"Ke mana Devina pergi?"
Meski kemungkinan kecil, Riyan tetap mencoba mencari Devina di mana pun sampai ditemukan. Baru saja Riyan hendak masuk ke mobilnya, orang tuanya turun dari mobil, memanggil namanya.
"Kamu mau ke mana? Kok, buru-buru gitu?" tanya Vera, ibunya.
"Aku mau nyari pasien kami yang dibawa kabur, Ma. Aku pergi dulu."
"Naik mobil papa aja," sela Toni cepat.
Akhirnya, Riyan masuk ke mobil ayahnya dan melaju ke jalanan yang ramai.
"Kita mau cari dia ke mana?" tanya Toni yang deg-degan duduk di bangku depan. Riyan mengebut membawakan mobil tersebut. Pikirannya hanya tertuju pada rumah Mona.
Sesampai di tempat yang dituju, rumah Mona dalam keadaan terkunci gembok. Tidak tampak siapa-siapa. Riyan mendesah panjang di balik kemudi. Ke mana lagi dia harus mencari Devina?
"Sebenarnya, ini rumah siapa, Yan?" Vera ikut memperhatikan dari kaca jendela, sebuah rumah yang tak berpenghuni.
"Rumah Mona, Ma." Riyan kembali memakai seat belt dan menyalakan mesin mobil.
Vera dan Toni sontak menoleh, menatap putra tunggal mereka dengan mata yang terbeliak.
"Kenapa kamu bisa kepikiran datang ke sini? Nggak mungkin pasien kamu kabur ke rumah Mona," ungkap Toni.
"Pasien yang kabur ini namanya Devina. Dia sepupu sama Mona. Aku cuma nebak bahwa keluarga Mona yang bawa kabur Devina dari rumah sakit. Selama tiga tahun tinggal di sana, tidak ada satu pun kerabat yang mengunjungi Devina. Kemarin, pertama kalinya mereka ketemu lagi. Saat itu, aku jadi tahu …."
Riyan tak lagi melanjutkan kata-katanya. Terlalu sakit saat mengetahui fakta yang sebenarnya secara langsung. Dia sulit menerima cinta dari seorang perempuan. Bodohnya, dia begitu mudah jatuh ke dalam pesona Mona.
Vera dan Toni pun tidak menanyakan kelanjutannya karena sangat memahami perasaan Riyan saat ini. Hati siapa yang tidak terluka setelah ditimpa kebohongan berulang-ulang, lalu dihempas oleh kenyataan pahit.
"Sekarang, apa rencana kamu?" tanya Toni setelah terdiam cukup lama. "Kita nggak mungkin keliling Jakarta kayak gini."
Riyan mendesah pelan. "Aku mau ke kantor polisi dulu. Seenggaknya, aku masih ingat plat mobil itu."
***
Devina mengerjap-ngerjap sembari mengedarkan pandang. Dia berada di dalam mobil dengan kedua tangan yang terikat ke belakang, sementara ada dua pria asing duduk di bagian depan. Gadis itu tidak tahu siapa mereka dan akan membawanya ke mana.
Mobil itu melaju melewati jalan yang ditumbuhi pepohonan di sisi kiri dan kanan. Tidak tampak satu pun kendaraan, begitu juga rumah di sana. Di mana ini? Benarkah mereka masih berada di ibu kota?
Kejadian kelam tahun 1998 yang pernah gadis itu alami, seakan-akan terulang lagi. Sekujur tubuhnya mulai gemetar saat terbayang-bayang suasana mencekam yang membuatnya terus dihantui mimpi buruk. Ruangan pengap, sempit, dan penuh ketegangan. Apakah ajalnya berakhir di tangan kedua pria itu?
Sebisanya, Devina melepas ikatan pada tangannya. Namun, tidak bisa dibuka. Ikatannya terlalu kencang. Bagaimana caranya keluar dari mobil itu?
"Hei, mau ngapain?" sergah salah satu pria yang duduk di bagian depan saat memergoki Devina tengah berusaha membuka pintu dengan tangannya yang masih terikat.
Devina gelagapan dan kembali ke posisi semula. Kepalanya tertunduk, tak ingin menatap mata pria itu.
Pria yang menyetir sempat menoleh sekilas. "Kenapa dia? Mau kabur?" Tawanya langsung menggelegar di dalam mobil itu.
"Kamu nggak akan bisa ke mana-mana sebelum ketemu sama keluarga kamu," ucap pria satunya kepada Devina, lalu menatap ke depan lagi. "Untung aja, kita nggak ketahuan tadi."
"Iya, yang penting kita bisa dapat bayaran besar dari Ibu Dian."
Pria di sebelahnya berwajah serius. "Habis itu, kita harus pergi ke luar kota. Jangan sampai jejak kita tercium polisi!"
"Kamu benar. Kira-kira, kita bakal pergi ke mana, ya?"
Devina tercenung di belakang. Bertemu dengan keluarga? Ibu Dian? Matanya terbelalak saat menyadari sesuatu. Apa Tante Dian yang menyuruh mereka untuk menculik aku?