Kita masih duduk di bangku penonton meski film itu sudah selesai sejak hampir lima menit yang lalu. Aku memperhatikanmu yang sedang membetulkan kerudungmu. Tanganmu gemetar.
Kamu masih terisak dan terus berusaha mengusap air mata dengan sehelai sapu tangan. Sementara pikiranku tertinggal di adegan ketika Rangga melepaskan tangan Cinta yang terus menangis. Ciuman pertama tak bisa membuat cinta mereka bertahan, ternyata ... Rangga tetap harus pergi dan Cinta hanya bisa menangis sambil menggigit bibir bagian bawahnya, menyaksikan langkah terakhir Rangga dari pintu kaca. Ah, perpisahan selalu merupakan ujian cinta yang sesungguhnya, bukan?
“Aku akan membuat cerita seperti itu,” gumamku, kemudian menoleh ke arahmu.
Waktu itu, aku merasa berbicara sebagai Rangga. Dan kamu, seperti Cinta, masih menangis sambil menutup mulut dengan tangan kananmu.
“Udah dong, nangisnya!” Aku mencandaimu.
Kamu mencubit lengan kananku. “Sedih, tahu!” katamu.
Aku meringis. Kamu menghela napas, kemudian tersenyum.
Senyummu tampak manis di remang-remang ruang bioskop. Cahaya dari layar yang menampilkan barisan nama pada credit title film Ada Apa dengan Cinta? menerpa kerudung dan wajahmu.