Jodoh Aini

Isna Nur Isnaini
Chapter #1

Lamaran Pandu

Nduk[1], misal bapakmu masih ada, pasti senang yo kamu sudah tumbuh dewasa. Tapi bagaimana lagi, Gusti Allah lebih sayang bapakku, bapakmu harus duluan menghadap Gusti Allah,” ucap ibu Aini sambil menata sayuran yang akan dibawanya ke pasar besok subuh.

“Sudah, Bu! Jangan diingat lagi kalau membuat Ibu sedih. Semua sudah takdir bapak dan kita. Kita tinggal mendoakan bapak, Bu. Semoga ditempatkan di tempat terbaik oleh Gusti Allah.” Jawab Aini sambil membantu ibunya mengikat bayam, kangkung, kacang panjang dan sayuran lain yang tadi sore dipetik dari kebun mereka.

Bu Surti, ibu Aini, adalah seorang petani yang mempunyai sepetak lahan peninggalan almarhum suaminya, ayah Aini. Hasil panen kebun tersebut tidak menentu, bahkan seringkali tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan. Untuk menyambung hidup, ibu Aini juga bekerja sebagai buruh serabutan.

Sementara anak tunggalnya, Aini, hanya bisa menamatkan bangku Madrasah Tsanawiyah karena tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah. Aini merupakan gadis yang menurut dan patuh pada ibunya. Sejak masih duduk di bangku sekolah, setelah pulang Aini juga bekerja membantu tetangga yang mempunyai warung makan. Hasil kerjanya selalu dikumpulkan, untuk berjaga-jaga jika ada kebutuhan yang memerlukan biaya banyak.

Aini mempunyai paras yang cantik, turunan dari ibunya. Badannya yang tinggi mengikuti postur bapaknya. Tidak heran jika banyak pemuda yang menaruh hati padanya, termasuk Pandu, anak semata wayang juragan Harjo, pemilik gilingan gabah yang terkenal kekayaannya. Namun Aini belum menjatuhkan pilihan. Gadis itu masih belum berpikir untuk menikah karena tidak mau meninggalkan ibunya sendiri. Apalagi usainya juga masih sangat muda, 18 tahun.

**

Nduk, ini bener mas Pandu mau nglamar kamu?” tanya lik[2] Janti, adik bu Surti.

Nggih[3], Lik. Kata ibu seperti itu, keluarga mas Pandu mau datang nglamar.” Jawab Aini.

“Walah, Nduk, kamu beruntung sekali. Amalan apa yang selalu kamu dan ibumu lakukan setiap habis salat, sampai orang terkaya di desa ini mau datang melamar kamu? Jika kamu benar-benar menikah dengan mas Pandu, pasti hidupmu akan makmur, Nduk. Semua kebutuhanmu bakal tercukupi. Kamu tidak perlu lagi kerja di warung makan. Ibumu juga tidak perlu lagi capek-capek ke kebun dan buruh di kebun orang.” lanjut Lik Janti.

“Belum tahu, Lik. Aku masih bingung dan ragu, apa aku pantas to Lik, untuk mas Pandu. Mas Pandu itu orang terpelajar, sarjana, terpandang, orang tuanya kaya raya, beda dengan aku, Lik” jawab Aini.

Nduk, jodoh itu rahasia Gusti Allah. Barangkali kamu memang ditakdirkan untuk menjadi menantu juragan Harjo. Wah beruntung tenan[4], Nduk. Siapa yang tidak mau menjadi istri mas Pandu. Mas Pandu bukan hanya anak orang kaya, tapi sepertinya juga baik hati dan penyayang.” Lanjut lik Janti

“Aku belum terlalu kenal mas Pandu, Lik. Selama ini aku hanya tahu mas Pandu sekedarnya saja, sangat jarang bicara dengannya. Lha aku merasa tidak pantas untuk kenal dan dekat dengan mas Pandu. Kami kan beda, Lik.” Jelas Aini.

“Lha kalau mas Pandu yang suka sama kamu, bagaimana? Itu artinya mas Pandu tidak memandang siapa kamu, tapi memang benar-benar suka dan ingin memperistri kamu, buktinya Juragan Harjo mau datang untuk melamar.” Jawab lik Janti kemudian.

“Aku masih belum berani ambil keputusan, Lik.” Jelas Aini.

Yo wis[5]. Jangan lupa salat istihoroh, biar mendapat petunjuk dari Gusti Allah. Kalau kamu benar-benar berjodoh dengan mas Pandu, aku ikut senang. Kamu bakal mengangkat derajat keluargamu.”

**

Hari yang ditentukan pun tiba. Juragan Harjo, Pandu dan rombongan datang ke rumah bu Surti untuk melamar Aini. Lik Kasno, suami lik Janti, yang mewakili pihak keluarga Aini untuk menerima keluarga Juragan Harjo.

Lik Janti, adik satu-satunya almarhum bapak Aini, tidak kalah bahagia. Sejak mendengar bahwa Aini akan dilamar, dia sudah menyiapkan semua keperluan. Lik Janti segera menghubungi kenalannya yang pandai merias untuk mendadani Aini di hari lamaran nanti. Tidak lupa lik Janti juga meminjamkan gamis terbagus miliknya untuk dikenakan Aini saat lamaran.

Selama ini Aini memang tidak pernah mempunyai baju yang bagus, apalagi mahal. Kesehariannya selalu mengenakan pakaian seadanya yang hampir semua warnanya memudar karena sudah lama dikenakan. Bagi perempuan cantik itu, yang penting semua aurat tertutup. Uang yang diterimanya dari bekerja di warung orang juga sayang jika digunakan untuk membeli pakaian, dia memilih untuk menyimpannya.

Pagi itu, teman lik Janti sudah mulai merias wajah Aini. “Lik, ini bedaknya apa nggak ketebalan to, Lik?” Tanya Aini pada buliknya.

“Nggak, kamu nurut saja. Hari ini kamu harus tampil berbeda untuk menyambut mas Pandu dan rombongan.” Jawab lik Janti.  

“Aku nggak suka, Lik. Tipis saja bedaknya. Lipstiknya juga jangan yang terlalu merah ya, Lik.” Pinta Aini pada bulik yang menemaninya saat dirias.

Wis to Nduk, manut wae[6]. Bulik hanya ingin kamu semakin cantik. Ini juga riasannya alami kok, Nduk. Nggak neko-neko[7].” Lanjut bulik Janti.

Lihat selengkapnya