Tujuh tahun sudah berlalu, anak Aini yang diberi nama Dimas tumbuh dengan sehat. Bocah kecil itu sangat riang dan lincah. Setiap hari ada saja tingkahnya yang membuat Aini terhibur.
“Dimas, ibu mau berangkat kerja, Dimas di rumah sama mbah, jangan nakal ya dan jangan main jauh-jauh ya Nak!” Pamit Aini pada anaknya.
Sejak anaknya berumur beberapa bulan, Aini bekerja kembali untuk mencukupi kebutuhan hidup. Warung tempat Aini dulu bekerja sebelum menikah menawarinya untuk kembali kerja.
“Iya, Buk. Nanti pulangnya bawa makanan ya, Buk.” Pinta Dimas pada ibunya.
“Insyaallah ya, Nak.” Jawab Aini.
Pemilik warung itu tidak hanya baik karena menerima Aini bekerja kembali, tetapi juga sering memberinya makanan untuk dibawa pulang untuk Dimas.
Sore harinya saat sampai di rumah, Aini mendapati anaknya itu menangis di ruang tamu sambil bermain sendirian.
“Lho Dimas kok nangis? Kenapa, Nak? Kamu sakit?” Tanya Aini saat pulang kerja melihat anaknya menangis. Makanan yang dibawanya dari warung tidak segera diambil bocah tujuh tahun itu. Biasanya Dimas akan dengan senang menerima makanan yang dibawa ibunya.
Dimas hanya menggeleng sambil menghapus air matanya.
“Kenapa anak ibu? Sudah besar kok menangis?” Kembali Aini bertanya.
“Teman-teman, Bu.” Jawab bocah itu. Air matanya masih menetes.
“Kenapa dengan teman Dimas?” Sebenarnya Aini sudah bisa menduga apa yang terjadi. Tidak sekali ini Aini mendapati anaknya menangis setelah bermain dengan teman-temannya.
“Dimas diejek, Bu. Katanya Dimas cacat, pantas saja bapaknya nggak mau punya anak seperti Dimas, begitu, Bu.”
Aini menarik napas panjang. Ini yang sangat dikhawatirkan ketika Dimas bermain dengan teman-temannya. Namun tidak mungkin melarang anak itu agar tidak keluar rumah. Dimas juga perlu bergaul dan bermain dengan anak sebayanya. Sayangnya tidak semua anak bisa menerima kondisinya.
Jangankan anak-anak, tidak sedikit orang tua yang berbisik-bisik saat Aini mengajak anaknya jalan-jalan. Meski dengan suara lirih, Aini masih sering bisa mendengar apa yang diomongkan itu. Kondisi fisik Dimas dan keluarga Pandu yang sampai sekarang tidak mau menerima, bahkan tidak pernah peduli dengan bocah itu yang menjadi penyebabnya.
“Sudah, Nak! Jangan sedih. Ndak apa-apa, tidak semua teman Dimas seperti itu, kan? Main sama yang lain saja, teman Dimas kan banyak. Atau di rumah saja main sama mbah.”
“Kenapa tangan dan kaki Dimas seperti ini, Bu?” Tanya bocah itu yang membuat hati Aini sedih “Terus, kenapa juga Dimas tidak punya bapak?” Lanjut Dimas.
Aini menarik napas panjang. Pertanyaan anaknya itu membuat hatinya teriris. Aini sangat paham apa yang dirasakan anaknya. Jangankan bocah sekecil itu, Aini sendiri sering mendapat sindiran karena pernikahannya dan kelahiran anaknya yang tidak normal.
Sampai seusia itu Dimas belum tahu bahwa ayahnya adalah Pandu dan juragan Harjo yang terkenal kaya raya adalah kakeknya. Juragan Harjo juga tidak pernah menjenguk atau menanyakana kondisi Dimas mesti tempat tinggalnya masih dalam satu desa yang sama. Bagi Aini, Dimas tidak mempunyai kakek dan nenek selain bu Surti, lik Janti dan lik Kasno.
Sebenarnya tidak sekali dua kali ada orang yang mengatakan siapa bapaknya kepada Dimas. Namun bocah itu tidak pernah mempercayainya dan tidak pernah bertanya apakah yang dia dengar itu benar.
“Sok alim sih, tapi ternyata banyak dosa besar. Anaknya seperti itu kan jadinya. Apa itu bukan karena kutukan akibat dosa besar ibunya.” Bisik pengunjung yang siang tadi membeli makanan di warung tempat Aini bekerja.
“Iya, kasihan mas Pandu, ganteng, pinter, salah pilih istri, dapat yang seperti itu. Kelihatannya saja baik, ternyata sampai melahirkan anak tidak normal. Untung saja mas Pandu segera sadar dan meninggalkannya. Kalau tidak, bisa ikut menderita.” Ucap ibu lain.
Aini sempat mendengar ucapan itu. Hatinya sangat sakit seperti teriris. Bukan karena ada orang yang menghinanya, tetapi menghina anaknya. Sebenarnya Aini tidak terima, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa selain menangis dalam hati.
