Pernikahan Aini dan Pandu sudah berlangsung beberapa bulan, namun kabar kehebohan acara tersebut masih saja menjadi bahan perbincangan. Sementara justru tidak ada yang pernah tahu bagaimana mereka menjalani biduk rumah tangga, apakah Aini bahagia dan diperlakukan bak permaisuri oleh Pandu, suaminya, atau sebaliknya. Aini pun jarang terlihat ke luar rumah. Sebenarnya hal ini juga menjadi tanda tanya di kalangan tetangga yang tinggal tidak jauh dari rumah mereka.
Di dalam rumahnya, Aini berusaha menyibukkan diri dengan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Sesekali dia diajak Pandu ke luar rumah, itu pun hanya untuk berbelanja keperluan rumah dan langsung kembali. Aini seperti kehilangan kehidupan sebelumnya ketika masih sendiri. Dia selalu berada di belakang bayangan Pandu. Bayangan pernikahan yang bahagia seperti yang banyak diperkirakan orang-orang ketika mereka akan menikah, ternyata sampai saat ini belum dirasakan oleh Aini tanpa sepengetahuan siapa pun.
Pandu sangat dingin padanya, hanya bicara seperlunya saja. Begitu juga dengan keluarga mertuanya, baik ibu mertua maupun ayah mertuanya sangat jarang datang untuk menengok atau meneleponnya. Ibunya sendiri juga hampir tidak pernah datang karena memang Pandu melarangnya. Pandu tidak ingin ada orang lain yang masuk dalam kehidupan rumah tangganya. Menurut Pandu, semua hal yang berkaitan dengan dirinya dan Aini bukan urusan orang lain, meski itu orang tua maupun mertuanya.
Selama beberapa bulan bekerja, sudah tidak terhitung berapa kali Pandu pergi ke luar kota dan meninggalkan Aini sendirian. Ketika bertanya, Aini selalu mendapat jawaban bahwa suaminya itu sibuk dengan pekerjaannya. Entah, Aini merasa sampai saat itu masih sangat asing dengan suaminya sendiri.
Perempuan itu tidak diberi celah untuk mengetahui kehidupan Pandu, termasuk kesibukannya di luar kota. “Selama kebutuhan rumah tangga sudah terpenuhi jangan banyak tanya,” begitu jawab Pandu ketika Aini bertanya pada suaminya itu.
Aini memilih diam. Bertanya hanya akan membuat raut muka Pandu berubah dan Aini takut suaminya akan marah. Benar-benar kehidupan yang sangat jauh berbeda dari bayangan sebelum menikah. Juragan Harjo yang ramah dan Pandu yang rajin menebar senyum, ternyata itu hanya ada di luar sana. Sementara pada Aini, semua itu tidak pernah ditunjukkan.
Pagi itu Aini muntah-muntah, perutnya terasa mual dan kepalanya sedikit pusing. Diusapnya peluh yang mengalir di keningnya. Seluruh persendiannya terasa lemah. Aini tidak tahu apa yang terjadi padanya. Baru setelah meminum teh hangat dan duduk menyelonjorkan kaki beberapa saat, badannya terasa sedikit lebih enak.
Merasakan kurang enak badan, Aini tiba-tiba ingat ibunya. Biasanya saat seperti ini bu Surti akan memijat tengkuknya dan membalur tubuhnyas dengan minyak kayu putih agar lebih segar. Tapi bu Surti tidak di sampingnya. Meski tinggal di desa yang tidak jauh dari rumahnya, Aini tidak berani pulang. Perempuan itu takut suaminya marah. Aini hanya berdoa agar badannya segera kembali sehat.
Sambil selonjoran Aini berpikir apa penyebab dirinya muntah-muntah dan merasa pusing. “Sepertinya tidak salah makan,” ucapnya lirih mengingat-ingat apa saja yang masuk ke perutnya. “Tapi kenapa pusing sekali, bahkan sampai muntah-muntah ya?” lanjutnya. Diingat-ingatnya kembali apa yang terjadi. “Atau jangan-jangan aku hamil ya? Sepertinya bulan ini aku belum datang bulan.” Aini coba menerka.
Dibayangkannya jika benar saat ini tengah tumbuh janin di rahimnya, apakah ini bisa membuat sikap Pandu berubah, menjadi lebih perhatian kepadanya. Atau lelaki itu akan tetap dengan sikapnya. Memikirkan Pandu kepala Aini terasa semakin pusing. Dia bingung dengan sikap suami yang baru beberapa bulan ini menikahinya. Entah kenapa, dari pertama menikah sampai sekarang lelaki itu bersikap dingin padanya? Mungkinkah Pandu menyesal sudah mempersuntingnya.
