Jodoh Aini

Isna Nur Isnaini
Chapter #6

Merantau

“Aini, Darman tanya bagaimana keputusanmu,” ucap lik Kasno pagi harinya saat datang ke rumah bu Surti. Rencananya Darman di Wonogiri hanya seminggu dan akan segera balik ke Jakarta mengurus kerjaannya.” Lanjut lik Kasno.

Nggih, Lik. Kasih aku waktu sampai hari Jumat ya Lik. Insyaallah aku akan sampaikan keputusanku, aku masih perlu waktu untuk berpikir, Lik.” Jawab Aini.

“Ya, apa pun keputusanmu nanti, tolong beri tahu kami ya Nduk. Lanjut atau tidak lanjut keputusanmu, semua terserah kamu. Tapi tolong beri tahu biar paklik mu sampaikan ke Darman.” Tambah lik Janti.

Nggih Lik, Insyaallah nanti mendapat keputusan terbaik,” lanjut Aini.

**

Acara pernikahan antara Aini dan Darman diadakan sangat sederhana. Baik pihak Darman maupun Aini sepakat untuk menggelar pernikahan syiri, hanya memanggil ustadz yang akan menikahkan dan dihadiri beberapa orang keluarga saja.

Sehari setelah selesai akad, Darman mengajak Aini dan Dimas ke Wonogiri, rumah orang tuanya, untuk dikenalkan ke keluarga. Pada hari berikutnya, Darman langsung memboyong Aini dan Dimas yang kini menjadi anak sambungnya itu ke Bekasi.

“Sampai mana, Mas?” tanya Aini setelah bus yang mereka naiki berjalan sekitar 3 jam.

“Batang,” jawab Darman.

“Masih lama yo?” tanya Aini lagi,

“Sekitar 5 sampai 6 jam lagi, kita akan sampai” kembali Darman menjawab pertanyaan perempuan yang sekarang menjadi istrinya itu.

Dari kecil Aini tidak pernah pergi jauh dari rumah. Perjalanan ke Bekasi ini menjadi perjalanan terlama yang ditempuhnya. Mulai memasuki wilayah Semarang, perempuan itu sudah merasa mual dan pusing karena mabuk perjalanan.

Darman mengulurkan minyak angin ke Aini, “coba perut dan keningnya dibalur dengan minyak ini, biar pusingnya sedikit berkurang.” Ucapnya pada Aini yang duduk di bangku ujung.

Sementara Dimas yang duduk di bangku tengah nampak tidur sangat pulas. Kepalanya di letakkan di paha bapak sambungnya itu.

Sejak beberapa hari lalu Darman menjadi bapak sambungnya, Dimas terlihat sangat senang. Beberapa kali dia keluar rumah, bermain dan bercerita kepada temannnya jika dia sekarang juga mempunyai bapak. Darman pun langsung akrab dengan bocah berusia tujuh tahun itu.

Menjelang Subuh bus yang mereka tumpangi sampai di pol yang ada di daerah Cibitung, Bekasi. “Bu, kita sudah sampai.” Darman membangunkan Aini yang tertidur karena kecapean.

“Masih pusing?” Tanya Darman ke istrinya itu.

“Sedikit, Pak.” Meski masih sedikit canggung, Aini mencoba membiasakan diri untuk memanggil lelaki di sampingnya itu dengan sebutan bapak.

Sepanjang jalan dari Wonogiri sampai Bekasi, sebenarnya Aini tidak benar-benar tertidur. Walau matanya terpejam untuk menghilangkan rasa pusing di kepalanya, namun pikirannya melayang.

Perempuan itu seperti belum benar-benar yakin bahwa dirinya kini sudah menikah lagi dengan proses yang sangat singkat. Bertemu pertama kenalan, pertemuan kedua lamaran dan hari berikutnya langsung melaksanakan ijab kabul. Yang lebih membahagiakan, Dimas, anaknya, juga seperti menemukan bapaknya sendiri.

Di lubuk hati Aini, memang memuji lelaki yang kini menjadi suaminya itu. Dimas yang baru beberapa kali bertemu dengan Darman langsung lengket. Begitu juga dengan Darman, pria itu juga langsung bisa memahami anak Aini yang memang sejak lahir tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang bapak.

Selama perjalanan dari Wonogiri, beberapa orang yang bertemu dengan mereka, saat di pol menunggu bus berangkat, ketika turun ke toilet di POM bensin dan saat istirahat untuk makan, mengatakan bahwa anaknya mirip dengan bapaknya.

