatin sekarang sah menjadi milik kita?"
Tatapan Mona berbinar-binar. "Yang benar, Ma? Emangnya, papa udah sembuh?"
Dian tersenyum menyeringai. "Seenggaknya, papa kamu udah bisa megang benda sekarang, jadi bisa tanda tangan surat warisan itu. Mama tunggu kamu di mobil."
Setelah ibunya keluar, Mona bergegas merapikan kembali semua barang yang dia buang di lantai ke posisi semula. Inilah hari yang mereka tunggu-tunggu selama tiga tahun. Mendapatkan seluruh harta warisan milik mendiang ayahnya Feri.