“Kenapa Dimas diam saja Aini, tidak seperti biasanya?” Tanya bu Surti pada Aini selepas salat Maghrib.
Aini kemudian menceritakan apa yang terjadi sore tadi. “Hem…memang susah jadi Dimas. Anak-anak itu seringkali tidak paham keadaannya.” Lirih bu Surti bicara.
“Jangankan anak-anak, Bu. Orang dewasa saja banyak yang tidak paham dengan perasaan kami.” Jawab Aini.
“Ibu juga ngerti itu, tapi bagaimana lagi. Kita kan tidak mungkin melarang mereka untuk bicara. Yang dapat kita lakukan hanya bersabar dan berdoa semoga mereka menyadari kesalahannya, Nduk.”
“Iya, Bu.”
“Apa kamu tidak ingin menyampaikan yang sebenarnya kepada Dimas mengenai siapa bapak dan kakek neneknya?” Tanya bu Surti.
“Untuk apa, Bu? Perlakukan mereka waktu Dimas lahir sudah cukup menunjukkan bahwa mereka tidak mau menerima Dimas. Tidak usah diberi tahu atau diajak ke sana, kalau juragan Harjo dan istrinya peduli sama Dimas, pasti datang ke sini atau setidaknya menanyakan kondisinya. Sudah banyak juga orang yang bilang ke Dimas siapa kakek neneknya. Tapi sudahlah, semoga aku sanggup membesarkan dan mendidik mereka tanpa bantuan keluarga itu.”
“Aini, apa kamu tidak ingin menikah lagi? Sudah tujuh tahun kamu menjanda. Sebenarnya ibu juga malu ditanya terus sama tetangga. Apa kamu terlalu memilih sampai tidak juga mendapat jodoh lagi.” Tanya bu Surti pelan, takut menyinggung hati anaknya itu.
Melihat raut muka Aini, bu Surti buru-buru berucap, “maaf Aini, ibu tidak bermaksud apa-apa. Maaf, lupakan pertanyaan ibu tadi.”
“Bu…Aini sedikit kaget dengan pertanyaan ibunya meski sebenarnya sudah menduga pertanyaan seperti itu akan disampaikan padanya. “Apa ada yang mau menerima Aini dan Dimas dengan keadaan seperti itu? Orang lain yang tidak ada sangkutannya dengan dia saja sering menghina, apalagi laki-laki yang nanti akan hidup bersama kami?”
“Tidak semua laki-laki berhati buruk, Nduk. Semoga masih ada laki-laki yang berhati malaikat, mau menerima kamu dan Dimas dan menganggapnya seperti anak sendiri.” Lanjut bu Surti.
Meski belum pernah berpikir untuk menikah lagi, pertanyaan bu Surti tetap saja mengganggu pikirannya. “Andai ada lelaki baik, pasti Dimas tidak akan merasa seperti ini, pasti tidak ada anak yang berani menghina Dimas. Tapi bagaimana jika sebaliknya, lelaki itu hanya mau padanya dan tidak bisa menerima kehadiran Dimas?” bermacam pertanyaan berkecamuk di hati Aini.
“Assalamualaikum,” suara lik Janti dari luar. Dimas langsung lari membuka pintu. Rupanya lik Janti datang tidak sendiri, tetapi bersama lik Kasno.
“Mbah Janti sama Mbah Kasno!” seru Dimas sambil membuka pintu.
“Iya, kamu lagi apa?” Tanya lik Kasno sambil mengelus rambut Dimas yang mengulurkan tangan untuk salaman.
“Habis makan, Mbah.” Jawab Dimas.
Lik Janti yang di belakang lik Kasno mengulurkan plastik ke Dimas.”Ini, Le[1]. Mbah bawa jajanan. Dimakan yo, tapi jangan berantakan. Bungkusnya dibuang di tempat sampah.” Ucap lik Janti.
“Ya, Mbah. Makasih ya Mbah.” Jawab Dimas sambil menerima plastik berisi jajanan dari lik Janti.
“Tumben ini, sini duduk!” Ucap bu Surti kepada lik Janti dan lik Kasno.
“Yo, Mba. Mau ketemu mba Surti dan Aini.” Ucap lik Kasno.
“Ada apa? Kok sepertinya ada yang serius.” Tanya bu Surti.
“Aku yang malah bertanya-tanya, kenapa, kok sepertinya muka Aini dan mbak Surti tidak seperti biasanya.” Tanya lik Janti.
“O, ini lho. Tadi Dimas nangis, katanya diejek teman-temannya karena tangan dan kakinya cacat. Terus ada juga yang mengeledek sebab Dimas tidak punya bapak.”
“Oalah, memang nakal anak-anak itu.” Lik Janti menanggapi ucapan bu Surti.
“Sebenarnya tidak nakal, kenyataannnya kan memang seperti itu, tapi mau bagaimana lagi.” Lanjut bu Surti.