Berhubung masih hari pertama maka kegiatan belajar mengajar belum sepenuhnya berjalan. Kegiatan lebih banyak dilakukan sebagai ajang perkenalan dengan kelas, teman dan wali kelas baru. Jam istirahat lebih panjang dari biasanya, murid-murid bebas melakukan kegiatan seperti, main futsal di lapangan yang ada di bagian belakang sekolah atau bermain basket di lapangan di tengah sekolah.
Jo adalah salah satu dari anggota tim basket sekolah, pada kesempatan itu dia manfaatkan untuk sekadar bermain iseng bersama dengan siswa yang lain. Bule dan Black nggak ikut main, meski termasuk pemain basket unggulan. Kedua anak itu sedang asik melakukan pendekatan, tebar pesona di depan cewek-cewek anak baru di kelas X.
Mita belum punya teman di sekolah ini, dia pun nggak berencana untuk sok kenal dan sok dekat dengan siswa-siswi lain. Lebih banyak diam, setelah tadi jajan sendirian di kantin.
Kepindahannya ke sekolah SMA Putra Berkarya II karena di Bandung dia selalu dibuly, kerap diperlakukan kasar, justru begitu mudah dihina karena dia ramah, pintar dan berparas cantik. Kombinasi dari keadaan dirinya yang menjadi ancaman bagi siswi lain. Siswi-siswi yang merasa nggak cantik dan semakin merasa jelek karena nggak pintar dan nggak punya pacar, padahal kalau mereka diam saja dan nggak bertingkah keadaan nggak akan bertambah buruk untuk mereka.
Pada mulanya Mita diam saja dan nggak menanggapi teror yang dia terima baik secara online maupun offline, semua akun medsosnya diserang. Namun, dia yang berlatih bela diri dan suka dengan olah raga kickboxing merasa perlu memberi sedikit perlawanan. Mita berhasil menghajar beberapa siswi yang dengan sengaja mendorongnya dari tangga sekolah, melawan saat buku pe-ernya dibuang ke luar kelas.
Akibat dari kejadian itu para siswi ada yang babak belur dan para orang tuanya protes menuntut balik kepada orang tua Mita. Setelah orang tua Mita bertanggung jawab menanggung pengobatan 3 siswi yang sempat dirawat di rumah sakit itu, Mita dipindahkan. Bukan karena takut pembalasan, hanya saja semenjak dari kejadian itu teman-teman Mita malah menjauh, mereka terkejut dan berubah menjadi was-was melihat Mita yang biasanya ramah berubah seperti monster. Dia hanya bereaksi terhadap perlakuan yang dia terima, dan malahan dirinya yang dianggap mengerikan lalu dijauhi. Dunia nggak adil? Ya, seperti keadaan keluarganya. Seharusnya dengan keadaan ekonomi yang baik-baik saja hubungan keluarganya pun akan baik- baik saja. Meski Papanya sangat sayang kepada Mita, tapi Papa lebih sering tinggal di rumah kakeknya Mita, nggak serumah dengan dia dan Mamanya. Katanya mereka sedang nggak sepaham. Penghasilan Mama yang punya butik sendiri lebih besar dari gaji Papa yang menjadi karyawan di perusahaan asing, Mita tahu hal itu dari Papa. Ternyata uang selalu menjadi ancaman bagi keberadaan cinta, dalam keadaan banyak atau sedikitnya. Entah, Mita nggak paham jalan pikiran kedua orang tuanya. Seharusnya mereka bahagia dengan memiliki anak seperti Mita yang cantik dan pintar, Mita merasa layak untuk mengeluh karena kehadiran dirinya nggak berarti apa-apa bagi Mama dan Papa.
Mita nggak trauma, dia hanya ingin belajar di sekolah dengan damai dan nggak mau mengalami kejadian seperti yang lalu. Dia memulai itu di tempat barunya dengan cara nggak terlalu membuka diri dan beramah-ramah dengan siswa lain agar nggak mudah dianggap remeh. Pengalaman terdahulu menjadi anak yang ringan tangan membantu malah membuat kepalanya diinjak-injak. Mita memahami satu hal berdasarkan pengalaman, kebaikan bisa dianggap sebagai kelemahan.
Itu sebabnya dia cuek saja ketika bola basket itu mengelinding dan berhenti di kakinya, saat dia bersandar di tembok perpustakaan nggak jauh dari lapangan basket sambil menatap layar ponsel.
"Woi, lemparin bolanya!"
Mita mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah anak lelaki yang barusan berteriak kepadanya sambil menunjuk ke arah bola basket di ujung sepatunya Mita.
"Lu, nyuruh gue?" Mita menyipitkan matanya.
"Siapa lagi? Cepetan!"
"Siapa lu nyuruh-nyuruh gue?!"
"Cepetan!"
Mita menunduk, meraih bola basket, tapi nggak menyerahkan kepada anak itu. bolanya dia lempar ke samping kanan, ke arah lorong sekolah. Bola basket meluncur deras nyaris mengenai kepala botak Pak Bocil yang baru saja keluar dari ruang BK. Pak Bocil nggak menyadari ada bola yang melintas di atas kepalanya. Beberapa siswi sudah hampir menjerit karena mengira bola itu akan mengenai kepala Pak Bocil, mereka pun menahan napas. Pak Bocil selamat, bolanya terus meluncur dan malah menghantam wajah cewek yang baru saja keluar dari satu kelas, bluk.
"Aduh!" Cewek itu terjatuh, duduk bersimpuh di lantai sambil memegangi wajahnya yang terasa sakit dan panas.
Nanda dan Putri yang ada di dekatnya langsung berjongkok, membantunya untuk berdiri. Nanda memungut bola basket itu lalu berseru, "Siapa yang lempar bola ini ke mukanya Airin? Ngaku?!"
Beberapa siswa-siswi menoleh ke tempat di mana Mita tadi berdiri, begitu juga anak cowok yang tadi membentak Mita.
"Tuh, anak kemana? Cepet amat ngilangnya?" Cowok itu nggak melihat Mita yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
"Siapa?!" Nanda kembali menyerukan pertanyaan.
"Dia, tuh!" Tiba-tiba siswa-siswi menunjuk anak cowok yang masih celingukan mencari Mita.
"Lu ikut gue ke kantor BK! Gue laporin lu ke Pak Waluyo!"
"Kok, gue? Bukan gue!"
"Jangan ngeles!" Nanda mendorong tubuh anak cowok itu menuju ke kantor BK yang hanya berjarak kurang dari 10 meter dari tempat itu.
"Ya, udah! Nggak usah dorong-dorong! Gue nggak salah, nggak takut!"
Mereka tiba di depan kantor, mengetuk pintu.
"Masuk. Ada apa?" tanya Pak Waluyo sambil terus menatap layar komputer.
"Mau melaporkan, Pak. Anak ini barusan melempar bola basket kena mukanya Airin."