Mereka tidak tahu bahwa lelaki itu sebenarnya baru kenal dengan Dimas dalam hitungan hari. Entah, mungkin ini memang takdir yang sudah digariskan. Setelah Dimas sering menangis karena diejek temannya dan ingin sekali mempunyai bapak, Allah mengirimkan lelaki yang langsung cocok dengan bocah itu.

“Habis ini kita kemana, Pak?” Tanya Aini ke suaminya itu.

“Kita naik angkot ke rumah. Yuk jalan ke depan menunggu angkot datang.” Ajak Darman sambil menggendong Dimas yang terlihat masih sangat ngantuk. Sementara Aini, segera mengemasi beberapa barang mereka yang baru dikeluarkan dari bagasi bus. Aini kemudian mengangkat barang-barang itu.

“Sini, tas yang besar biar bapak yang bawa, berat itu. Ibu bawa tas yang kecil saja.” Pinta Darman.

“Bapak kan gendong Dimas,” ucap Aini.

Nggak papa sambil bawa tas yang besar.” jawab Darman.

Aini kemudian menyerahkan tas berukuran cukup besar kepada Darman kemudian berjalan mengikuti lelaki itu dari belakang.

“Pasar Cibitung, Bang!” Teriak Darman pada sopir angkot yang berhenti tepat di depan mereka.

Sopir itu pun menepikan angkotnya. Aini langsung masuk dan duduk di kursi belakang yang masih kosong. Di belakangnya, Darman mengikuti masuk masih dengan sambil menggendong Dimas, kemudian duduk di samping Aini.

Lima belas menit kemudian, angkot itu pun sampai di pasar Cibitung. Darman memberi kode pada supir angkot agar minggir dan berhenti. Darman terlebih dulu turun dari angkot, diikuti oleh Aini. Setelah membayar ongkos angkot, lelaki itu mengajak Aini untuk menyebrang jalan.

“Terus kemana ini, Pak?” Tanya Aini masih asing dengan daerah yang memang baru pertama didatanginya itu.

“Kita ke rumah, di sana, di belakang pasar. Nggak jauh kok, jalan kaki paling 10 menit. Ibu capek?” tanya Darman ke istrinya itu.

Nggak kok, Pak. Ibu cuma bingung saja.” jawab Aini.

“Iya, kan memang ibu baru pertama ke sini, nanti juga terbiasa dengan daerah sini.” Jelas Darman.

Setelah menyusuri jalan kecil yang cukup ramai dengan kendaraan bermotor itu, mereka berbelok ke sebuah gang. Nampak kanan kiri gang itu rumah petakan yang dihuni oleh para perantau.

Beberapa orang yang kenal dengan Darman, mulai menyapa.”Ow, Bang Darman ni baru dari kampung ya?” Tanya seorang ibu dengan logat yang tidak biasa didengar oleh Aini. Sepertinya ibu itu sudah akrab dengan Darman.

“Iya, Bu. Dari kampung saya, Bu. Ini jemput anak dan istri.” Jawab Darman.

Aini pun mengangguk tanda memberi salam pada ibu itu.

“Wah senang ya, sekarang kerja ditemeni anak istri, biasanya sendiri. Pasti nanti lebih semangat kerjanya,” lanjut ibu yang rupanya berasal dari Palembang itu.

“Insyallah, Bu. Sudah ditemani keluarga, harus lebih sukses.” Jawab Darman.

“Iya lah, Bang Darman ini rajin bener selama saya kenal. Ini anaknya? Sudah besar ya. Pasti dulu sering kangen dengan bapaknya karena ditinggal merantau.”

“Benar, Bu. Makanya sekarang diajak merantau, biar dekat.” Lanjut Darman.

Ibu itu tidak mengetahui bahwa sebelumnya Darman adalah seorang duda dan baru beberapa hari lalu menikah dengan Aini, perempuan yang saat ini diajaknya untuk bersama merantau. Sedangkan anak yang dari tadi mereka bicarakan adalah anak Aini dengan suami sebelumnya atau anak sambung Darman.

Sampai di sebuah rumah, tepatnya kontrakan kecil yang ada di samping kontrakan ibu tadi, Darman menurunkan Dimas dan segera mengambil kunci yang ada di dalam tasnya, kemudian membuka pintu kontrakan itu.

“Ayo, Bu! Masuk!” Ajak Darman kepada Aini.