“Kenapa?” Tanya Pandu begitu tiba dan melihat Aini yang wajahnya pucat.
“Dari pagi kepalaku sedikit pusing, Mas. Tadi pagi aku juga muntah-muntah.” Jawab Aini.
“Hanya karena masuk angin saja mungkin,” ucap Pandu dengan raut muka acuh.
“Iya, mungkin karena masuk angin. Mudah-mudahan sebentar lagi sembuh.” Aini sedikit kecewa dengan jawaban Pandu meski sudah menebaknya.
Malam itu pikiran Aini kemana-mana sampai tidak bisa cepat tidur. Perempuan itu masih memikirkan tubuhnya yang terasa tidak enak sejak pagi. Aini juga memikirkan kenapa dia tidak datang bulan. Sebagai perempuan bersuami seharusnya Aini tidak mengkhawatirkan hal itu. Kalau pun hamil, toh ada bapaknya. Anaknya pun akan menjadi cucu pertama keluarga Harjo, tentu akan menjadi cucu kesayangan, batinnya menghibur diri.
“Mas, tolong antar aku ke dokter ya, Mas. Badanku masih terasa tidak enak ini,” pinta Aini pada Pandu pagi harinya.
Dengan sedikit malas, Pandu akhirnya mengeluarkan mobil dan mengantar istrinya itu periksa ke dokter.
“Wah, selamat Mba dan Mas, sebentar lagi kalian akan menjadi orang tua. Di rahim Mba Aini sudah isi janin yang berkembang dengan sehat. Jangan terlalu kecapekan ya Mba Aini, banyak istirahat. Mas Pandu juga harus lebih perhatian pada mba Aini agar kondisi kandungannya tetap baik.” Pesan dokter yang memeriksa kandungan Aini.
Aini terlihat sangat senang karena sebentar lagi akan menjadi seorang ibu. Diliriknya muka Pandu. Lelaki itu juga menyiratkan raut bahagia di wajahnya. Sayangnya, Pandu yang sebelum menjadi suaminya itu dulu dikenal sangat ramah, ini terlihat tidak peduli padanya meski tidak dipungkiri, ada gurat kebahagiaan mendengar penjelasan dokter tadi.
“Kita mampir ke pasar dulu, beli buah-buahan. Kamu harus banyak makanan yang menyehatkan.” Ucap Pandu.
Aini sangat senang, dia merasa Pandu sangat gembira dengan kabar kehamilannya. “Semoga ini bisa membuat Mas Pandu berubah dan lebih perhatian padaku,” batin Aini.
Kabar hamilnya Aini sudah sampai ke juragan Harjo. Ayah dan ibu mertua Aini itu pun datang menengok ke rumahnya. Selama menjadi menantu keluarga Harjo, ini adalah kunjungan pertama mertuanya itu.
Sikap ayah dan ibu Pandu itu juga semakin membuat Aini bahagia. Dia berharap semua akan menjadi lebih baik dan Aini benar-benar bisa diterima sebagai menantu di keluarga terpandang itu.
Genap sembilan bulan sudah Aini mengandung. Pagi itu dia merasakan perutnya sangat mulas. “Duh, Mas! Perutku sakit sekali, sepertinya aku akan segera melahirkan, Mas.” Rintih Aini pada Pandu.
Lelaki itu kemudian mengajak istrinya ke bidan yang tinggal tidak jauh dari rumahnya.
“Benar, Mas. Mba Aini sudah mau melahirkan. Ini sudah pembukaan tiga.” Ucap bidan yang sudah selesai memeriksa Aini. Tubuh Aini penuh peluh karena menahan rasa sakit yang luar biasa. Rintihan dan doa selalu terucap dari bibirnya agar rasa sakit itu bisa sedikit berkurang.
“Sabar ya Mba.” Ucap bidan menenangkan Aini. “Mas Pandu! Bayi mba Aini sungsang, sepertinya agak sulit untuk melahirkan secara normal. Mba Aini harus dirujuk ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan lebih lanjut.” Ucap bidan itu lagi.
Pandu mengerti apa yang terjadi. Lelaki itu segera menyiapkan mobilnya. Bidan dan seorang suster yang saat itu bertugas membantu Aini menuju ke dalam mobil yang akan membawanya ke rumah sakit.