Aini sudah selesai mengemas barang-barang yang akan dibawanya ke dalam tas. Tidak banyak yang dibawanya, hanya pakaian dan perlengkapan bayinya saja. Aini memutuskan hari ini akan pulang ke rumah ibunya. Di rumah dengan suasana hati yang kacau tidak baik untuknya dan bisa berakibat pada anaknya. Apalagi dia juga tidak tahu, sampai kapan Pandu pergi. Sementara kebutuhan harian dia dan anaknya pun semakin menipis.
Dengan tekad bulat Aini mengambil keputusan, semua demi kebaikannya dan kebaikan bayinya itu. “Yuk, Nak! Kita ke rumah mbah ya. Di sana kamu bakal banyak teman, tidak hanya dengan ibu saja. Pasti bakal banyak yang sayang sama kamu.” Ucap Aini lembut pada anaknya yang baru berumur dua minggu itu.
Melihat angkot berhenti di depan rumahnya, bu Surti bingung. Siapa kira-kira tamu yang datang. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Melihat sosok yang turun dari angkot, sontak bu Surti kaget.
“Masyaallah, Nduk? Ini kamu, Aini? Kamu ke sini, Nduk. Mana mas Pandu, Nduk?” Aini hanya menggeleng.
Bu Surti langsung mengambil tas yang ditenteng Aini dan menuntun anaknya itu masuk sambil memperhatikan bayi yang digendongnya.
“Wis, masuk dulu, nanti cerita di dalam yo. Ayo, Nduk!” Ajak bu Surti. Duduk sini dulu. Ya Allah ini cucu ibu, cucu ibu ganteng banget ya Allah!” Ucap ibu Aini sambil mengambil cucunya dari gendongan Aini. Bayi yang masih dibedong itu nampak pulas.”
“Anakmu biar tidur di kamar dulu, yo. Kamu istirahat, nanti baru cerita.” Bu Surti membawa cucunya ke kamar, kemudian menidurkan bayi laki-laki itu, dan bergegas ke dapur.
“Ini, ibu buatkan teh anget[1], diminum biar tubuhnya terasa segar. Sepertinya kamu lelah sekali, Nduk.”
Mendapat perlakukan seperti itu dari ibunya, membuat air mata Aini deras mengalir.
“Lho, kok malah nangis ki kenapa? Ibu jadi bingung.” Tanya bu Surti penasaran.
Tangis Aini semakin kencang. Aini ingat, dulu sebelum menikah setiap hari dia mendapat perlakuan lembut dari ibunya. namun dia kehilangan semuanya setelah menikah dan tinggal bersama Pandu.
“Wis to, jangan nangis.” Ucap bu Surti lembut.
“Bu, maafkan Aini, Bu. Mungkin Aini banyak salah sama Ibu sampai Aini mengalami hal seperti ini.” Ucap Aini disela isak tangisnya.
“Ada apa to, Nduk? Apa karena ibu belum melihat anakmu? Kalau itu, Ibu minta maaf. Sebenarnya mendengar kamu melahirkan, ibu sudah sangat ingin ke sana, tetapi kata mas Pandu, tidak usah. Bayimu masih sangat kecil, jadi tidak boleh ketemu banyak orang, meski itu ibu, mbah[2] nya.” Jelas bu Surti.
“Sebab kata mas Pandu bayimu perlu perawatan, mudah terkena penyakit dari luar, jadi ibu belum boleh menjenguk, harus menunggu satu bulan. Ini baru dua minggu, ternyata kamu sudah ke sini. Tapi kamu kok datang tidak dengan mas Pandu to, mas Pandu mana?” Lanjut bu Surti.
Tangis Aini semakin menjadi. Dia tidak sanggup menceritakan semua yang terjadi, tidak mau membebani ibunya yang semakin renta. Ibunya hanya tahu Aini bahagia setelah menikah dengan Pandu. Meski hanya berbeda desa, Pandu memang melarang bu Surti datang ke rumah Aini. Kata Pandu biar Aini belajar lebih dewasa, terpisah dari ibunya yang sejak kecil selalu bersama.
“Yo wis, nggak apa-apa menangis dulu, biar hatimu terasa lebih lega dan pikiranmu lebih tenang. Nanti baru kamu cerita sama ibu ya.
Lik Janti dan lik Kasno datang. Pasanga suami istri itu baru saja pulang dari sawah. ”Lho ada Aini, kok nggak ada mobil mas Pandu, mana mas Pandu?” tanya lik Janti, namun suaranya langsung tertahan melihat Aini yang nangis sesenggukan.