Dimas yang diturunkan dari gendongan sudah terbangun, “Pak, Bu, kita dimana?” Tanya bocah itu.

“Kita sudah sampai di rumah, Dimas. Kita masuk yuk, istirahat. Kalau badan kamu sudah tidak capek, nanti bapak kenalkan ke anak-anak di sekitar sini, pasti mereka senang mendapat teman baru,” jawab Darman.

“Dimas capek, Pak. Masih ngantuk,” lanjut bocah itu.

“Iya, nanti di dalam kamu bisa tidur lagi. Sekarang masuk dulu ya. Besok-besok kalau kamu sudah tidak capek, kita cari sekolah untuk kamu ya.” Ucap Darman pada anak sambungnya itu.

Aini pun bergegas masuk dengan sedikit ragu. Bukan karena memikirkan materi, tetapi menurut lik Kasno, lelaki yang dikenalkan kepadanya, yang sekarang menjadi suaminya ini sudah mapan, mempunyai rumah dan mobil di tempatnya merantau. Kenapa yang mereka tuju kontrakan berbentuk petakan?

Namun Aini tidak berani bertanya. Selama kemarin di jalan atau setelah akad dan di rumah mertuanya pun Aini tidak pernah menyinggung hal ini. Sebenarnya, bisa menikah dengan lelaki seperti Darman yang menerima Dimas apa adanya saja dia sudah sangat bersyukur.

Setelah meletakkan barang-barang yang dibawanya dari kampung, Aini bergegas mengambil sapu dan akan membersihkan tempat yang kini menjadi rumahnya itu.

“Nanti saja, Bu, bersih-bersihnya. Ibu pasti capek, istirahat saja dulu. Setelah hilang capek dan pegalnya, baru kita bersih-bersih. Kalau tidak keberatan, tolong bapak dibuatkan kopi dulu, Bu.” Pinta Darman.

Aini meletakkan kembali sapu yang baru saja diambilnya kemudian bergegas ke dapur. Dapur itu kecil, hanya ada kompor gas, tabung dan beberapa perlengkapan masak serta makan. Diambilnya panci yang tergantung di dinding, kemudian diisinya dengan air dan Aini langsung menyalakan kompor.

Tidak berapa lama, air di panci itu pun mendidih. Aini kemudian menuangkan ke cangkir yang sebelumnya sudah diisi dengan kopi dan gula. Perempuan itu juga membuat segelas teh manis untuknya.

“Ini tempat tinggal kita selama merantau ya, Bu. Semoga kita bisa mengumpulkan banyak uang dan dapat segera membeli rumah sendiri, biar Dimas juga lebih nyaman tinggalnya.” Ucap Darman pada Aini.

“Iya Pak, Aamiin.” Jawab Aini pendek.

“Hari ini kita istirahat dan beberes tempat tinggal, besok bapak mulai beberes kios. Hampir dua minggu tidak buka, pasti kiosnya juga kotor.” Lanjut Darman.

Aini tidak banyak bertanya karena sebenarnya masih merasa masih canggung dengan lelaki yang baru saja menikahinya itu.

Kontrakan yang dimana mereka berada terlihat sangat kotor karena lama ditinggal penghuninya. Belum lagi barang-barang yang berantakan dan berserakan dimana-mana. Tangan Aini terasa gatal ingin segera beberes, namun badannya masih pegal karena baru saja menempuh perjalanan jauh dari Wonogiri ke Bekasi. Kepalanya pun masih terasa pusing karena mabuk perjalanan. Apalagi ini pertama kalinya Aini menempuh perjalanan jauh.

Di sampingnya, Dimas terlihat masih tidur dengan pulas. Sesekali, di sela menyeruput kopi, Darman mengelus kepala bocah tujuh tahun itu. Dari tatapan mata Darman, Aini bisa tahu bahwa lelaki itu tidak hanya menerima dirinya, tetapi juga kehadiran Dimas sebagai anak sambung. Satu hal yang sangat disyukuri Aini, Dimas kini mempunyai bapak yang akan membelanya jika ada teman yang meledek karena kondisinya.

“Buk, kita dimana?” Setengah sadar Dimas yang baru bangun tidur kembali bertanya pada Aini.

“Kita di Bekasi, di tempat bapak. Dimas lupa? Kan kita baru saja naik bus, lama sekali di jalan. Waktu turun dari bus, Dimas digendong bapak.” Ucap Aini.

Lihat selengkapnya